Aku
ini perempuan terjerat. Memang aku terjerat dalam kamar berukuran 3x4 meter.
Aku tak tahu bagian luarnya kamar ini. Aku hanya tahu bagian dalam. Selain
perabot untuk tidur, juga ada kamar mandi. Setiap hari aku ada di sini.
Pekerjaanku hanya memerhatikan yang ada di kamar ini. Karena seringnya dan
lamanya aku berada di kamar ini, aku ingat semua yang ada di sini. Dari
langit-langit kamar, dinding, lantai, hingga kaca jendela.
Tentang
kaca jendela ini, aku punya cerita menarik. Melalui kaca ini aku melihat dunia
luar. Ya hanya beberapa saja yang terlihat. Langit-langit dan bercak gerimis
air hujan. Aku tak melihat hijaunya daun. Aku hanya melihat dua warna langit,
biru dan putih. Jika cerah akan keluar biru, dan jika mendung, akan ada putih
atau abu-abu atau hitam. Hanya itu yang ada di jendela ini. Satu-satunya
penghibur bagiku adalah melihat jendela ini. Jendela yang kadang-kadang ditutup
kain gorden.
Kain
gorden ini hanya sebentar saja berfungsi. Jika ada teman yang masuk, aku
biasanya berpasrah total. Temanku biasanya menutup gorden ini. Kaca tak
terlihat apalagi langit biru dambaanku. Aku diam dan menerima perlakuan temanku
dalam ruang mungil ini. Aku tak bisa memberontak terutaam jika merasa sakit.
Aku hanya bisa melayani dia. Aku tak ingat siapa-siapa temanku ayng datang
‘menjengukku’ di sini. Setiap hari bergantian. Aku hanya ingat sahabat yang
selalu menjenguk dan membawakan makanan untukku.
Dia
ini sangat sopan. Dia memberiku makanan tiga kali sehari. Dia juga
kadang-kadang menungguiku saat makan. Saat itulah dia bercerita tentang
kehidupannya. Dia juga membagikan informasi seputar kehidupan sosial, ekonomi,
dan politik negeri ini. Darinya, aku peroleh informasi. Aku tak punya alat
komunikasi. Hp tidak punya. TV, radio, pemutar musik tidak ada. Betapa aku
terhibur jika ia menungguiku menyelesaikan makan. Aku melahap makanan yang ia
bawa sambil memerhatikan dengan saksama mimik mukanya saat bercerita. Selain
dia, praktis, tak ada teman yang aku ingat.
Aku
ingin sekali bebas dari jerat ini. Betapa hidupku merana, sakit fisik, sakit
hati, sakit jiwa, tinggal di kamar ini. Aku terdampar di kamar ini secara
tiba-tiba. Aku diantar dua pemuda dan memberi kunci. Mereka memasukkan aku di
kamar ini kemudian berpesan, tinggal di sini selamanya. Aku mulai gugup dengan
kata-kata selamanya ini. Betapa sedih aku membayangkan, selamanya aku hidup
hanya di kamar menyeramkan ini. Hidup tak akan bahagia jika dijalani dalam
kamar seperti ini. Bukankah paru-paruku juga ingin menghirup udara lain selain
yang ada dalam kamar ini?
Aku
ingin menghirup udara di kampungku. Aku ingat aku bernagkat dari kampungku atas
bujukan sahabatku. Dia mengimpikan kehidupan yang mewah. Ia ingin agar aku
menikmati kemewahan itu. Ia memberi sejumlah uang pada orangtuaku. Orangtuaku
mengizinkan aku pergi. Aku pergi bersamanya. Aku ditempatkan di kamar besar
bersama puluhan wanita seusiaku. Aku tak nyaman tinggal bersama di ruang ini.
Aku mendambakan kebebasan. Dan, satu per satu, jika tiba gilirannya, satu di
antara kami akan menikmati kebeasan di luar ruang besar ini.
Aku
pun senang ketika tiba giliranku. Aku mendambakan aku akan hidup tenang tanpa
tekanan. Aku merasakan yang lain sekarang. Rupanya aku hidup lebih susah
ketimbang hidup di ruang besar itu. Aku ditempatkan di ruang kecil nan
menyeramkan ini. Aku pun menjadi wanita tak berdaya. Menerima perlakuan tamu
lelaki yang merenggut kebebasanku. Aku menderita. Aku berontak tetatpi tidak
ada jalan lain untuk keluar.
Aku
ingin keluar dari kamar jerat ini. Aku ingin kesempatan itu akan datang segera.
Sungguh aku ingin menghirup kebebasan. Aku bertanya-tanya, mengapa aku
ditempatkan di kamar derita ini? Betapa aku ini sengsara, dijerat, bak anak
ayam di depan mulut singa, siap diterkam. Setiap hari aku siap diperlakukan
semaunya saja oleh temanku yang datang mengunjungi aku. Aku ingat bosku
memaksaku meanggil dan menganggap semua yang datang sebagai teman. Aku tahu,
sesungguhnya sebutan itu tak pantas.
Mereka
itu sesungguhnya bukan teman tetapi lelaki hidung belang. Lelaki yang mencari
kepuasan seksual. Entah berapa biaya yang mereka berikan pada bosku. Aku tak
pernah tahu jumlahnya. Aku pun tak pernah menerima sejumlah kecil pun. Uang tak
berarti lagi bagiku. Yang berarti bagiku adalah pembebasan. Aku ingin bebas
segera. Tuhan, cukup sudah penderitaan ini. Aku lelah menghadapi semua ini.
*jeritan perempuan dalam kurungan kamar
derita
PA,
8/6/13
Gordi
Post a Comment