Asap.
Tak bosan-bosannya aku bicara soal asap. Asap dan aku bagaikan hidup dan mati.
Kok aneh ya. Bandingan yang tidak sepadan. Apa sih asap itu sehingga
disandingkan dengan aku yang adalah manusia? Bukankah manusia bisa membuat asap
sedangkan asap tidak bisa membuat manusia?
Memang
aku dan asap tidak bisa disandingkan. Tetapi, bukan berarti aku dan asap tidak
boleh disandingkan. Aku dan asap, seperti aku katakan, bagaikan hidup dan mati.
Aku besar karena asap. Aku hidup karena asap. Aku bertumbuh dan berjuang karena
asap.
Asap
bagiku adalh sumber hidup. Sejak kecil aku bergumul dengan asap. Di rumah asap
itu menyelimuti rumah-dapur kami. Dari luar tampak membubung asap dari bubungan
ijuk dapur kami. Di dalamnya ada api. Ada api berarti ada yang dimasak. Dimasak
berarti ada yang akan dimakan, disantap. Dan begitulah ritual kami di pagi
hari. Kalau tidak ada asap berarti tidak ada yang dimasak. Dan itu berarti kami
tidak makan. Tidak ada bahan makanan untuk sarapan.
Asap
adalah napas hidup. Tanpa asap, hidup tak berarti lagi. Dari asap kami
memperoleh kehangatan. Kehangatan di awal hari yang memacu daya juang. Kami
hidup dari asap. Makanan kami dimasak dengan api dengan balutan asap. Asap itu
pertanda kami berjaung di dapur. Memanaskan makanan, menanak nasi, memanaskan
air, menggoreng ikan/daging, dan sebagainya. Asap itu juga yang menyertai api yang
akan kami gunakan untuk memasak pakan hewan peliharaan kami. Jadi, asap itu
tidak saja napas hidup bagi kami tapi juga bagi hewan peliharaan kami.
Asap
itu juga pertanda kesuburan. Asap bagi kami adalah sahabat dalam membuka
ladang. Ada asap berarti ada sesuatu yang kami kerjakan di ladang. Asap itu
ternyata selalu beserta kami baik di rumah maupun di ladang. Itulah sebabnya
asap itu menjadi napas yang menghidupkan daya juang kami.
Sebagai
napas hidup, asap itu tak jarang membuat kami tambah semangat. Kami sama sekali
tak takut asap. Bagi sebagian orang, asap itu membutakan mata. Mata kami,
seperti mata mereka, akan buta jika terkena asap. Tapi, kami bisa menghindar
dari sengatan asap. Asap itu akan tetap ada dan akan tetap membutakan mata
kami. Tetapi kami akan selalu berjuang untuk menyalakan api dan menghindari
kepulan asap itu. Itulah sebabnya kami makin kreatif menghindari asap.
Kalau
orang modern menghindari dan memusuhi asap, boleh jadi wajar karena mereka
tidak pernah bergaul dengan asap. Hidung mereka mungkin mudah sesak karena
kepulan asap. Mata mereka juga tidak kuat menahan kepulan asap. Tidak demikian
dengan kami. Kami merasa asap itu adalah parfum. Parfum, sebagaimana kita tahu,
sifatnya memberi keharuman. Dan, asap itu justru memberi keharuman pada tubuh
kami, pakaian kami. Jangan heran jika badan kami berbau asap. Baunya yang
mungkin menjijikkan untuk hidung orang modern. Tidak bagi kami. Orang ebrbau
asap bagi kami adalah orang yang berjuang. Baik itu di dapur, atau di ladang.
Kami
tidak menghindari dari asap karena asap menyertai perjalanan dan perjuangan
hidup kami. Asap memang membuat udara jadi kotor. Dan kami sudah tercemar
dengan udara kotor berasap. Tetapi kami tetap sehat dan bisa berjuang. Asap
kami mungkin beda dengan asap pembakaran hutan zaman modern. Asap kami murni
asap alami, hasil pembakaran bahan alam. Asap sekarang mungkin asap berbau
politis dan hasil pembakaran zat kimia. Kongkalingkong pejabat yang suka parfum
modern. Hasilnya adalah parfum asap yang menyengat hidung dan membuat sesak
napas manusia di 3 negara.
PA,
27/6/13
Gordi
Post a Comment