Tak bosannya
saya melihat sepeda onthel itu. Jalannya pelan, tepat di samping mobil saya.
Saya terpana menatapnya.
Pagi ini saya
mengantar sahabat saya ke kampusnya. Kebetulan hujan di pagi hari, dia tidak
bisa menunggu bis di jalan besar. Dia meminta untuk mengantar. Saya mau
mengantarnya.
Jalanan sepi.
Hanya ada beberapa sepeda motor dan mobil. Tetapi saya mesti memperlambat laju
kendaraan sesuai ritme kendaraan saat hujan. Setelah melewati ring road utara,
kami masuk Jalan Effendi/Gejayan.
Di jalanan ini
saya melihat seorang pengendara onthel. Saya ingat pengalaman saya hingga akhir
Juni tahun kemarin, menggunakan onthel setiap hari.
Dia berjalan
pelan. Tubuhnya dibungkus jas hujan dari bahan plastik bening. Di punggungnya
ada tas hitam. Tas itu dibungkus plastik juga. Saya menduga di dalamnya ada
laptop dan buku-buku.
Saya juga menduga
dia mau ke kampus. Entah di mana kampusnya. Di Yogya kan banyak kampus dan ada
yang berdekatan. Sulit menebak dia mau ke kampus mana.
Saya
memerhatikan dia sekitar sampai 200 meter. Naluri pengendara sepeda saya
langsung segar. Saya iba dengannya.
Di sampingnya
ada sepeda motor dan mobil. Ya termasuk saya yang mengendarai mobil meski bukan
mobil sendiri. Hanya membantu mengantar sahabat saja. Pengendara sepeda memang
mesti tangguh. Baik dikala hujan maupun kering.
Saya hanya iba
dengan perjuangannya. Menerobos hujan deras. Menjadi sebanding dengan
pengendara motor dan mobil.
Saya menangkap
ada daya juang dalam dirinya. Daya juang inilah yang menyemangatinya dan berani
menerobos hujan deras.
Saya pernah
mengalaminya. Yang terbayang hanyalah dosen dan suasana kampus serta ilmu yang
akan diterima. Dengan ini sudah cukup menjadi lamunan di tengah jalan.
Wahai pemuda. Terima kasih atas perjuanganmu.
Engkau mengajarkan pada kami, betapa hidup ini butuh perjuangan. Tak pantas
menerima upah jika enak-enak saja tidur dikala hujan tanpa berusaha berjuang.
Kau menjadi inspirasi bagi kami untuk berjuang sepanjang hari ini.
PA, 5/3/13
Gordi
Post a Comment