Modal ramah rupanya bermanfaat. Dengan ramah urusan
jadi lancar. Yang tidak ramah pun bisa ketularan ramah.
Ramah itulah yang saya temukan pagi ini saat membeli
roti. Saya menggantikan teman saya yang berangkat pagi-pagi ke gunung. Jam
6.30, saya tiba di toko roti. Sudah banyak yang antri. Di kasir juga demikian.
Saya ikut antri di tempat pengambilan roti. Seorang ibu dengan ramah
mendahulukan saya. Saya kaget ketika dia mengatakan pada saya dalam bahasa
Italia yang amat sopan bahwa saya datang lebih dulu dari dia. Padahal, dalam
antrian kelihatannya dia di depan saya. Saya yang satu-satunya orang asing di
toko itu menjawabnya dengan sopan TERIMA KASIH.
Saya maju dan tukang roti yang cowok tersenyum sambil
menunjukkan jarinya hendak menebak asal saya. Saya menyebut nama langganan kami
dan dia langsung tersenyum tanda tebakannya benar. Dia lalu mengambil kantong
roti itu. Saya lalu pindah ke antrian kasir. Di sini barisannya teratur karena
kasirnya hanya satu. Meski satu kerjanya cepat sekali sehingga lancar. Kasir
cewek ini juga melayani dengan ramah dan senyumnya lama dan ditujukan pada
semua orang.
Ibu tadi mengingatkan saya akan antrian di Jakarta dan
Yogyakarta. Di Jakarta, sudah jelas situasinya tidak atau sedikit sekali budaya
antrinya. Lihatlah di jalan, antrian di kasir mol dan pusat belanja. Kalau pun
ada antri, masih ada yang memanipulasi antrian. Di Yogyakarta masih mendingan
antrinya.
Budaya antri memang sepele sekaligus berbelit-belit.
Tetapi jika sudah biasa nyamannya bukan main. Bidaya antri kiranya membuat yang
antri merasa nyaman. Sebaliknya saling rebut membuat repot luar biasa. Bisa
jadi ada yang terinjak-injak seperti lazim di Jakarta. Belum lagi kalau ada
isu-isu, yang ditunggu hampir habis. Padahal kalau mau habis ya tak usah
direbut. Cari di tempat lain atau tunggu di lain kesempatan lagi. Apa susahnya
menunggu giliran berikutnya.
Budaya antri membuat pikiran tenang. Budaya antri
seperti menunggu terbitnya matahari pagi. Sudah pasti akan terbit dan tidak
perlu ribut-ribut apakah jadi terbit atau tidak. Budaya antri memupuk sikap
saling menghormati. Saya tidak menduga kalau saya yang orang asing pun
dihormati oleh orang Italia. Dengan ramah pula.
Tukang roti tadi betul-betul bekerja melayani
pelanggan. Tidak ada hp di tangannya. Dia melayani dengan total makanya dia
bisa ramah dan kesannya langsung akrab. Akrab seperti keluarga saja. Pelayan
yang bekerja sambil memegang hp memang sulit melayani dengan ramah seperti
tukang roti ini. Pelayan seperti ini dengan mudah mengabaikan pembeli. Dia bisa
saja asyik membalas sms atau menjawab telepon sambil melayani pembeli. Maka,
sudah pasti kesannya bukan melayani pembeli tetapi mengabaikan pembeli.
Alangkah lancarnya jika pelayan publik di Indonesia
seperti di bank, pusat belanja, kantor pemerintah, kantor pelayan publik
lainnya menerapkan pelayanan yang ramah seperti tukang roti ini. Lebih bagus
lagi jika masyarakat atau pelanggannya berbudaya antri dan saling menghormati.
Salam senyum ramah dari seberang.
Molveno-Trento, 11/8/15
Post a Comment