Halloween party ideas 2015


Menghormati yang tua sudah lazim. Yang tak lazim adalah menghormati yang muda. Mungkin karena tak lazim, saya pun kaget ketika mengalaminya.

Saya mengalaminya persis seperti saya dituankan. Saya merasa seperti bos yang dikelilingi anak buah saya. Padahal saya bukan bos. Tidak pernah mengalami rasanya dihormati oleh anak buah. Wong saya tidak pernah punya anak buah. Semua sama bagi saya.

Ketika penghormatan itu datang, saya betul-betul merasa saya dimuliakan. Saya yang muda ini kok diberi penghormatan oleh yang tua ini. Ah bukannya saya yang harus menghormatimu. Bukan. Rupanya di sini semuanya saling menghormati. Bahkan yang tua pun mesti menghormati yang muda.

Kajadian ini saya alami persis saat kami pulang dari gunung. Kami naik gunung meski hanya sampai pos ketiga dengan ketinggian 1630 meter di atas permukaan laut. Kami memang berencana untuk sampai di sini saja. Tidak perlu sampai di puncak. Sebab, kami berangkatnya agak siang. Jam 9 pagi.


Saat pergi kami hanya bertiga saja. Muda-muda semua. Kuat jalan kaki. Naik tanjakan dan jurang tetap tangguh. Pulangnya berempat. Sahabat kami yang umurnya 75 tahun, orang Italia ikut rombongan kami bertiga.

Jalanan menurun dan penuh jurang. Di beberapa bagian, kami hanya bisa menaruh keseimbangan hanya pada tali yang dilekatkan ke bebatuan di tengah jurang. Ketakutan tentu ada. Tetapi prinsipnya kalau yang lain bisa melewati jalan ini, saya juga harus bisa. Kami mengkhawatirkan sahabat kami ini. Bagaimana mungkin dia yang 75 tahun ini bisa melewati jalan berjurang ini?

Rupanya dia kuat. Dia mampu melewati rute-rute yang sulit tanpa hambatan. Dia memang suka naik gunung. Katanya setiap tahun, di musim panas, dia selalu naik gunung. Kadang-kadang sampai 2-3 kali. Jalanan ini baginya bukanlah jalan tersulit. Biasa saja. Wong rute jalan pegunungan memang seperti ini. Pegunungan yang kami tuju memang hanyalah gunung batu. Alias gunung yang puncaknya berupa batu karang yang besar. Jurangnya dalam. Beda dengan Gunung Sinabunga atau Merapi atau Semeru di Indonesia yang di puncaknya masih berupa tanah.

Yang membuat saya berkesan adalah kata-katanya pada kami. Dia mengatakannya dalam bahasa Italia yang sangat sopan. Kalian boleh jalan duluan. Kalian bisa cepat sampai. Jangan khawatir dengan saya. Saya punya ritme perjalanan saya yang lebih lambat dari kalian. Saya akan tiba juga seperti kalian. Saya iba mendengarnya. Saya—kami—merasa dihormati oleh sahabat kami ini.

Rasa iba ini muncul begitu saja. Kata-kata sahabat ini lebih dari sebuah penghormatan bagi saya. Dengan kata-kata ini, saya malah diundang untuk menghormati yang lain yang berbeda dengan saya. Saya bukan saja mesti menghormati yang tua tetapi juga yang muda. Sahabat kami ini tidak seperti orang tua lainnya yang kadang-kadang minta untuk dihormati. Atau menyuruh orang muda menghormatinya. Jika tidak, dia dengan marah minta untuk dihormati. Sahabat kami ini tidak. Dia malah menghormati kami sebelum kami menghormatinya. Sungguh luar biasa. Saya iba dan sedikit merasa malu. Betapa saya kadang-kadang menuntut yang muda menghormati saya. Saya malu rupanya saya tidak lebih dulu menghormatinya tetapi dia yang lebih dahulu menghormati saya. Terima kasih sahabat untuk kebersamaannya dari gunung sampai tiba kembali di rumah.

Salam hormatku.

Molveno-Trento, 8/8/2015

Post a Comment

Powered by Blogger.