Menghormati
yang tua sudah lazim. Yang tak lazim adalah menghormati yang muda. Mungkin
karena tak lazim, saya pun kaget ketika mengalaminya.
Saya
mengalaminya persis seperti saya dituankan. Saya merasa seperti bos yang
dikelilingi anak buah saya. Padahal saya bukan bos. Tidak pernah mengalami
rasanya dihormati oleh anak buah. Wong saya tidak pernah punya anak buah. Semua
sama bagi saya.
Ketika
penghormatan itu datang, saya betul-betul merasa saya dimuliakan. Saya yang
muda ini kok diberi penghormatan oleh yang tua ini. Ah bukannya saya yang harus
menghormatimu. Bukan. Rupanya di sini semuanya saling menghormati. Bahkan yang
tua pun mesti menghormati yang muda.
Kajadian
ini saya alami persis saat kami pulang dari gunung. Kami naik gunung meski hanya
sampai pos ketiga dengan ketinggian 1630 meter di atas permukaan laut. Kami
memang berencana untuk sampai di sini saja. Tidak perlu sampai di puncak.
Sebab, kami berangkatnya agak siang. Jam 9 pagi.
Saat pergi
kami hanya bertiga saja. Muda-muda semua. Kuat jalan kaki. Naik tanjakan dan
jurang tetap tangguh. Pulangnya berempat. Sahabat kami yang umurnya 75 tahun,
orang Italia ikut rombongan kami bertiga.
Jalanan
menurun dan penuh jurang. Di beberapa bagian, kami hanya bisa menaruh
keseimbangan hanya pada tali yang dilekatkan ke bebatuan di tengah jurang.
Ketakutan tentu ada. Tetapi prinsipnya kalau yang lain bisa melewati jalan ini,
saya juga harus bisa. Kami mengkhawatirkan sahabat kami ini. Bagaimana mungkin
dia yang 75 tahun ini bisa melewati jalan berjurang ini?
Rupanya
dia kuat. Dia mampu melewati rute-rute yang sulit tanpa hambatan. Dia memang
suka naik gunung. Katanya setiap tahun, di musim panas, dia selalu naik gunung.
Kadang-kadang sampai 2-3 kali. Jalanan ini baginya bukanlah jalan tersulit.
Biasa saja. Wong rute jalan pegunungan memang seperti ini. Pegunungan yang kami
tuju memang hanyalah gunung batu. Alias gunung yang puncaknya berupa batu
karang yang besar. Jurangnya dalam. Beda dengan Gunung Sinabunga atau Merapi
atau Semeru di Indonesia yang di puncaknya masih berupa tanah.
Yang
membuat saya berkesan adalah kata-katanya pada kami. Dia mengatakannya dalam
bahasa Italia yang sangat sopan. Kalian boleh jalan duluan. Kalian bisa cepat
sampai. Jangan khawatir dengan saya. Saya punya ritme perjalanan saya yang
lebih lambat dari kalian. Saya akan tiba juga seperti kalian. Saya iba
mendengarnya. Saya—kami—merasa dihormati oleh sahabat kami ini.
Rasa iba
ini muncul begitu saja. Kata-kata sahabat ini lebih dari sebuah penghormatan
bagi saya. Dengan kata-kata ini, saya malah diundang untuk menghormati yang
lain yang berbeda dengan saya. Saya bukan saja mesti menghormati yang tua
tetapi juga yang muda. Sahabat kami ini tidak seperti orang tua lainnya yang
kadang-kadang minta untuk dihormati. Atau menyuruh orang muda menghormatinya. Jika
tidak, dia dengan marah minta untuk dihormati. Sahabat kami ini tidak. Dia
malah menghormati kami sebelum kami menghormatinya. Sungguh luar biasa. Saya
iba dan sedikit merasa malu. Betapa saya kadang-kadang menuntut yang muda
menghormati saya. Saya malu rupanya saya tidak lebih dulu menghormatinya tetapi
dia yang lebih dahulu menghormati saya. Terima kasih sahabat untuk
kebersamaannya dari gunung sampai tiba kembali di rumah.
Salam
hormatku.
Molveno-Trento,
8/8/2015
Post a Comment