SANG BOCAH YANG MERDEKA
Seorang bocah duduk manis di bangku tua depan sebuah stand. Di hadapannya terdapat papan catur. Tempat sang bocah duduk itu sering dikunjungi orang—termasuk saya—untuk memotong rambut. Sebut saja nama kerennya “tempat pangkas rambut….” Tatapan matanya jauh ketika saya menghampirinya. Dia mungkin sedang memikirkan sesuatu entah tentang apa saja. Dia terkesima ketika saya bertanya kepadanya. Tatapannya langsung mendekat, melihat saya. Dia mendengar dengan cermat apa yang saya tanyakan. Pertanyaan paling mudah adalah bertanya tentang status pendidikannya. Dia menjawab dengan lugu dan sopan tetapi tepat, “Saya kelas 2 SD.”
Jawaban singkat. Dia tidak menyambung dengan jawaban tentang penjelasan mengenai sekolahnya. Komunikasi sempat terhenti. Saya melihat mukanya gembira. Tangannya memegang dan sesekali menggerakkan isi papan catur yang sudah tertata rapi di hadapannya. Saya ingin melanjutkan percakapan dengannya sambil menunggu giliran untuk dicukur.
“Sekolahnya di mana dek?”
“Di SD 115,” sambil menunjuk sebuah tempat yang dekat dari tempat kami ngobrol.
Kali ini dia melanjutkan pembicaraan. Dia menawari saya bermain catur dengannya. Sayangnya saya kurang tahu permainan yang menuntut keseriusan ini. Apalagi tidak lama lagi saya dicukur karena giliran sebelum saya hampir selesai. Kacian dunk kalau permainannya tidak selesai, dan kacian juga kalau saya melayani dia dengan setengah hati. Dia mengalihkan topik pembicaraan tentang sekolahnya. “Di sekolah saya ada kolam ikan.”—bukan kolam renang lho—meskipun ia katanya hobi renang. Dia bersemangat menjelaskan tentang kolam renang ini, eh maksudnya kolam ikan ini. kolam ikan yang ada di luar lingkungan sekolah pun ia ceritakan. Luas kolam (diperkirakan), jumlah, jenis ikan, dan pembersih kolam.
Hanya satu yang saya cermati dari perbincangan kecil ini. Seorang anak yang merdeka. Merdeka yang saya maksudkan di sini adalah kebebasan untuk berbicara, mengungkapkan isi pembicaraannya dengan lawan bicaranya. Hari ini, Selasa 17 Agustus 1945, peringatan 65 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Apakah Indonesia semakin merdeka dengan usianya yang ke-65? Menurut saya, pertanyaan ini tidak perlu dijawab dengan kata “ya” dan “tidak”. Sebab, ukuran kemerdekaan tiap orang atau tiap peristiwa bahkan tiap kelompok berbeda. Masing-masing punya sudut pandang. Kalau dipilah satu per satu peristiwa yang dialami rakyat Indonesia beraneka ragam situasi dan kondisinya. Tiap peristiwa bisa dikategorikan sebagai peristiwa kemerdekaan atau peristiwa penjajahan—jika kemerdekaan itu dimengerti sebagai pembebasan dari penjajahan. Kebebasan untuk beribadat (mungkin lebih baik ditulis berdoa, bahasa yang umum dipakai) di satu tempat masih dibelenggu namun di tempat lain sudah terjamin. Sulit mengukur dua subyek peristiwa yang sama namun keadaanya berbeda di dalam naungan wilayah Indonesia. Kalau ditanya, orang di kota A akan menjawab merdeka namun di kota B akan menjawab belum bebas. Tidak ada kemerdekaan total. Maka, perristiwa-peristiwa semacam ini dilihat sebagai satu kesatuan dengan peristiwa lain yang terkait. Kemerdekaan sang bocah tadi hanyalah salah satu bagian dari kemerdekaan yakni kemerdekaan untuk berbicara. Bagaimana denganyang lain? Kemiskinan, kekerasan seksual, dll.
Yang perlu dilakukan dan disadarkan saat ini adalah kita mebangun bangsa ini dengan baik. Tiap kelompok wajib membantu kelompok lain demi tercapainya keadaan yang merata sesuai kondisi masing-masing kelompok. Perkerjaan seperti ini bermuara pada kesatuan. Kesatuan yang bermuara pada kemerdekaan. Soekarno, Hatta, dan para pemuda (beserta pemudi dengan peran mereka) puluhan tahun lalu menggunakan semangat kesatuan ini untuk mencapai kemerdekaan. Ini warisan leluhur bangsa kita yang menurut saya tidak lekang diterpa peradaban zaman modern. Maka, mari kita para pemuda/I zaman sekarang menggali dan menghidupi semangat leluhur ini. Mulai saat ini kita ingin merdeka seperti sang bocah yang duduk dan berbicara dengan merdeka. Selamat hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-65. Merdeka……..!!!!!!
17 Agustus 2010
Gordy Afri