Halloween party ideas 2015

foto oleh Bronwen Lee
Pernahkah kita memerhatikan kelima jari kita? Bagi yang hobi merawat kuku di tangan pasti sering memerhatikan jari. Yang lain boleh jadi jarang memerhatikan. Tetapi paling tidak kita mencuci tangan kita saat tangan itu kotor. Dengan itu, kita juga memerhatikan kebersihan jari-jari kita. 

Jari telunjuk biasanya kita gunakan untuk menunjuk orang, benda tertentu, arah tertentu, pohon tertentu, dan sebagainya. Intinya dia berfungsi sebagai penunjuk. Lebih dari penunjuk, jari itu juga melambangkan kesaktian kita. Engkau…kau..kamu…diucapkan dengan nada keras sambil menunjuk orang lain.

Ini tanda bahwa kita berkuasa atas orang yang kita tunjuk. Kita lebih benar dari orang yang ditunjuk. Dalam memerintah kadang-kadang jari ini juga berfungsi untuk menunjuk bawahan.

Tetapi satu jari tak bisa sebanding dengan empat jari lain. Ada yang mengatakan satu jari untuk orang lain dan empat jari untuk diri sendiri. Kalimat ini bisa ditafsirkan dengan dua hal.

Pertama, positif. Satu jari mau menunjukkan perhatian kita kepada orang lain. Tetapi empat jari menjadi rambu-rambu bagi kita sebelum menunjuk orang lain. Lihatlah diri sendiri sebelum mengoreksi orang lain. Perintahlah diri sendiri sebelum memerintah orang lain. Empat jari ini mengingatkan kita sebelum satu jari kita mengingatkan orang lain.

Kedua, negatif. Satu jari menunjukkan kesaktian kita pada orang lain. Menunjuk yang lain berarti kita yang berkuasa atas dia. Tetapi pantaskah kita berkuasa atas dia? Bukankah kita sama-sama dan sederajat? Tidak ada yang berkuasa dan tidak yang dikuasai.

Sementara empat jari yang lain menunjukkan keangkuhan kita. Ini bisa dilihat ketika kita menunjuk dengan satu jari terbuka sedangkan empat jari lain mengepal/ tertutup. Hanya satu yang kita berikan pada yang lain, hanya satu yang membuat kita menerima yang lain, sedangkan empatnya kita tutup dan hanya dinikmati sendiri.

Sungguh malangnya jika tafsiran kedua ini yang diterapkan. Apa jadinya nanti jika satu untuk kamu dan empat untuk aku. Egoisnya hidup ini. apa salahnya satu untuk aku dan satu untuk kamu? Apa ruginya jika empat untuk aku dan empat untuk aku? Apakah tidak lebih baik jika lima untuk aku dan lima untuk kamu?

Andai hujan dibagi-bagi kepada setiap orang siapakah yang mendapat banyak? Sayangnya hujan tidak mengenal manusia. Semuanya akan terkena basahnya. Demikian juga dengan matahari yang tidak memilih manusia sesuai kebaikan dan keburukannya. Yang baik yang buruk ia sinari. Semoga terangnya matahari menerangi hati kita semua dan semoga segarnya air hujan menyegarkan hati kita semua.

———–
Obrolan pagi

PA, 8/10/2012
Gordi Afri

Foto oleh Niccresswell
Hujan kemarin membawa berkah. Tukang kebun tak perlu menyiram tanaman. Kebunnya sudah diguyur hujan. Tanahnya basah, debunya hilang. Pohonnya segar. Tak perlu repot bawa selang, buka keran, dan menyiram dari pohon ke pohon. 

Ternyata hujan itu membuat lelaki yang itu tidak tampak seperti lelaki. Dia lelaki tetapi sepertinya tidak jantan. Kena hujan sekali saja langsung sakit. Boleh jadi dia tidak tahan hujan. Katanya, kehujanan makanya sakit. Padahal teman-temannya tidak ada yang sakit. Dia memang beda.

Katanya kehujanan, betulkah itu? Mereka, termasuk dia, membawa mantel/jas hujan. Kalau hujan di jalan, mengapa tidak memakai mantel itu? Kalau sudah ada mantel mengapa masih menjawab kehujanan?

Jangan-jangan dia berbohong. Beberapa temannya bilang kemarin mereka tidak kehujanan. Hanya ada gerimis sedikit, katanya. Apakah lelaki itu sakit karena gerimis itu? Ah…mana mungkin. Boleh jadi demikian.

Tetapi mungkinkah dia hanya ingin tidur saja? Mungkin juga seperti itu. Kalau begitu, dia sudah berbohong denganku. Katanya kehujanan padahal tidak. Katanya sakit padahal mau tidur.

Oh..engkau lelaki tetapi sungguh malang tipu muslihatmu. Engkau bilang sakit padahal bukan, engkau bilang kehujanan padahal tidak. Engkaulah lelaki yang bukan lelaki. Lelaki itu jantan. Dia seharusnya tidak berbohong. Lelaki itu biasanya jujur. Dia berani mengungkapkan kesalahan dan kebenaran.

Engkau sama sekali menyembunyikan kelelakianmu. Kelelakianmu itu adalah kejantananmu itu. Dengan sebutan lelaki dan dengan tubuh-fisik serta sifat yang kamu miliki, kamu memang pantas menjadi lelaki. Sayangnya kamu bukan lelaki yang digambarkan orang. Kamu lelaki yang lemah. Kamu pantas dijuluki lelaki yang bukan lelaki.

Ah..mendingan tukang kebun itu. Dia tidak menonjolkan diri sebagai lelaki sejati. Tetapi dari perbuatannya, dia tampak seperti lelaki. Dia memang adalah lelaki sejati. Dia merawat tanamannya dengan baik. Tak perlu takut, tak perlu menyembunyikan kebobrokan.

Lelaki, jantan, ya seperti tukang kebun itu. Dia kadang-kadang dianggap tidak berguna tetapi justru dia menggunakan segala yang ada demi kemajuan rumah tangganya. Banyak orang mendapat manfaat dari pekerjaanya. Tanpa dia mana ada buah-buahan berkelimpahan di pasar?

Boleh jadi dia tidak atau jarang ke pasar. Tetapi orang tahu buah ini berasal dari kebunnya. Buah manis itu merupakan hasil usahanya. Engkau lelaki. Tunjukkan bahwa kamu lelaki dan tak lemah dikala kehujanan. Buktikan bahwa kamu lebih besar dari guyuran hujan yang membuatmu sakit-sakittan dan bukan sakit.

PA, 8/10/2012
Gordi Afri

Terima kasih sudah mendengar ceritaku
Begitu katamu mengakhiri percakapan kita tadi
Aku tak menyangka engkau mengucapkan itu
Aku hanya datang dan berbincang-bincang denganmu

Rupanya engkau menjadikanku teman curhat
Aku pun ingin mendengar curhatmu
Sebatas mendengar dan mencoba menjadi pendengar setia
Meski kadang sulit mendengarkan curhat orang

Tetapi aku mencoba dengan senang hati hanya mendengar saja
Tak perlu merespons
Jika engkau membutuhkan saran aku mau beri
Kalau tidak aku hanya ingin mendengar curhatmu

Terima kasih juga dariku untukmu
Aku sudah jadi teman curhatmu
Engkau memang ingin bercurhat
Boleh jadi engkau jarang bercurhat

Dari kata-katamu engkau senang
Bisa curhat siang ini
Terima kasih atas pengalamanmu
Aku pamit dulu yah….
———-

Obrolan siang setelah mendengar curhat seorang sahabat tadi pagi

PA, 9/10/12
Gordi Afri

Powered by Blogger.