Halloween party ideas 2015

foto ilustrasi oleh  Ibnu Sofyan Al-Kumango
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengenal orang-orang yang dipimpinnya”.

Slogan ini dikenal luas oleh seluruh rakyat. Kiranya, tak ada yang mengelak jika slogan ini mempunyai pesan yang khas. Pemimpin mestI mengenal rakyatnya. Mengenal berarti mencintai rakyatnya. Cinta itu nyata dalam memperbaiki hidup rakyat. Bukan janji-janji.
Rakyat negeri ini tak pernah absen dari janji-janji yang digetolkan calon pemimpin. Namun, kenyataan masih jauh dari janji. Tak pelak jika beribu janji ini menjadi mimpi di negeri ini. Ya mimpi itulah yang sebenarnya digemborkan calon pemimpin kita. Jangan harap mimpi itu menjadi nyata. Mimpi itu akan menjadi refren lima tahunan. Mimpi yang menggema kuat ketika pesta demokrasi. 

Tibo lebih terkenal daripada para presiden
Pada Sabtu,3/12/2011 kemarin, saya bertemu dengan anak-anak yang kami dampingi. Saya bersama beberapa teman mendampingi mereka dalam hal belajar. Sedikit yang kami bantu, namun dari yang sedikit ini akan menjadi berarti. Kebetulan hari ini kami mempelajari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Seorang teman pendamping membacakan soal yang ada dalam buku pelajaran. Soalnya tentu tidak asing bagi seorang anak SD kelas V. Namun, alangkah terkejutnya saya ketika mendengar jawabannya. Soalnya demikian, siapa nama Presiden Indonesia sekarang. Soal ini masih berhubungan dengan soal sebelumnya, tentang nama-nama presiden Republik Indonesia sejak Soekarno.

Anak itu menggaruk-garuk kepalanya pertanda tidak bisa menjawab. Lalu, dia menoleh ke temannya dan berbisik, “Kok Titus Bonai ya yang muncul di pikiran saya.” Saya tertawa kemudian memandanginya. Ada rasa kecewa. Anak SD masih belum tahu nama presiden kita. Nama para pemain sepak bola malah dihafal. Saya bertanya padanya, apakah kamu kenal nama pemain lainnya? Dengan lantang dia menyebut Patrick Wanggai, Okto Maniani. Ketiganya adalah pemain sepak bola asal Papua, daerah yang diobrak-abrik para petambang. Memang tidak bisa dipungkiri kalau nama mereka begitu tenar. Sekarang masih bergema suasana pesta Seagames. Jangan heran kalau nama-nama itu yang masih kuat dalam benak anak-anak.

Tibo dkk memang dikenal karena kepiawaiannya dalam sepak bola. Sepak bola bagi rakyat kecil adalah sebuah tontonan yang indah dan menghibur. Negeri ini adalah negeri gila bola. Di mana-mana selalu ada pendukung klub tertentu. Tak jarang aksi mereka membahayakan, bahkan sama sekali tidak manusiawi, hingga menelan korban. Meninggalnya dua penonton di senayan adalah potret begitu tidak manusiawinya para pendukung sepak bola di negeri ini. Bukankah semua yang indah itu berujung pada menjunjung tinggi martabat manusia? Sekali lagi sepak bola adalah tontonan yang menghibur. Di tengah kepenatan rakyat akan situasi negeri ini, permainan tim nasional kita menjadi tontonan yang menghibur.

Bagaimana dengan pemimpin kita?
Boleh jadi pemimpin kita belum piawai memainkan perannya di negeri ini. Karena belum piawai, mereka belum  dikenal di kalangan masyarakat. Jangan-jangan presiden kita juga belum berbuat sesuatu yang membuat masyarakat merasa bangga. Lihat juga para pemimpin kita yang lain, anggota DPR, para menteri, para gubernur, para walikota dan bupati, dan pemimpjn lainnya. Apa yang mereka lakukan? Tibo dkk sudah mendahului kiprah pemimpin di negeri ini. Mereka lebih dulu dikenal di mata masyarakat ketimbang para pemimpin. Masyarakat melihat sesuatu yang menyentuh hidup mereka, bukan janji yang membuat mereka terus bermimpi.

Masyarakat kita beragam, petani, nelayan, pengusaha, dan sebagainya. Budaya kita juga amat kaya. Namun, siapa peduli dengan semua ini? Sekali lagi pemimpin kita boleh dibilang belum menyentuh kehidupan rakyat. Pemimpin kita diam ketika para nelayan ditangkap polisi Malaysia, pemimpin kita diam ketika TKI kita dihukum mati di negeri asing. Pemimpin kita tidak seperti Tibo dkk yang berjuang hingga akhir demi mengharumkan nama bangsa. Pemimpin kita mencari aman dengan mengimpor beras ketimbang mengangkat citra petani dan membantu mereka meghasilkan beras. Pemimpin kita diam ketika produk negeri tetangga membanjiri pasar lokal. Rakyat berjuang sendiri. Wahai pemimpin, masihkah kalian bermimpi??

Rakyat Menunggu
Rakyat Indonesia menunggu realisasi dari mimpi kalian. Berbuatlah sesuatu supaya rakyat mengenal kalian dari kerjanya dan bukan dari janjinya. Hanya segelintir pemimpin di negeri ini yang mjengenal rakyatnya. Rakyatnya pun mengenal pemimpin ini. Rakyat kota Solo pasti mengenal Pak Walikota, Joko Widodo, dan jajarannya. Pak Walikota melestarikan budaya sehingga kota Solo tetap menjadi kota budaya. Pak Walikota juga menyediakan sarana transportasi yang aman bagi rakyatnya meskipun mungkin belum memuaskan semua. Nama mereka selalu dikenang di mata rakyat kecil. Begitu juga dengan Dahlan Iskan, mantan Direktur Utama PLN, dan sekarang menjadi Mentri BUMN. Rakyat kecil tersentuh dengan programnnya misalnya pemadaman listrik mendadak makin berkurang. Juga, pembaruan meteran listrik. Sesuatu yang sederhana namun menjadi luar biasa karena menyentuh kehidupan rakyat.

Rakyat kecil menunggu kiprah para pemimpin. Pemimpin yang baik memang mesti mengenal rakyatnya.Tibo dkk  boleh jadi mengenal rakyat Indonesia sebagai masyarakat pecinta sepak bola. Maka, mereka berbuat sesuatu melalui permainan yang menarik ditonton. Inilah hiburan di tengah suasana kepenatan masyarakat. Selalu ada kesempatan bagi pemimpin untuk berbuat sesuatu sehingga dicintai rakyatnya. Tibo dkk hanya sekali saja, dalam seagames, namun langsung dicintai rakyat di negeri ini. Semoga pemimpin mendengar jeritan rakyat dan langsung menanggapinya sehingga nama mereka akan dikenang selamanya.

CPR, 6/12/2011
Gordi Afri


foto ilustrasi oleh Bambang Subaktyo
Catatan tentang Trotoar di ibu kota

Bagaimana nasib trotoar di ibu kota? Hampir pasti trotoar hanyalah sebutan kosong. Trotoar tak berwujud lagi. Hanya di beberapa jalan ibu kota masih terlihat trotoar. Di Sudirman ada beberapa ruas jalan dilengkapi trotoar. Di lain tempat tak ada lagi torotoar itu. Kalaupun ada, itu hanya bekasnya saja. Bentuknya bukan lagi trotoar seperti semula.
Lihat saja di pinggiran beberapa jalan. Trotoar dijadikan tempat parkir. Trotoar dijadikan taman. Trotoar dijadikan pasar. Trotoar dijadikan ujung warung makan. Di lain tempat trotoar bahkan tak berbekas karena digusur badan jalan.

Entah mengapa semua ini terjadi. Kalau dilihat lebih jauh, manusia begitu serakah. Manusia merampas ruang publik. Manusia tidak puas dengan apa yang ada. Keadaan ini berbanding terbalik dengan keadaan negara-negara Eropa. Saya belum pernah ke sana. Namun, kalau dibaca di media atau melihat di internet, peranan trotoar amat penting. Pejalan kaki amat dihargai. Pemerintah menyediakan trotoar yang bersih, rapi, dan bebas dari kendaraan.

Trotoar-trotoar nasibmu kini…….wahai penguasa ruang publik kembalikan trotoar kami….
Rawatlah trotoar kami jika kalian masih membutuhkan kami. Kami membutuhkan trotoar itu….

CPR, 6/12/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh pubsma
Catatan tentang Selokan di ibu kota

Nasib trotoar hampir sama dengan nasib selokan di ibu kota. Ya selokan yang memperlacar jalannya air. Selokan kini tak terawat. Kalau banjir baru kewalahan. Entah mengapa masyarakat kota mengabaikan perawatan selokan. Di depan rumah kami, ada selokan setinggi 1 meter dan lebar lebih kurang 75 cm hingga 1 meter. Kami membersihkannya minimal sekali sebulan. Air pun berjalan lancar. Sayangnya saluran lain yang berhubungan dengannya tidak terawat. Akibatnya, aliran air tak lancar. Sampah-sampah berserakan dari saluran seberang.

Sekali lagi selokan yang mengalirkan air di ibu kota. Berapa jumlah masyarakat yang peduli dengan selokan? Kalau musim banjir segera tiba, pemerintah mulai membenahi selokan-selokan di pinggir jalan dan kompleks perumahan. Bahu membahu bersama masyarakat. Sayangnya, kadang-kadang upaya ini terlambat. Banjir datang menembus pintu rumah warga sebelum selokan ini dirawat.

Memang manusia serakah. Manusia merampas hak air mengalir di jalannya. Manusia serakah menjadikan jalanan air itu bak kotak sampah. Segala yang tidak digunakan dibuang begitu saja ke selokan. Andai air punya mulut akan ada protes besar-besaran. Air tak punya mulut tetapi punya kaki. Dia mendatangi rumah-rumah warga yang menghadangnya. Menembus isi rumah membasahi perabot rumah, menerjang semua yang terapung. Itulah sifat air, dihadang tak mempan, malah ia mencari tempat terendah untuk mencari jalan keluar.

Lihatlah selokan-selokan di pinggir perumahan padat di ibu kota. Selokan bak tong sampah yang bisa menampung apa saja. Manusia begitu sadis. Wahai manusia rawatlah jalan ini jika engkau tak ingin dijamah. Air punya hak melalui jalannya, jangan hadang dia, biarkan dia jalan tenang, tak menyenggol  apa yang dimiliki manusia.

CPR, 6/12/2011
Gordi Afri

Powered by Blogger.