Halloween party ideas 2015

DUA PERTANYAAN DARI MUARA FAJAR



Kata orang, lebih baik ada daripada tidak sama sekali. Maksudnya, meski sedikit, asalkan ada sesuatu, itu jadi lumayan.

Yang sedikit itulah yang kami temukan di Muara Fajar hari ini. Dari sekian banyak umat yang hadir di gereja, hanya ada 2 yang berani bertanya. Meski sedikit, pertanyaan mereka berbobot. Itulah sebabnya, boleh disimpulkan, lebih baik ada dan sedikit daripada tidak sama sekali.

Durasi waktu animasi memang sedikit. Kami gunakan beberapa menit sebelum misa. Sekitar 30 menit, dari awal presentasi sampai pada tanya jawab. Tidak perlu lebih dari sini, biar ada semangat dan bisa memahami presentasi dan pengalaman kami.


Dari presentasi kami, muncul pertanyaan tadi: apa beda Diakon dan Pastor, bisakah menjadi calon pastor tanpa melalui sekolah seminari. Dua pertanyaan menarik yang patut diberi jawaban yang pas.

Pertanyaan ini menggambarkan keingintahuan umat Muara Fajar pada kegiatan animasi ini. Pertanyaan serupa memang sudah kami jumpai sebelumnya di beberapa stasi. Muncul kembali seperti ini bisa menjadi gambaran bahwa umat memang ingin tahu tentang perbedaan ini. Boleh jadi pemahaman mereka amat sedikit tentang bidang pengetahuan ini.

Pastor Pancani SX memberi jawaban teologis yang amat bagus. Untuk lebih bisa dimengerti, saya menambahkan dengan jawaban yang bersifat teknis: Diakon adalah satu tahap sebelum menjadi Pastor. Dengan kata lain—sambung saya—semua Pastor pernah menjadi Diakon. Sedangkan, tidak semua Diakon bisa menjadi Pastor. Ada Diakon yang hanya menjadi diakon saja, tanpa melanjutkan ke jenjang tahbisan Imam. Tetapi, di Indonesia pada umumnya semua Diakon akan menjadi Pastor.


Pertanyaan ini berkaitan dengan proses pendidikan calon Pastor. Dan, persis muncul dalam pertanyaan kedua juga. Memang, untuk menjadi pastor biasanya mesti melalui sekolah khusus calon pastor yakni Seminari. Ada yang kecil (SMP), menengah (SMA), tinggi (Universitas). Tetapi, tanpa melalui tahap pendidikan ini pun, seorang masih bisa jadi calon Pastor. 

Ada yang setelah tamat SMA atau bahkan setelah lulus kuliah atau juga dari dunia kerja, baru masuk seminari. Intinya, dari mana pun asal sekolahnya, asalkan mau dibentuk seperti siswa seminari, dia akan bisa menempuh pendidikan calon Pastor.

Maka, asal ada yang mau dan berminat, tanpa masuk seminari pun, umat Muara Fajar bisa mengajak anak-anaknya untuk menanggapi panggilan khusus ini. Seminari sebagai tempat bisa dihadirkan dalam keluarga Kristiani. Gereja Katolik selalu menekankan bahwa, keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama dalam membina kehidupan anak-anak. Saat keluarga Kristiani menerapkan pola dan maksud Gereja ini, saat itulah keluarga itu akan menjadi seminari bagi anggota keluarganya.


Muara Fajar akan mekar seperti mentari pagi. Di Muara ini, presentasi kami mesti berakhir. Dengan harapan, Fajar panggilan itu akan segera terbit. Baik Muara maupun Fajar muncul hari ini atas kerja sama yang baik dari Pastor Pancani SX beserta tim animasi: Fika, Clara, Ira, Delfi, dan Rini, Bang Idin (nahkoda perjalanan) dan keluarga yang baik dari Stasi Muara Fajar.

Jayalah selalu Muara Fajar. Dari dua kiranya menjadi banyak. Banyak bertanya, banyak tahu. Banyak tahu, banyak mengerti. Banyak mengerti banyak memahami. Setelah paham, ajaklah anak-anak kalian menanggapi panggilan khusus ini. Amin

BM, 10/09/2017
Gordi SX

IMAN YANG HAUS



Iman rupanya bisa membuat seseorang menjadi haus. Haus akan pengetahuan. Ibarat rusa di padang rumput, seseorang akan mencari dan terus mencari sumber kepuasan dahaganya. Iman dengan demikian amat dekat dengan pengetahuan. Boleh jadi, iman dan pengetahuan akan selalu berjalan bersama.

Memang, iman dan pengetahuan akan selalu berjalan bersama. Penegasan ini dicetuskan juga oleh Agustinus (354-430), Filsuf dan Teolog kondang dari Tagaste, Afrika. Agustinus mengibaratkan iman dengan ‘percaya’ dan pengetahuan dengan ‘pengertian’. Maka, kata Agustinus: Saya mengerti untuk percaya, dan saya percaya untuk mengerti. Dalam Bahasa Latin, ekspresi ini berbunyi Credo ut intelligam, intelligo ut credam. Dengan demikian—tutur Agustinus—iman dan pengetahuan akan saling melengkapi.


Karena saling lengkap, iman pun mesti diseimbangkan dengan pengetahuan. Jika tidak seimbang, keduanya akan sangat berbahaya. Bisa jadi orang akan menjadi konservatif. Atau juga, orang menjadi ekslusif, percaya buta, percaya tanpa dasar, dan sebagainya. Agustinus pun dengan tegas mengatakan hanya mereka yang mempunyai iman, bisa percaya sepenuhnya. Sebaliknya, siapa yang hanya mempunyai iman saja (tanpa pengetahuan-red), tidak akan bisa percaya sepenuhnya. Dengan kata lain, iman perlu dilengkapai dengan pengetahuan. Iman tanpa pengetahuan belum lengkap. Demikian juga, pengetahuan tanpa iman.

Iman dan pengetahuan inilah yang kami temukan dalam animasi ke-13 di Stasi Petapahan. Di sini, di dalam gedung Gereja Katolik St Thomas, iman dan pengetahuan itu dilengkapi. Diskusi dan tanya jawab adalah sarana yang digunakan untuk melengkapi kedua hal ini.


Sebelum sampai pada bagian ini, tim animasi dari Paroki St Paulus Pekanbaru, memaparkan sedikit latar belakang kegiatan animasi. Penjelasan ini akan dilengkapi cerita pengalaman panggilan saya pada babak kedua. Kedua seri ini pun dilengkapi dengan bagian ketiga berupa tanya jawab dan diskusi.

Dari berbagai pertanyaan yang muncul, bisa disimpulkan bahwa umat di Stasi ini amat haus pengetahuan. Boleh jadi terlalu sulit untuk menilai kadar iman mereka, tetapi pengetahuan iman mereka bisa diukur.  

Boleh jadi Santo Agustinus akan merasa senang dengan diskusi kami sore ini. Kami memang sedang melengkapi iman kami dengan pengetahuan. Maka, segala pertanyaan yang berkaitan dengan iman pun diajukan. Dari hal-hal sederhana sampai pada hal yang sulit.

Mulai dengan pertanyaan seputar panggilan hidup: apa perbedaan antara Imam Projo dan Imam Religius dari Kongregasi/Ordo/Serikat, apa perbedaan antara Diakon dan Imam/Pastor. Ada juga pertanyaan seputar proses menjadi Imam: apakah butuh biaya, berapa lama pendidikannya.


Dari pertanyaan intern ini, ada juga yang berkaitan dengan gereja: Apa perbedaan antara Gereja Katolik Roma dan Gereka Katolik Ortodoks, Mengapa Pastor itu mesti menjadi Misionaris sementara di Indonesia ada kekurangan pastor.

Dari sini, tampak bahwa animasi sore ini selain bisa memperkenalkan siapakah saya, juga untuk memuaskan dahaga iman kami. Terima kasih untuk umat Stasi Petapahan yang meski jumlahnya sedikit tetapi banyak mengajukan pertanyaan.

Kiranya rentetan pertanyaan ini menjadi pembuka jalan bagi diskusi selanjutnya. Dahaga iman pun dilengkapi dengan dahaga raga kami melalui santap malam. Santapan ini menjadi berahmat Karena bertepatan dengan malam takbiran bagi umat Muslim yang esok akan merayakan Idul Adha, perayaan kurban. Kami ikut berbahagia pada Perayaan Kurban ini.

BM, 1/09/2017
Gordi  





WAJAH YANG POLOS


Mungkin perlu wajah yang polos untuk menikmati keindahan seorang wanita. Itu berarti, wajah itu tanpa kosmetik. Dengan itu, kecantikan yang ada muncul dari kedalaman dan bukan dari penampakan polesan kosmetik. Di tengah kepolesan berbagai hal mulai dari kosmetik, makanan, sampai pada pengalaman iman, kita butuh kepolosan dalam berelasi dengan Tuhan.

Kepolosan seperti itu muncul dari suara seorang adik SD sore ini (18 Agustus). Suara itu terdengar indah dan menggugah.

“Kak, boleh kita foto bersama?” tanya seorang anak di Stasi Majuah-juah, Paroki St Paulus. Saya yang sedang mencek pesan masuk di hp sontak kaget dan membalas dengan senyum sambil menatap wajah adik itu.

“Ayo, tentu saja kita bisa berfoto bersama,” jawab saya sambil memeluknya.

Kami pun siap berfoto. Teman-teman lain dikumpulkan dalam barisan. Ada dua baris. Saya berada di barisan kedua bersama beberapa adik SD itu. Yang lainnya di depan. Ada beberapa hp yang mengabadikan barisan kami saat itu. Beberapa dari adik-adik ini bergiliran memberikan hp pada sang fotografer bergilir. Seolah-olah mereka tidak mau kehilangan momen ini. Boleh jadi, mereka merasa bangga sekali bisa berfoto bersama sore itu.

Saya senang dan bangga bisa berkumpul bersama mereka pada saat itu. Kalau boleh bilang, mereka adalah sahabat-sahabat yang langsung akrab pada saat itu. Kesempatan ini memang datang setelah Perayaan Ekaristi yang kami rayakan. Pada saat itu, saya membagikan pengalaman panggilan saya. Boleh jadi, mereka sudah mendengar cerita saya. Atau paling tidak, mereka sudah melihat saya. Jadi, tentu saja, kami bukan orang asing satu sama lainnya. Kami sudah saling kenal. Hanya saja masih disekat oleh rasa malu dan enggan sehingga permintaan itu pun seakan-akan begitu berjarak. Tetapi, justru permintaan itu adalah gambaran kepolosan seorang anak.

Permintaan adik tadi mengingatkan saya akan wajah-wajah polos di tempat lainnya yang saya temukan dalam kegiatan animasi panggilan ini. Wajah mereka menampakkan pemandangan yang bukan saja indah untuk dilihat, tetapi juga menarik untuk didekatkan. Itulah sebabnya, permintaan itu bukan saja sekadar ingin berfoto. Saya malah melihatnya sebagai sebuah ajakan untuk saling menguatkan dan berbagi. Hanya dalam kepolosanlah, kita bisa saling menguatkan dan berbagi.


Beberapa teman dari Italy berkomentar tentang foto itu. Ada yang bilang, Gordi, kamu sudah di jalan yang benar, anak-anak ditempatkan di barisan pertama, (Giorgio R). Boleh jadi ini sebuah keajaiban. Tidak ada pikiran untuk menempatkan mereka seperti itu sebenarnya. Tetapi, bagus juga ketika ada sahabat yang menilainya seperti itu.

Penilaian itu juga menaruhkan harapan yang indah akan masa depan Gereja dan Bangsa kita. Ada yang berkomentar, Gordi, sungguh indah melihat kamu berada di tengah masa depan ini. Merekalah harapan kita, (Nama samaran). Harapan memang selalu menjadi ciri khas anak-anak dan kaum muda. Maka, melihat mereka berarti melihat sebuah harapan. Kaum muda juga hendaknya memiliki harapan. Uskup Parma, Monsinyur Enrico Solmi dalam pesannya kepada kaum muda di Kota dan Keuskupan Parma pada 2016 yang lalu berpesan agar kaum muda memiliki harapan untuk bisa memperbaiki kota dan Gereja di kota Parma. Ia lalu menantang kaum muda dengan kata-kata seorang santo. Katanya, “Anak muda yang tidak memiliki mimpi adalah anak muda yang mati.”

Harapan selalu terkait dengan kehidupan. Itulah sebabnya, tanpa harapan sama dengan tanpa kehidupan. Dan, tanpa kehidupan sama maknanya dengan sebuah kematian. Entah kematian fisik, ide, kehidupan, pikiran, perbuatan, relasi, dan sebaginya.

Akhirnya, terima kasih kepada adik-adik yang polos dari Stasi Menjuah-juah. Wajah kalian akan saya ingat dan akan saya pandang terus menerus.

BM, 21/8/2017
Gordi

Powered by Blogger.