Halloween party ideas 2015

FOTO, htrichmond.org.uk
Hari ini sibuk
Dari pagi sampai malam
Memang hari sibuk
Kebetulan datangnya bersamaan

Pagi ada acara
Berakhir siang
Sore istirahat karena capek
Malam pergi lagi

Jadinya malam panjang
Untunglah ada makan-makan
Tubuh yang mulai lemah
Jadi kuat lagi

Tubuh memang butuh energi
Jika tidak tubuh akan lemah
Dari lemah jadi sakit
Kalau tubuh sakit
Otak pun tak bisa bekerja

Tubuh ini makin kuat
Apalagi setelah makan ada tambahan
Eskrim kesukaan
Tiga rasa sudah cukup

Jadilah tubuh ini kuat lagi
Ada energi baru yang masuk
Sudah capek istirahat lagi
Sudah istirahat bekerja lagi

Dalam kesibukan masih ada peluang
Terima kasih untuk waktu yang ada
Terima kasih untuk rezeki yang Kau berikan
Dalam peluang ini kubersyukur pada-Mu

Dari-Mu kami memperoleh
Pada-Mu kami menuju
Dengan-Mu kami bekerja
Tanpa-Mu kami lemah

Terima kasih untuk kebersamaan ini
Penyertaan-Mu sungguh luar biasa
Engkau dan kami memang satu selamanya
Bagai penari dan tariannya

PRM, 18/5/15
Gordi

FOTO, ilsecoloxix.it
Pak sopir terima kasih
Kubuatkan puisi ini untukmu
Bukan sekadar rasa terima kasih
Tapi karenamu kami bisa kembali ke rumah

Dari pagi sampai malam
Seharian bersamamu
Dan kamu bersama kami
Rasanya seperti satu keluarga

Mungkin keluarga di rumah menunggumu
Keluarga kami juga menunggu
Tapi karena kita berkeluarga
Jadilah kita bawa keluarga itu dalam perjalanan indah ini

Keluargamu akan tersenyum menyambutmu
Keluarga kami juga demikian
Senyuman dari keluarga ke keluarga
Senyuman yang menjadi tanda damai

Tak ada yang mengkhawatir dalam perjalanan hari ini
Semuanya berjalan baik-baik saja
Dari hujan tadi pagi saat pergi
Sampai cerah tadi siang dan sore bahkan malam waktu pulang

Semua anugerah Dia di atas
Anugerah yang diberikan pada kita
Dia tahu kita mengadakan perjalanan panjang
Dia pun memberikan apa yang kita butuhkan

Mungkin kita khawatir dalam perjalanan pergi
Karena hujan yang tidak saja membuat dingin
Tapi juga menciptakan suasana cemberut
Betapa hujan biasanya menghadang semua aktivitas

Tapi semuanya berjalan lain
Hujan itu berubah jadi mentari yang cerah
Suasana cemberut itu berubah jadi wajah senyum
Kekhwatiran pun diubah jadi pengharapan

Hidup memang mesti disertai harapan
Dengan harapan pula perjalanan hari ini jadi lancar
Kami berharap pada pak sopir
Dan Pak sopir berharap pada kami

Semua saling berharap
Dan lebih dari itu semua
Dia yang di atas sebenarnya sudah tahu
Kita berharap, Dia yang memenuhinya

PRM, 16/5/15
Gordi

FOTO, tgcom24.mediaset.it
Di sudut sekolah kutunggu
Di sudut sekolah juga kutiba
Sudut inilah tempat berpisah dan bertemu
Pagi berpisah dan sore bertemu 

Dari rumah ibu menemaniku
Dan dari sekolah juga ibu menemaniku
Pagi hari, ibu mengantarku sampai di sudut sekolah
Dan sore hari, ibu menjemputku di sudut sekolah

Sudut sekolah ini jadi tempat singgah
Antara orang tua dan anak
Dengan bapak atau dengan ibu
Atau juga dengan kakak

Meski hanya tempat singgah, sudut ini amat berarti
Di sinilah cinta kami bertumbuh
Cinta ibu dan bapak untukku
Cinta kakak untuk adik

Cinta itulah yang membuat kami bebas
Cinta memang mesti bebas
Cinta tidak pernah mengikat
Kalau mengikat itu namanya paksaan

Dengan cinta itu, ibu melepaskanku
Bukan untuk membuat ku berbuat bebas begitu saja
Tetapi membuatku bebas mencari ilmu
Maka, cinta itu pun mewarnai sekolahku

Cinta ibu seolah-olah mengajarku untuk mencintai yang lain
Ibu dan aku bukanlah satu orang
Ibuku adalah satu wujud manusia
Demikian juga aku

Antara kami ada cinta
Cinta yang membuat kami bebas
Bebas tetapi bertanggung jawab
Cinta yang membebaskan

Cinta ibu memang mengajarkanku untuk mencintai
Ibu mencintaiku dan aku pun mencintai temanku
Dengan cinta, ibu merelakanku jauh darinya
Namun, dengan cinta juga ibu mendekatkanku pada pangkuannya

Maka, cinta itu, cinta di sudut sekolah
Cinta yang mengantarku ke sekolah
Cinta yang menjemputku ke rumah
Cinta yang membebaskan kami

Cinta itu lebih besar dari derasnya hujan
Dan hujan itu begitu besar
Namun ibu tetap datang menjemputku
Semua karena cinta

PRM, 15/5/15
Gordi


FOTO, communitiyrountable.com
Ungkapan terima kasih adalah rasa cinta. Mungkin tidak banyak yang bisa sampai pada pemikiran ini. Boleh saja bertanya, apa hubungan keduanya. Nyatanya, dua hal ini berbeda. Terima kasih adalah satu hal, dan cinta adalah satu hal. Keduanya berbeda. Meski berbeda, keduanya bisa disatukan. Terima kasih bisa jadi ungkapan cinta. 

Seorang teman bule pernah mengatakan, jika kamu mau dihargai oleh orang lain, berilah dia sapaan terima kasih”. Jika Anda bertemu siapa saja, berilah dia ucapan ini. Oleh sebab itu, kamu mesti tahu mengungkapkannya dengan baik dan dalam bahasa yang bisa dimengerti. Salah satu bahasa yang bisa digunakan di mana saja adalah bahasa Inggris. Oleh sebab itu, kalau bisa ucapkan thanks, itu sudah cukup. Saya setuju dengan ini. Dia melanjutkan, jika mau lebih lagi, belajarlah mengungkapkannya dalam berbagai bahasa. Paling tidak, bahasa di mana kamu berada.

Bule ini pernah ke Indonesia dan dia bisa mengucapkan TERIMA KASIH kepada setiap orang Indonesia yang dia jumpai. Bukan saja di Indonesia, ketika dia berkunjung ke negara lain, dia selalu mengucapkan kata ini dalam bahasa setempat. Dia tentu belajar banyak bahasa khususnya untuk mengungkapkan kata ini. Katanya, dia sudah bisa mengungkapkan kata ini dalam lebih dari puluhan bahasa. Dia memang sudah berkunjung ke banyak negara.

Ungkapan TERIMA KASIH memang amat penting. Selain bentuk pernghargaan, ungkapan ini sebenarnya adalah bentuk cinta. Aku berterima kasih padamu karena aku mencintaimu. Aku mencintaimu dan karena itu aku berterima kasih padamu.

Saya sendiri merasa bangga, senang, dan terharu, ketika teman-teman asing bilang TERIMA KASIH pada saya. Ini sebuah sapaan yang menyentuh hati. Saya merasa, saya dihargai, bahasa saya dihargai, oleh teman yang mengucapkan itu. Jangankan oleh teman-teman asing, teman-teman Indonesia yang mengucapkan kata ini saya hargai betul. Saya akan memberikan penghargaan yang tinggi pada mereka. Di Indonesia, saya banyak menjumpai orang-orang kecil yang mengucapkan kata-kata ini. Tampak sekali mereka mengucapkannya dari dalam hati. Bukan sekadar ucap.

Memang kata ini bisa diucapkan sekadar ucap. Lihat saja tukang iklan atau tukang promosi yang pura-pura mengumbar kata-kata ini. Saya sudah tahu sebenarnya, di antara mereka, ada yang mengumbar kata ini untuk menarik perhatian. Ada yang memang benar-benar mengucapkannya dari hati.

Saya senang jika Anda mengucapkan kata ini dari hati. Sebab, kata ini adalah bentuk cinta. Aku mencintaimu karena itu aku berterima kasih padamu. Dan saya yakin, dengan ungkapan TERIMA KASIH yang sederhana ini, Anda akan dihargai. Orang lain juga akan senang jika Anda mampu mengucapkan kata ini dari hati. Di Italia, saya sering sekali mendapat ucapan TERIMA KASIH. Hanya beri bantuan sedikit saja, bagi mereka, itu sudah berharga. Mereka tidak segan-segan membalasnya dengan ungkapan TERIMA KASIH.

Kata TERIMA KASIH sangat sederhana namun kadang enggan sekali untuk diucapkan. Saya selalu berusaha untuk mengucapkan kata ini dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh lawan bicara saya. Teringat ketika tinggal bersama anak-anak Panti Asuhan Santo Yusuf, Boro, Jawa Tengah. Di sana, saya berjumpa dengan banyak orang Jawa yang bicara bahasa Jawa. Saya juga belajar bahasa Jawa meski tidak sampai selesai. Salah satu dari sekian kata awal yang saya pelajari adalah TERIMA KASIH. Saya selalu mengucapkan MATUR NUWUN ketika bertemu kakek, nenek, saudari/a yang sedang lewat di jalan. Mereka membalas dengan MATUR NUWUN juga sambil tersenyum. Saya senang jika sapaan saya diterima dengan baik.

Bukan saja orang Jawa. Di Italia juga, saya selalu berusaha mengucapkan kata ini pada saat dan tempat yang tepat. Biarkan kata ini menyentuh hati lawan bicara kita. Dan, setiap kali mendengar ucapan terima kasih ini, saya merasa seperti DIA MENYENTUH HATIKU DENGAN CINTANYA. Itulah sebabnya saya katakan TERIMA KASIH adalah bentuk cinta.

Terima kasih

PRM, 14/5/2015
Gordi

FOTO, ninebullets.net
Benar kata bapak dulu. Kalau mau maju, jangan cari popularitas. Aku ingat persis kalimat itu. Aku tak paham sama sekali dalam praktiknya. Maju tanpa mencari popularitas adalah hal yang sulit. Bagaimana mau maju jika tidak dikenal. Bagaimana dikenal jika tidak membuat popularitas? Popularitas mestinya dibuat agar bisa maju.

Tapi aku tak berhenti di sini. Bapak kok bilang seperti itu. Kata orang tua dulu, dengar kata-kata orang tua dan para tetuamu. Mereka banyak makan garam. Mereka merasakan bukan saja pahitnya hidup tetapi juga manisnya. Oleh sebab itu, mereka bisa berkata-kata dengan bijak. Kata-kata mereka lahir bukan dari berpikir tetapi dari berefleksi. Refleksi yang berujung pada kebijaksanaan. Kata-kata mereka itu pada akhirnya menjadi sebuah kebijaksanaan. Tapi, kalau bapak menyampaikan kata-kata itu pada saya, apakah itu juga muncul dari kebijaksanaannya?

Sungguh kata-kata bapak itu memang tidak kupahami betul. Justru kata-kata itu yang membuat saya terus menerus berpikir. Ada apa di baliknya? Aku tak berhenti pada bertanya. Aku terus menerus mencari jawaban. Aku berpikir tetapi tak menemukan jawabannya. Aku membaca tetapi tak menemukan jawabannya. Mungkin aku mesti kembali kepada ujung kata-kata bapak itu. Kata-kata itu lahir dari kebijaksaan. Kebijaksanaan yang bermula dari refleksi panjang. Refleksi sepanjang hidup. Maka, kata-kata itu pada dasarnya adalah kata-kata kehidupan. Kata-kata yang lahir dari pergulatan hidup.

Jangan maju jika ingin mencari popularitas. Popularitas memang menjadi pintu untuk menjadi orang terkenal. Anda populer, Anda menjadi orang terkenal. Anda, dengan mudah dipilih menjadi pemimpin. Pemimpin hebat kadang-kadang lahir dari kepopulerannya. Tetapi, ada yang berhenti pada kata populer. Ada yang berusaha maju selangkah di balik kata populer.

Memang populer itu penting, apalagi bagi calon pemimpin. Tetapi, populer itu juga tidak begitu penting. Populer kadang-kadang mengungkung gerak langkah manusia. Anda populer, kami dukung Anda, tetapi Anda harus balas jasa kami. Anda populer tetapi lupa akan kebaikan kami, maka Anda akan dicaci maki banyak orang. Maka, mana yang Anda cari, populer atau kebaikan?

Populer tentu saja baik, tetapi jika tidak digunakan untuk kebaikan bersama, populer itu sebaiknya ditinggalkan.

Maka, aku paham sekarang kata-kata bapak. Kalau mau maju, jangan cari populer. Carilah kebaikan bersama. Anda menemukan kebaikan bersama maka Anda dengan sendirinya akan populer.

*Obrolan sore.

PRM, 13/5/15
Gordi


REGINA CÆLI POPE FRANCIS
Saint Peter's Square
Sixth Sunday of Easter, 10 May 2015

Dear Brothers and Sisters, Good morning!
Today’s Gospel — John Chapter 15 — brings us back to the Last Supper, when we hear Jesus’ new commandment. He says: “This is my commandment, that you love one another as I have loved you” (v. 12). Thinking of his imminent sacrifice on the cross, He adds: “Greater love has no man than this, that a man lay down his life for his friends. You are my friends, if you do what I command you” (v. 13-14). These words, said at the Last Supper, summarize Jesus’ full message. Actually they summarize all that He did: Jesus gave His life for His friends. Friends who did not understand Him, in fact they abandoned, betrayed and denied Him at the crucial moment. This tells us that He loves us, even though we don’t deserve His love. Jesus loves us in this way!

Thus Jesus shows us the path to follow Him: the path of love. His commandment is not a simple teaching which is always abstract or foreign to life. Christ’s commandment is new because He realized it first, He gave His flesh and thus the law of love is written upon the heart of man (cf. Jer 31:33). And how is it written? It is written with the fire of the Holy Spirit. With this Spirit that Jesus gives us, we too can take this path!

It is a real path, a path that leads us to come out of ourselves and go towards others. Jesus showed us that the love of Godis realized in love for our neighbour. Both go hand-in-hand. The pages of the Gospel are full of this love: adults and children, educated and uneducated, rich and poor, just and sinners all were welcomed into the heart of Christ.

Therefore, this Word of God calls us to love one another, even if we do not always understand each other, and do not always get along... it is then that Christian love is seen. A love which manifests even if there are differences of opinion or character. Love is greater than these differences! This is the love that Jesus taught us. It is a new love because Jesus and his Spirit renewed it. It is a redeeming love, free from selfishness. A love which gives our hearts joy, as Jesus himself said: “These things I have spoken to you, that my joy may be in you, and that your joy may be full” (Jn 15:11).

It is precisely Christ’s love that the Holy Spirit pours into our hearts to make everyday wonders in the Church and in the world. There are many small and great actions which obey the Lord’s commandment: “Love one another as I have loved you” (cf. Jn 15:12). Small everyday actions, actions of closeness to an elderly person, to a child, to a sick person, to a lonely person, those in difficulty, without a home, without work, an immigrant, a refugee.... Thanks to the strength of the Word of Christ, each one of us can make ourselves the brother or sister of those whom we encounter. Actions of closeness, actions which manifest the love that Christ taught us.
May our Most Holy Mother help us in this, so that in each of our daily lives love of God and love of neighbour may be ever united.

After the Regina Caeli:
Dear brothers and sisters, I greet all of you, families, parish groups, associations and pilgrims from Italy and many parts of the world, especially Madrid, Puerto Rico and Croatia.

Today Mother’s Day is celebrated in many countries. Let us recall with gratitude and affection all of our moms. Now I will address the moms that are here in the square: are there any? Yes? Are there any mothers? A round of applause for them, for the mothers in the square ... May this applause embrace all mothers, all of our dear mothers, those who live with us and those who are with us in spirit. May the Lord bless them all, and may Our Lady, to whom this month is dedicated, protect them.
I wish everyone a happy Sunday — it’s a bit warm.... And please, do not forget to pray for me. Have a good lunch andarrivederci!
       
© Copyright - Libreria Editrice Vaticana

      






GENERAL AUDIENCE POPE FRANCIS
Saint Peter's Square
Wednesday, 13 May 2015

The family - 14. The three expressions

Dear Brothers and Sisters, Good morning!
Today’s catechesis will serve as a doorway to a series of reflections on family life and what it’s really like to live in a family, day in and day out. Imagine three expressions written above the doorway; expressions I’ve already mentioned here in St Peter’s Square several times before. The expressions are: “may I?”, “thank you”, and “pardon me”. Indeed, these expressions open up the way to living well in your family, to living in peace. They are simple expressions, but not so simple to put into practice! They hold much power: the power to keep home life intact even when tested with a thousand problems. But if they are absent, little holes can start to crack open and the whole thing may even collapse.

We usually include these expressions under the general category of being “well-mannered”. Okay, a well-mannered person asks permission, says thanks, and asks forgiveness after making a mistake. Very well. But good manners really are that important. A great Bishop, Francis de Sales, used to say that “good manners are are already half the way to holiness”. But be careful: history has shown that good manners also can become a kind of formalism that masks a dryness of soul and indifference toward the other person. It is often said, “behind a lot of good manners lurk a lot of bad habits”. Not even religion is immune from the risk of having formal observance sink into spiritual worldliness. The Devil, tempting Jesus, boasts of good manners. Indeed, he presents himself as a gentleman, a knight in shining armor. He even presents himself as a theologian by quoting Holy Scripture. He appears to have everything right and neat on the outside, but his intent is always to lead others astray from the truth of God’s love. We, however, mean “good manners” only in the most authentic way, according to which the habit of cultivating good relations is firmly rooted in a love for the good and a respect for the other person. The family lives according to this refined sense of loving.

Let’s look at these expressions: the first expression is, “may I?” When we take care to ask for something kindly — even something we think we have a rightful claim to — we help to strengthen the common life that undergirds marriage and the family. Entering into the life of another, even when that person already has a part to play in our life, demands the sensitivity of a non-invasive attitude which renews trust and respect. Indeed, the deeper and more intimate love is, the more it calls for respect for the other’s freedom and the ability to wait until the other open’s the door to his or her heart. At this point, we can remember the words of Jesus in the Book of Revelation: “Behold, I stand at the door and knock; if any one hears my voice and opens the door, I will come in to him and eat with him, and he with me” (3:20). Even the Lord asks permission to enter! Let us not forget that. Before doing anything in your family, ask: “Do you mind if I do this? Would you like me to do this?” This way of asking is well-mannered indeed, but it is also full of love. This does so much good for families.

The second expression is “thank you”. Sometimes we have to wonder if we are turning into a civilization of bad manners and bad words, as if this were a sign of self-liberation. It’s not uncommon to hear these bad words publicly. Kindness and the ability to say “thank you” are often considered a sign of weakness and raise the suspicion of others. This tendency is encountered even within the nucleus of the family. We must become firmly determined to educate others to be grateful and appreciative: the dignity of the person and social justice must both pass through the portal of the family. If family life neglects this style of living, social life will also reject it. Gratitude, however, stands at the very core of the faith of the believer. A Christian who does not know how to thank has lost the very “language” of God. This is terrible! Let’s not forget Jesus’ question after he heals the ten lepers and only one of them returns to thank him (Luke 17:18). I remember once listening to a very wise, old person; very simple, but with that uncommon wisdom of life and piety: “Gratitude is a plant that grows only in the soil of noble souls”. That nobility of soul, that grace of God in the soul compels us to say “thank you” with gratitude. It is the flower of a noble soul. This really is something beautiful.

The third expression is “pardon me”. Granted, it’s not always easy to say, but it is so necessary. Whenever it is lacking, the little cracks begin to open up — even when we don’t want them to — and they can even become enormous sinkholes. It’s hardly insignificant that in the “Our Father” that Jesus teaches us — a prayer that sums up all of life’s essential questions — we find this expression: “Forgive us our trespasses, as we forgive those who trespass against us” (Matt 6:16). To acknowledge that we have fallen short, to be desirous of returning that which has been taken away — respect, sincerity, love — these make us worthy of pardon. This is how we heal the infection. If we are not able to forgive ourselves, then we are no longer able to forgive period. A house in which the words “I’m sorry” are never uttered begins to lack air, and the flood waters begin to choke those who live inside. So many wounds, so many scrapes and bruises are the result of a lack of these precious words: “I am sorry”. Marital life is so often torn apart by fights … the “plates will even start flying”, but let me give you a word of advice: never finish the day without making peace with one another. Listen to me carefully: did you fight with your wife or husband? Kids — did you fight with your parents? Did you seriously argue? That’s not a good thing, but it’s not really that which is the problem: the problem arises only if this feeling hangs over into the next day. So if you’ve fought, do not let the day end without making peace with your family. And how am I going to make peace? By getting down on my knees? No! Just by a small gesture, a little something, and harmony within your family will be restored. Just a little caress, no words necessary. But don’t let the sun go down on your family without having made your peace. Do you understand me? It’s not easy, but you have to do it. It will help to make life so much more beautiful.

So these three key expressions for family life are really simple words; so simple that perhaps they even bring a smile to our face. But when we forget them, it’s no laughing matter, right? Perhaps we overlook our good manners too often. May the Lord help us to put them back where they belong: in our hearts, in our homes, and in our civic life. These are the words that truly enter into the love of a family.

Special greetings:
I offer an affectionate greeting to all the English-speaking pilgrims and visitors present at today’s Audience, including those from England, Sweden, Taiwan, Cameroon and the United States. May Jesus Christ strengthen you and your families in faith, so that you may be a sign to the world of his love and mercy. May God bless you all!

I address a special thought to young people, to the sick and to newlyweds. Today is the liturgical memory of the Blessed Virgin of Fatima. Dear young people, learn to cultivate a devotion to the Mother of God with the daily recitation of the Rosary; dear sick people, feel Mary present at the hour of the Cross and you, dear newlyweds, pray to her that love and mutual respect never be lacking in your home.

© Copyright - Libreria Editrice Vaticana

FOTO, sologiardino.it
Suatu sore, bosku memanggilku ke kantornya. Dia tanya jika saya siap untuk menerima tawaran kerja. Bekerja sebagai tukang kebun. Hatiku melonjak-lonjak kala mendengar penjelasannya. Aku berkhayal, aku dulu ingin jadi tukang kebun. Lebih-lebih ketika mendengar tukang kebun itu membagikan pengalamannya. Dan, rupanya khayalan ini jadi nyata. Aku ditawari bekerja di rumah itu. Rumahku selama tiga bulan. Rumah tempat teman-temanku hidup teratur dan bahagia.

Aku pun pamit sama teman-temanku. Aku pergi ke rumah ini dan bekerja di sana. Dari hari ke hari, aku menikmati pekerjaanku. Awalnya sulit sekali. Banyak perintah untuk buat ini dan itu. Belum lagi mengoperasikan banyak mesin yang sama sekali aku tidak tahu. Tapi, hidup memang mesti dijalani. Dalam perjalanannya aku mesti belajar. Dan, aku belajar mengoperasikan mesin-mesin itu. Ganti mesin ganti cara operasinya. Dan, aku harus belajar semuanya. Dari kerja ini, tiap akhir bulan, aku menerima gaji. Aku tidak melihat uangnya. Uangnya langsung dikirim ke nomor rekeningku. Aku bisa mengeceknya kapan saja. Dan, setelah uangnya cukup, aku ingin sekali kembali ke negeriku. Namun, aku pikiri tidak ada gunanya. Lebih baik aku bekerja di sini saja. Bahagia. Kalau aku kembali, aku membuang pekerjaan ini. Dan, ini merugikan aku sendiri.

Hidup memang adalah perubahan. Aku yang imigran ini kini menjadi pekerja tetap di Eropa ini. Negeri ini cocok bagiku untuk menikmati hidup bahagia. Impianku dulu, kini jadi nyata. Aku mau mengisi hidup ini dengan kebahagiaan. Aku tak mau jadi pembunuh lagi. Aku tak mau tergoda nafsu membunuh lagi. Aku mau bantu sesama sekarang. Banyak temanku yang datang ke Eropa hanya menganggur saja. Sebagiannya tidak bisa bekerja. Mereka tidak seperti aku yang punya pekerjaan ini. Aku kini berusaha untuk mencari tempat bagi mereka. Semoga aku dapat. Semoga seperti aku, mereka kelak bekerja dan bisa menikmati hidup bahagia. (habis)

PRM, 12/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.

Dari postingan di kompasiana, AKU PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA (2)

FOTO, smilecityitalia.net
Musim dingin datang. Aku diberi kesempatan untuk pindah rumah. Hidupku pun berubah. Di sana, aturannya lebih ketat lagi. Tidak bisa sebebas seperti di rumah lama. Aku rasa sulit sekali beradaptasi. Namun, pelan-pelan dengan bantuan pemilik rumah, aku bisa. Tidak lama di sini, hanya tiga bulan. Selama musim dingin. Ini perjanjian awalnya.

Di sana aku lihat orang-orang hidup teratur. Mereka rata-rata bersekolah. Pagi sampai sore di luar rumah. Entah pergi kuliah atau mengajar. Malam berkumpul di rumah. Makan bersama, nonton bersama, lalu tidur. Pagi hari, mereka mengawali kegiatan dengan doa. Entah bagaimana doanya. Aku tak tak tahu. Aku hanya mendengar mereka bernyanyi dan membaca. Mereka berkumpul di satu ruangan. Aku sekali melihat ruangan itu dengan seorang dari mereka waktu kali pertama masuk rumah ini. Ada salib di dalamnya. Dan, ada banyak gambar lainnya. Penuh dengan seni lukis dan foto-foto lama. Aku tentu saja tidak bisa masuk seenaknya saja di ruangan ini. Aku tidak seagama dengan mereka. Dan, ini adalah ruang doa mereka.

Aku senang tinggal di sini. Bercakap-cakap dengan mereka itu menyenangkan. Dan, rupanya di sini juga aku hidup gratis. Makan siang dan malam serta pagi selalu ada. Pakaian juga dicucikan. Satu siang, aku melihat tukang kebun mereka. Orangnya baik. Mungkin karena tua, dia ingin pensiun. Dia sudah lama bekerja di sini. Banyak pengalaman yang dia bagikan denganku. Aku dengan senang hati mendengarnya. Dalam hati, aku pikir, mungkin tempatku nanti di sini. Aku senang sekali jika pengalamannya menjadi pengalamanku.

Tiga bulan berlalu. Aku pun diberi kesempatan untuk kembali ke rumah lamaku. Di sana, aku jumpa dengan bosku dan teman-teman lamaku. Mereka semuanya baik-baik. Tidak banyak berubah. Hidup monoton dan peraturan tidak diganti. Lama-lama hidup gratis ini menjadi tidak enak lagi. Tidak bisa menikmati hidup gratis di Eropa ini. (bersambung)

PRM, 12/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.

Dari postingan di kompasiana, AKU PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA (2)

FOTO, spiegel.de
Keinginanku untuk hidup bahagia hampir tak terbendung. Entah kapan realisasinya. Saat ini, aku sedang mencarinya. Hidup bahagia memang tidak saja bahagia di dalam hati tapi juga bahagia dalam hidup di luar. Hidup harian yang bahagia akan menambah kebahagiaan dalam hati. Mesti, tanpa bahagia luar itu pun, bahagia dalam hati tetap ada. Tetapi, lebih baik keduanya sama-sama bahagia, saling melengkapi.

Pagi itu, aku dibawanya ke rumah besar. Tampak seperti penampungan lagi. Memang, ini rumah penampungan. Namun, tidak seperti rumah penampungan sebelumnya. Yang ini agak teratur. Ada jadwal yang harus diikuti. Keluar rumah saja diatur. Jam terakhir masuk rumah saja teratur. Untuk merokok saja, tidak di semua tempat. Ini betul-betul Eropa. Dan, orang Eropa rupanya seperti ini. Beginikah caranya supaya bahagia?

Wah…semuanya serba diatur. Aku tidak bisa lagi bebas merokok seperti di negeriku. Aku tentu saja bebas merokok di luar rumah. Tapi, tidak boleh di dalam rumah. Apalagi dalam kamar. Ada bagusnya juga, aku tidak bisa lagi merokok terus terusan. Apalagi, di sini aku hanya pendatang, pencari hidup bahagia. Aku tak punya uang tapi aku bisa makan gratis. Kalau gratis terus, apa jadinya nanti? Aku tak ingin gratis semua. Paling tidak, aku harus merasakan pahit manisnya mendapatkan uang. Ada usaha, puas, dan bahagia. Tidak mau terus menerus menunggu gratis. Aku tak mau meminta meski banyak yang ingin memberi barang satu dua euro.

Aku ingin kerja sekarang. Namun, tidak ada tawaran untuk bekerja. Memang tidak mudah. Apalagi, aku belum bisa berbahasa dengan baik. Untuk bercakap-cakap saja bisa. Mungkin aku harus mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan peran intelektual. Terlalu sulit bagiku yang belum bisa berbahasa dengan baik ini. (bersambung)

PRM, 12/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa. 

Dari postingan di kompasiana, AKU PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA (2)
Powered by Blogger.