Halloween party ideas 2015

Berbahagialah para siswi-a yang lulus dan berjuanglah para siswi-a yang gagal.

Kelulusan adalah sebuah impian. Impian yang tertanam sejak masuk lembaga pendidikan. Sejak kelas 1 sudah terbayang, 3 tahun lagi akan keluar dari sekolah ini sebagai lulusan. Kelulusan menjadi impian setiap siswa. Setiap orang ingin lulus. Maka, dengan sekuat tenaga mereka belajar meraih kelulusan itu. Namun, keinginan mereka kadang tak tercapai. Ibarat merangkul gunung, sebagian siswa justru gagal.

Kegagalan ini membuat mereka pupus harapan. Kelulusan bukan lagi sebuah impian melainkan berubah menjadi sebuah ketakutan. Ada yang tak kuasa bangkit dan berjuang untuk lulus. Ada yang pesimistis, percuma belajar, toh penentu kelulusan adalah ujian nasional.

Kelulusan hendaknya menjadi target mati-hidup. Berjuang total. Tetapi perlu diingat, jika gagal meraihnya, jangan berkecil hati, jangan mudah kecewa. Peluang untuk lulus masih ada. Asal ada kemauan untuk bangkit dan berjuang. Belajar dari pengusaha suskses yang jatuh-bangun dalam bisnis.

Meraih kelulusan ibaratnya memborong keuntungan sebanyak-banyaknya. Jatuh bangun mesti dirasakan. Kelak, impian untuk dapat untung tercapai. Jatuh-bangun dalam hal belajar juga seperti itu. Kelak, kelulusan itu tercapai.

Tetapi, jangan pula melemparkan kesalahan hanya ada pihak lain. Sebaiknya lihat juga dalam diri, di mana kekurangan saya, apa yang tidak saya pahami. Jangan mudah menyalahkan pemerintah sebagai penyedia soal. Soal di kota disamakan dengan soal di daerah. Kalau pun demikian, sebagai siswa sebaiknya selalu siap-sedia.

Akhirnya, kelulusan juga bisa jadi untung-untungan. Kelulusan itu hanya soal keuntungan saja. Ujian nasional dengan demikian hanyalah sebuah bisnis. Siswa berprestasi bisa gagal. Sebaliknya, siswa sedang-sedang atau bahkan tidak diharapkan justru lulus. Di sini ada misteri. Misteri kelulusan. Boleh jadi dalam misteri itu ada tindak curang seperti bocornya soal. Bocor soal berarti bocor jawaban. Ini sudah diungkapkan oleh beberapa guru dan sekolah. Jadi, ujian nasional di satu sisi jadi ujian moral.

PA, 24/5/13
Gordi

Suara itu menggema keras
Setiap malam terdengar
Jamnya kadang sama kadang beda
Tetapi suaranya sama

Berarti pembalapnya hanya satu dan sama
Kadang juga berkonvoi
Berlomba mengaum-ngaum seperti singa
Knalpotnya dimodifikasi hingga keluar suara keras

Sengaja memilih malam
Saat jalan lenggang
Jalanan jadi leluasa
Tak ada polisi juga

Memang asyik
Kecepatan di atas rata-rata bisa
Tanpa ada gangguan
Semuanya lancar

Hanya saja suaranya mengganggu
Amat mengganggu
Apalagi orang sakit di sekitar jalan
Juga orang yang sedang istirahat

Tetapi pembalap tidak tahu tentang ini
Atau tahu tetapi tetap tidak mau tahu
Tak peduli
Semau gue

Asal dia bisa balapan
Itu sudah jadi kepuasan tersendiri
Tak peduli
Yang lain terganggu atau tidak

Boleh jadi si sakit marah
Yang mau tidur jengkel
Rasa sakit itu terganggu
Membangunkan hasrat untuk menghentikan pembalap itu

Hati-hati jika hal kecil seperti ini tidak dihiraukan
Bukan tak mungkin si sakit dan kawan-kawannya meneropong balapan itu
Kelak tiba waktunya mereka beraksi
Meghentikan bahkan menghukum pembalap

PA, 24/5/13

Gordi

Hatiku hampa
Tak berguna
Jadikan hatiku berisi

Hatiku lemah
Tak berkekuatan
Jadikan hatiku bertenaga

Hatiku gundah-gulana
Tak berpendirian
Jadikan hatiku berfokus

Hatiku miskin
Tak berpeduli
Jadikan hatiku peduli

Hatiku enggan
Tak ada sensivitas
Jadikan hatiku berdaya sentuh

Hatiku penuh egois
Tak ada untuk yang lain
Jadikan hatiku punya semangat berbagi

Hatiku berisikan kejahatan
Tak mengenal kebaikan
Jadikan hatiku penuh kebaikan

Hatiku penuh cemburu
Tak ingin jadi milik orang lain
Jadikan hatiku terbuka pada yang lain

Hatiku penuh iri hati
Tak ingin yang lain sukses
Jadikan hatiku berpikiran jernih

Hatiku penuh masa lalu
Tak ingin melihat ke depan
Jadikan hatiku bervisi

PA, 25/5/13
Gordi





Aku bukan orang penting
Yang selalu punya urusan penting
Aku hanya orang tak penting
Yang sesekali saja mengurusi yang penting

Aku bukan orang hebat
Yang kehebatannya mengangumkan
Aku hanya orang biasa
Yang kebiasaannya tidak luar biasa

Aku bukan orang kaya
Yang kekayaannya bisa membeli wanita
Aku orang miskin
Yang kemiskinannya mencukupkan

Aku bukan buronan
Yang selalu diincar polisi
Aku orang biasa
Yang hidup tenang

Aku bukan koruptor
Yang punya duit sana-sini
Aku hanya rakyat
Yang mengeryitkan dahi melihat ulah koruptor

Aku bukan pembesar
Yang kebesarannya tersohor ke mana-mana
Aku hanya orang kecil
Yang saking kecilnya tidak tersohor

Aku bukan politikus
Yang mengumbar janji manis
Aku hanya orang yang punya hak berpolitik
Yang berusaha menepati janji

PA, 25/5/13
Gordi

Aku memang bukan orang besar
Aku orang kecil
Hanya sebagai kuli bangunan
Tetapi aku berpotensi jadi orang besar

Aku ini orang kecil
Hanya pemulung jalanan
Tetapi aku bisa jadi orang besar
Tanpaku orang besar tidak melihat kebersihan jalan

Aku ini orang kecil
Hanya pemungut sampah di perumahan
Tetapi aku bisa jadi orang besar
Tanpa aku, warga perumahan susah buang sampah

Aku ini orang kecil
Hanya tukang atur kendaraan di putaran jalan
Tetapi aku bisa jadi orang besar
Tanpaku mobil-mobil sulit memutar haluan

Aku ini orang kecil
Karena kekecilanku aku tahu diri
Karena tahu aku berusaha jadi orang besar
Maka, aku ini kecil tetapi bisa jadi orang besar

Tidak ada yang mustahil dari aku orang kecil ini
Untuk jadi orang besar
Seperti semut yang jadi besar
Ketika bersama-sama mengangkat bangkai

Jadi, sesungguhnya aku ini orang besar
Yang muncul dari orang kecil
Yang karena kekecilannya bisa tahu diri
Dan dari pengetahuan ini bisa ajdi orang besar


PA, 25/5/13
Gordi



Bunga kuning
Tampak dari jauh
Mata betah melihatnya
Dibuatnya menatap berlama-lama

Bunga kuning
Terbayang wanginya
Memikat hidung menghirupnya
Dibuatnya menghirup lama-lama

Bunga kuning
Jadi incaran burung
Burung penyuka madu
Dibuatnya burung itu datang menghampirinya

Bunga kuning
Pemikat fotografer
Warnanya memikat
Dibuatnya fotografer itu memotretnya

Bunga kuning
Hadiah alam
Tuk manusia
Dan makhluk lainnya

Bunga kuning bukan saja hadiah
Tetapi ia adalah keindahan
Yang membuat semua terpikat
Yang membuat mata menatap lama

Bunga kuning juga simbol kecantikan
Yang membuatnya menarik dan memikat
Bukan saja mata manusia
Tetapi mata burung pemangsa madu

Bunga kuning juga simbol pencerahan
Yang membuat yang melihatnya cerah
Yang membuat yang melihatnya tenang
Yang membuat yang melihatnya bersemangat

Bunga kuning
Kau hanya satu di antara bunga
Tetapi warnamu memberi keindahan
Bunga memang beridentitas keindahan

PA, 26/5/13

Gordi

Kita sering membuat janji. Kita juga sering mengingkar janji. Antara janji dan menepati janji ada perbedaan tipis. Karena tipisnya janji dan tidak tepat janji menjadi hal yang sulit dibedakan.

Saya membuat janji. Dan berjanji untuk menepatinya. Tetapi tiba-tiba ada halangan. Dan janji itu pun tidak ditepati.

Rekasi yang muncul biasanya marah. Seorang cewek marah karena cowoknya tidak jadi malam mingguan. Seorang cowok marah karena ceweknya tidak mengangkat teleponnya.

Reaksi yang muncul bukan saja marah. Setelah marah muncul prasangka. Ada apa dengan cewek dan cowokku ini? Mungkinkah dia dengan yang lain? Mungkinkah dia mau mendua hati? Prasangka yang muncul bermacam-macam.

Tak pernah tebersit dalam pikiran bahwa kalau janji tidak ditepati berarti ada sebabnya. Penyebabnya ini yang mestinya dicari sebelum memberi reaksi. Tetapi justru mencari penyebab inilah yang jarang dilakukan. Boro-boro mencari penyebab, nada emosional sudah muncul.

Kalau dipikir-pikir energi psikologis yang disalurkan dalam bentuk marah itu sebenarnya bisa dialirkan sebelumnya dalam aktivitas mencari alasan. Tentu ini butuh perjuangan. Sebab, emosional mudah tersulut. Rangsangannya bisa macam-macam. Sementara mencari adalah sebuah proses yang menuntut kesabaran.

Antara emosional dan kesabaran memang terbentang jurang yang dalam. Saking dalamnya, kedua sifat manusia ini sulit disatukan. Sulit digabungkan. Keduanya tetap menjadi hal yang bertolak belakang. Antara keduanya tetap ada jurang.

Meski jurangnya dalam, manusia toh bisa mengatasi jurang ini. Ibarat anak SD bermain outbound, berjalan di atas tali yang dibentangkan di atas jurang. Manusia bisa meredam prasangka dan mengalihkannya untuk mencari penyebab.

Kalau anak kecil bisa menjaga keseimbangan saat berjalan di atas tali, maka manusia sebenarnya bisa meredam emosional. Ini butuh kesediaan seluruh indera manusia. Paling tidak, otak dan perasaan harus dikendalikan. Dua indra ini berperan penting.

Jika tidak, prasangka akan meledak menjadi bom kehidupan bersama. Keluarga retak, salah satu di antara sekian penyebabnya, justru karena prasangka. Pasangan suami-istri gagal mengolah emosional menjadi tindak-sabar. Padahal ini semsetinya bisa dilakukan.

Tetapi, kalau mau lebih bagus lagi, janji-janji itu mesti ditepati, mesti dipenuhi. Jangan berjanji jika tak mampu menepatinya. Berjanjilah untuk menepati janji. Dan, jangan memberi harapan yang besar terhadap sebuah janji, jika itu belum dipastikan bisa dipenuhi.

PA, 26/5/13

Gordi

Manusia sering menuntut. Jika tidak terpenuhi tuntutannya semakin besar. Kasus tuntut menuntut sering dijumpai dalam hidup harian. Di pengadilan, dalam masyarakat, di sekolah, di rumah, di kantor, dan institusi lainnya. Menuntut dalam hal ini adalah wajar. Ya, kalau ada perjanjian maka akan ada tuntutan untuk pemenuhan janji itu.

Manusia bisa dikuasai oleh aksi menuntut. Seolah-olah menuntut lebih besar daripada manusia. Padahal manusialah yang menuntut. Manusialah yang menentukan sebuah kasus bisa dituntut. Jadi, sebenarnya keberadaan manusia lebih besar darisekadar menuntut. Menuntut hanyalah salah satu dari aksi manusia.

Menuntut lebih besar dari keberadaan manusia bisa dilihat dalam kasus pengadilan. Menuntut seorang janda miskin membayar denda sejumlah uang karena mencuri satu jenis buah-buahan. Janda yang miskin itu sama sekali tidak punya uang sebanyak yang dituntut. Tetapi, si penuntut tetap menuntut itu. Jika tidak, hukuman pun mesti dikenakan. Janda itu masuk sel karena tidak sanggup membayar.

Manusia bukan saja bisa dikuasai oleh aksi menuntut, manusia juga suka menuntut. Kasus A harus dituntut. Kasus B harus dituntut. Kasus C harus dituntut. Apa-apa menuntut. Seolah-olah tidak ada jalan keluar selain menuntut. Manusia mendewakan aksi menuntut. Menuntut menjadi seolah-olah dewa yang mesti dan harus dilakukan. Dan dari pendewaan, manusia juga diperbudak oleh aksi menuntut. Manusia lain yang jadi korban aksi menuntut menjadi budak dari si penuntut. Manusia memperbudak sesamanya sebagai manusia.

Inilah yang mendera masyarakat akhir-akhir ini. Dari mahasiswa, pekerja, dan kelompok masyarakat lainnya. Semua menuntut. Dan, tuntutan itu diarahkan pada objek tertentu. Yang lain kepada pemerintah, yang lain kepada atasan, yang lain kepada institusi tertentu. Dari sekian tuntutan ada yang maksudnya jelas, dan wajar, tetapi ada juga yang sekadar menuntut, tidak jelas tujuan tuntutannya apa. Yang seperti ini ibarat kerumunan. Dalam kerumunan, semua tampak seragam. Padahal di dalamnya tidak jelas, mengapa mereka berkerumun. Boleh jadi ikut-ikutan karena ada udangnya. Diiming-iming sejumlah duit, pasti kerumunan terbentuk.

Dari uraian ini bisa disimpulkan bahwa aksi menuntut itu kurang bagus. Benarkah demikian? Tentu tidak selalu. Menuntut—meski sesekali bisa menguasai manusia—tentu di satu sisi perlu. Kalau tidak ada tuntutan, keteraturan hidup bersama tidak terjadi. Semua pengguna jalan raya mesti dituntut untuk mengikuti aturan dan mengikuti arahan petugas lalu lintas. Di sini petugas wajib menuntut pengguna jalan. Dan, pengguna jalan wajib menuntut ketegasan petugas. Jadi, aksi menuntut tidak selamanya mengarah pada hal yang kurang baik.

Menuntut itu perlu tetapi tidak harus sampai berlebihan. Tuntutan wajar dan menjadi relevan jika objek yang dituntut mampu memenuhi tuntutan. Jika tidak, tidak perlu menuntut terlalu berlebihan. Anak kecil tidak mungkin dituntut untuk mengangkat beban 30 kg. Ini tidak sesuai kemampuannya.

Rakyat Indonesia sudah candu menuntut. Objek tuntutannya juga jelas, pemerintah. Ketika penyelanggaan UN tahun ini tidak lancar, masyarakat menuntut menteri pendidikan untuk bertanggung jawab. Ketika harga BBM tidak menentu dan penyalurannya tidak lancar, rakyat menuntut kejelasan pada pemerintah. Masih banyak tuntutan lainnya.

Lepas dari berbagai tuntutan yang rakyat ajukan, satu pertanyaan patut dilontarkan, sanggupkah atau mampukah pemerintah memenuhi tuntutan rakyat itu? Idealnya harus. Ini tugas pemerintah. Rakyat berhak mendapat perhatian pemerintah. Ada yang pesimis dengan kesanggupan pemerintah. Ada pula yang optimistis.

Penilaian seperti ini wajar. Dan yang lebih wajar lagi adalah rakyat sendiri harus menentukan apakah sebuah kasus perlu dituntut seperti ini atau tidak. Dengan ini, rakyat juga tahu, memilah-milah kasus. Dan rakyat juga tahu, ke mana kasus ini dituntut. Rakyat bukan saja menuntut tetapi harus tahu kepada siapa tuntutan ini ditujukan.

Salam selamat siang. Ini iseng-iseng di padi awal pekan ini.


PA, 27/5/13
Gordi

Maafkan Aku yang Berdosa Ini

Aku pelacur jalanan
Betapa aku melacurkan diri
Karena himpitan ekonomi
Penghasilan tak ada padaku

Aku terpaksa melacur
Karena tiada lagi yang memerhatikanku
Padahal aku harus memerhatikan kedua anakku
Aku berjuang membesarkan mereka

Aku terpaksa melacur
Betapa pun pahit rasanya hidup ini
Dan memang aku selalu merasa sakit ketika melacurkan diriku
Tetapi karena aku harus berjuang aku terpaksa menerima semua ini

Perjuangan selalu terasa sakit
Dan aku sudah sakit hati sebenarnya
Semoga aku tidak sakit fisik
Karena aku harus berjuang mendapat rejeki

Jika aku sakit fisik aku tak bisa lagi melacurkan diri
Dan itu berarti aku tak mendapat apa-apa
Bagaimana aku bisa menghidupi kedua anakku?
Mereka terjangkit sakit jika aku sakit

Aku memang sakit hati
Lebih sakit lagi secara psikologis karena tetangga memandangku sebagai perempuan kotor
Aku memang kotor tetapi mau bagaimana lagi aku mendapat penghasilan
Hanya dengan itu aku berjuang

Anak-anakku tak tahu kalau aku ini pelacur
Beruntung mereka tetap anggap aku sebagai ibu yang memberi perhatian, cinta, dan penghidupan pada mereka
Kalau tetangga memandangku sebagai perempuan kotor tidak apa-apa
Asal mereka tidak kotor dalam menilai sesama

Semoga penilaian mereka itu bersih
Dan memang aku ingin membersihkan diriku
Tetapi aku belum menemukan lapangan pekerjaan yang lain selain yang sedang aku geluti ini
Kelak, anak-anakku nanti tidak sepertiku yang dipandang kotor oleh tetanggaku

Maafkan aku yang berdosa ini
Yang kotor ini
Yang dianggap aib ini
Aku hanya berjuang mencari sesuap nasi dan emmbesarkan kedua anakku

PA, 27/5/13
Gordi

Pagi ini datang lagi
Aku belum siap menerimanya
Aku bingung mengisinya
Aku enggan memulainya

Pagi ini datang lagi
Pertanda hari baru akan mulai
Pertanda akan mulai beraktivitas
Pertanda akan mulai kesibukan

Pagi ini datang lagi
Aku harus bangun
Aku harus siapkan segalanya
Aku harus usir rasa malas ini

Pagi ini datang lagi
Aku mesti bersyukur sesudah istirahat semalam
Aku mesti berterima kasih karena masih hidup
Aku harus bertegur sapa dengan teman karena bertemu lagi

Pagi ini datang lagi
Aku mesti siap mendengar kicau burung
Aku mesti siap mendengar keluhan orang
Aku mesti siap mendengar suara bising

Pagi ini datang lagi
Pertanda tidurku berakhir
Pertanda aku tak bisa berlama-lama menikmati tidur
Pertanda aku mesti disiram air dingin biar segar

Pagi ini datang lagi
Aku mesti siap berjumpa dengannya
Entah dia masih marah
Entah dia sudah baikan lagi
Entah dia masih cemberut

Pagi ini datang lagi
Serasa tidak ada beda dengan pagi kemarin
Suasananya sama tetapi serasa pagi ini datang terus
Besok juga akan ada pagi

Pagi ini datang lagi
Aku mesti berhenti berangan-angan
Aku mesti berhenti bermimpi
Aku mesti memulai pekerjaanku

Salam selamat dan semangat pagi

PA, 28/5/13
Gordi

Mahasiswa zaman sekarang sering dicibir karena tidak tahan duduk berlama-lama. Duduk lama-lama di ruang kuliah bukanlah hal mudah. Inilah yang sering dikeluhkan mahasiswa. Kalau sekadar duduk saja tentu semuanya bisa. Tetapi kalau duduk sambil mendengarkan dosen itu tidak mudah. Ini tantangan berat bagi mahasiswa zaman ini.

Duduk lama-lama di kelas/ruang kuliah/ruang pustaka akan membuahkan ketekunan. Orang tekun akan dengan setia mengerjakan tugasnya. Dia akan menyelesaikan halaman demi halaman dari buku yang dibaca. Orang tekun juga akan setia mendengar setiap kalimat yang diucapkan mahasiswa, kalimat yang diucapkan pasien yang berkonsultasi. Semua ini bisa dilakukan hanya dengan modal tekun.

Ketekunan itulah yang saya tangkap dari pribadi seorang dosen di sebuah kampus di Yogyakarta. Dia rela duduk selama lebih dari 2 jam di ruang baca. Saya hanya ikut nimbrung di situ selama 1,5 jam. Saya pun tak tahu entah dia akan duduk lebih lama lagi di situ. Yang jelas saya bersamanya hanya 1,5 jam saja. Saya tahu dia ada sebelum saya, 30 menit sebelumnya dari petugas ruang baca.

Ketekunan menjadi barang langka bagi mahasiswa saat ini. Ketekunan bak musuh yang mesti dijauhkan. Ketekunan memang dianggap sebagai musuh karena ada banyak godaan yang menjauhkannya dari pribadi mahasiswa. Ada hp yang selalu membuat jari-jari mahasiswa memencetnya. Ada laptop yang keyboard-nya selalu menanti untuk diutak-atikkan. Ada pula jaringan internet gratis di kampus yang selalu menunggu untuk digunakan. Mahasiswa yang tidak pandai menyiasati perkembangan teknologi ini akan jatuh-tenggelam dalam pengaruh media ini. Dia akan dikuasai bahkan diperbudak oleh media. Dia lupa bahwa semua ini sarana. Sebagai sarana, media ini hanya digunakan saat-saat tertentu di mana diperlukan saja. Media ada bukan digunakan sepanjang waktu.

Media ini memberikan banyak pengetahuan dan ketrampilan secara gratis kepada mahasiswa. Meski demikian, tidak semua pengetahuan ada di internet. Kesahihan ilmu dalam internet pun tidak semuanya bagus. Ada yang sekadar menjiplak saja. Itulah sebabnya di kampus saya dulu, sumber dari internet tidak boleh lebih dari 30% jika digunakan untuk sumber makalah.

Membaca tetaplah menjadi kebiasaan yang sejatinya harus menjadi candu bagi mahasiswa. Candu internet tentu tidak menguntungkan ketimbang candu membaca. Dan dosen ini tadi emmang membaca selama duduk di ruang yang nyaman ini. Sesekali saya memerhatikan dia yang duduknya jauh di depan saya. untunglah hanya kami berdua di dalam ruangan ini. Ketika kepala saya makin tunduk, saya mencoba menegakkannya dan sesekali menoleh ke arahnya. Sesekali juga dia mengembalikan KAMUS ke rak buku. Lalu, mengambil BUKU TEBAL lain lagi. Boleh jadi dia sedang mengoreksi tulisannya.

Dosen ini menjadi panutan bagi saya. tak perlu menelusur lebih jauh tentang kiprahnya di dunia pendidikan. Saya tidak berpotensi untuk itu. Tetapi, dari kebiasaannya yang saya lihat hari ini menjadi jelas bahwa dia suka membaca dan duduk berlama-lama. Saya suka dosen seperti ini. Saya ingat beberapa dosen yang selalu mengajak kami untuk membaca dan betah duduk. Beberapa dair mereka saya lihat datang lebih awal ke kampus. Duduk di ruang baca, menyiapkan bahan ajar. Dengan ini jelas bahwa mereka menyiapkan sesuatu sebelum memberi pelajaran pada murid-muridnya.

Ketekunan menjadi barang langka bagi mahasiswa tetapi bukan berarti mahaiswa tidak bisa memperolehnya. Banyak juga mahasiswa zaman ini yang tekun dan mampu duduk berlama-lama di tempat belajar. Ketekunan memang amat dibutuhkan di tengah gempurnya pengaruh media sosial yang membuat mahasiswa menjauhkan kebiasaan untuk tekun belajar.

Salam tekun dari saya.

PA, 28/5/13
Gordi






Aku anak desa
Datang ke kota
Merasa kecil
Dengan kebesaran orang kota

Aku anak desa
Datang dengan pikiran polos
Merasa terbelakang
Dengan pikiran orang kota

Aku anak desa
Datang dengan budaya desa
Yang ramah dan suka menyapa
Merasa terabaikan dengan budaya cuek orang kota

Aku anak desa
Tak biasa bebruat curang
Merasa tidak nyaman
Dengan kebiasaan curang orang kota

Aku anak desa
Terbiasa dengan hidup rukun
Merasa tidak betah
Dengan kebiasaan hidup retak orang kota

Aku anak desa
Terbiasa hidup saling berbagi
Merasa kurang enak
Dengan kebiasaan angkuh dan ego orang kota

Aku anak desa
Biasa berpikir sempit
Merasa tertantang
Dengan pikiran luas orang kota

Aku anak desa
Berpengetahuan sempit
Merasa tertantang
Dengan pikiran luas orang kota

Aku anak desa
Terbiasa dengan hidup santai
Merasa tertantang
Dengan hidup hiruk-pikuk orang kota

Aku anak desa
Terbiasa hirup udara bersih
Merasa sakit
Dengan kebiasaan hirup udara kotor orang kota

Aku orang desa
Terbiasa dengan budaya teratur
Merasa tidak puas
Dengan budaya bebas orang kota

Aku orang desa
Tertantang jadi orang kota
Sedang belajar hidup di kota
Belajar mengikuti ritme hidup orang kota

PA, 28/5/13

Gordi
Powered by Blogger.