Halloween party ideas 2015

 OMK MEMBACA ALKITAB


Banyak yang miris dengan relasi kaum muda Katolik dengan Kitab Suci. Kemirisan ini muncul setelah sepintas melihat gaya anak muda zaman ini. Mereka tidak menghiraukan buku sebagai sumber ilmu. Ini berimbas juga pada Kitab Suci sebagai buku iman.

Penilaian miris ini tidak sepenuhnya benar. Ada juga anak muda yang bahkan lebih rajin dari kelompok dewasa. Mereka dengan caranya membaca dan merenungkan Kitab Suci. Miris memang menjadi momok sesaat yang disematkan begitu saja pada kaum muda oleh kaum dewasa. Padahal, jika saja ada keterbukaan antara dua kaum, rasa miris ini boleh jadi bisa berubah menjadi sebuah energi baru.

Energi itu memang ada dan nyata. Banyak anak muda membaca Kitab Suci dengan model zaman ini. Di hp mereka terpasang beberapa aplikasi doa dan renungan harian. Demikian juga di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan bahkan di status WhatsApp. Ini menandakan bahwa kaum muda juga akrab dengan Kitab Suci.



Cara ini tentu baru. Beda dengan cara tradisional sebelumnya yakni membaca di buku. Buku manual kini mulai tergantikan dengan buku elektronik dan berbagai aplikasi digital lainnya. Jadi, kalau dilihat, sebenarnya bukan soal lebih dekat atau tidak dengan Kitab Suci tetapi cara membaca Kitab Suci. Kalau kaum tua masih tinggal dalam cara tradisionalnya tentu saja tidak bisa diterima begitu saja cara modern a la anak muda. Tetapi kalau kaum tua mau sedikit saja menyelami kehidupan anak muda, boleh jadi mereka akan bergembira karena anak-anak mereka juga dekat dengan Kitab Suci.

Anak-anak muda di Paroki St Paulus Pekanbaru juga demikian. Dengan jelas, hampir semuanya mengatakan, saya mempunyai aplikasi e-katolik di hp. Aplikasi ini berisi kumpulan doa, bacaan harian dan renungan, riwayat santo-santa, dan berbagai ajaran iman Katolik lainnya. 



Pengalaman mereka ini kiranya amat cocok dengan tema Bulan Kitab Suci Nasional 2017: KABAR GEMBIRA DI TENGAH GAYA HIDUP MODERN. Tema ini masih dibagi dalam 4 sub-tema yang akan direnungkan selama 4 minggu dalam bulan khusus ini. Subtema pertama yakni Kemajuan Teknologi demi Kemuliaan Allah. Orang Muda Katolik St Paulus merenungkan subtema ini pada Jumat, 7 September yang lalu. Bagian pertama ini amat dekat dengan kehidupan mereka. 

Mereka termasuk generasi Z atau iGen atau juga Post-Millennials dalam kategori Penulis dan Sejarawan dari Chicago, Amerika William Strauss (1947-2007) dan koleganya, Sejarawan dan Konsultan Amerika Neil Howe (1965). Yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang lahir antara 1995-2010. Generasi ini mempunyai satu ciri khas yakni dekat dengan dunia internet. Maka, generasi ini pun mempunyai nama lain yakni generasi internet.


Generasi inilah yang menjadi mayoritas di OMK St Paulus saat ini. Dalam sharing Jumat malam itu, ada yang dengan jelas mengatakan, saya lahir di masa internet sehingga otomatis dunia internet menjadi dunia harian saya. Dunia internet hadir melalui perangkat hp, komputer, TV, dan perangkat lainnya.

Berangkat dari pengalaman ini, OMK pun berkomitmen untuk menggunakan media modern ini sebagai sarana memuliakan Allah. Ini kiranya menjadi perhatian bukan saja dari OMK tetapi juga dari keluarga dan lingkungan hidup mereka. Keluarga sendiri akan lebih baik jika berpegang pada nilai Kristiani. Nilai itu bisa didapat termasuk dengan menggali kekayaan spiritual dari Kitab Suci.

Malam ini, kisah itu diperdengarkan juga kepada OMK yakni Kisah Menara Babel (Kejadian 11:1-9). Dalam kisah ini, amat jelas tersirat pesan berharga. Manusia tidak akan sampai pada Allah jika ia berangkat dengan kesombongannya. Raja-raja dan warga Babilonia pada kisah itu ingin mencapai Allah dengan mendirikan Menara Babel. Namun, Allah rupanya memorak-porandakan rencana mereka dengan mengacaubalaukan bahasa mereka. Bahasa yang menjadi alat komunikasi terpenting rupanya menjatuhkan mereka dari ambisi nafsu sesaat itu.



Kisah ini ingin mengingatkan kita juga, kaum Kristiani, untuk bijak menggunakan sarana komunikasi. Yang terpenting adalah selalu tahu membedakan sarana dan tujuan. Semua alat komunikasi itu menjadi sarana, dan bukan tujuan. Tujuan sebenarnya adalah memuliakan Allah dan memanusiakan manusia. Tujuan ini kiranya bisa tercapai dengan merenungkan dan mempertanyakan selalu kehidupan harian kita. 

Ajakan seorang Pastor Antonio Spadario, Jesuit Italia ini kiranya bisa direnungkan. Pastor Spadario yang menulis banyak buku tentang media komunikasi ini mengatakan, yang menjadi masalah saat ini adalah Bukan bagaimana saya menggunakan media komunikasi, TETAPI bagaimana saya hidup dengan media komunikasi. (Spadario, Quando la fede si fa sociale, EMI 2015) Hal pertama kiranya penting tetapi tidak cukup. Bisa saja saya menggunakan dengan baik tetapi kadang berlawanan dengan kehidupan nyata. Hal kedua kiranya konkret karena menyentuh kehidupan di dunia nyata, dan bukan di dunia media komunikasi saja.

Saatnya kita semua hidup dalam dunia media komunikasi. Bukan medianya yang berubah tetapi cara hidup kita-lah yang berubah. 
Sampai jumpa di pertemuan kedua.

BM, 11/09/2017
Gordi SX

DUA PERTANYAAN DARI MUARA FAJAR



Kata orang, lebih baik ada daripada tidak sama sekali. Maksudnya, meski sedikit, asalkan ada sesuatu, itu jadi lumayan.

Yang sedikit itulah yang kami temukan di Muara Fajar hari ini. Dari sekian banyak umat yang hadir di gereja, hanya ada 2 yang berani bertanya. Meski sedikit, pertanyaan mereka berbobot. Itulah sebabnya, boleh disimpulkan, lebih baik ada dan sedikit daripada tidak sama sekali.

Durasi waktu animasi memang sedikit. Kami gunakan beberapa menit sebelum misa. Sekitar 30 menit, dari awal presentasi sampai pada tanya jawab. Tidak perlu lebih dari sini, biar ada semangat dan bisa memahami presentasi dan pengalaman kami.


Dari presentasi kami, muncul pertanyaan tadi: apa beda Diakon dan Pastor, bisakah menjadi calon pastor tanpa melalui sekolah seminari. Dua pertanyaan menarik yang patut diberi jawaban yang pas.

Pertanyaan ini menggambarkan keingintahuan umat Muara Fajar pada kegiatan animasi ini. Pertanyaan serupa memang sudah kami jumpai sebelumnya di beberapa stasi. Muncul kembali seperti ini bisa menjadi gambaran bahwa umat memang ingin tahu tentang perbedaan ini. Boleh jadi pemahaman mereka amat sedikit tentang bidang pengetahuan ini.

Pastor Pancani SX memberi jawaban teologis yang amat bagus. Untuk lebih bisa dimengerti, saya menambahkan dengan jawaban yang bersifat teknis: Diakon adalah satu tahap sebelum menjadi Pastor. Dengan kata lain—sambung saya—semua Pastor pernah menjadi Diakon. Sedangkan, tidak semua Diakon bisa menjadi Pastor. Ada Diakon yang hanya menjadi diakon saja, tanpa melanjutkan ke jenjang tahbisan Imam. Tetapi, di Indonesia pada umumnya semua Diakon akan menjadi Pastor.


Pertanyaan ini berkaitan dengan proses pendidikan calon Pastor. Dan, persis muncul dalam pertanyaan kedua juga. Memang, untuk menjadi pastor biasanya mesti melalui sekolah khusus calon pastor yakni Seminari. Ada yang kecil (SMP), menengah (SMA), tinggi (Universitas). Tetapi, tanpa melalui tahap pendidikan ini pun, seorang masih bisa jadi calon Pastor. 

Ada yang setelah tamat SMA atau bahkan setelah lulus kuliah atau juga dari dunia kerja, baru masuk seminari. Intinya, dari mana pun asal sekolahnya, asalkan mau dibentuk seperti siswa seminari, dia akan bisa menempuh pendidikan calon Pastor.

Maka, asal ada yang mau dan berminat, tanpa masuk seminari pun, umat Muara Fajar bisa mengajak anak-anaknya untuk menanggapi panggilan khusus ini. Seminari sebagai tempat bisa dihadirkan dalam keluarga Kristiani. Gereja Katolik selalu menekankan bahwa, keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama dalam membina kehidupan anak-anak. Saat keluarga Kristiani menerapkan pola dan maksud Gereja ini, saat itulah keluarga itu akan menjadi seminari bagi anggota keluarganya.


Muara Fajar akan mekar seperti mentari pagi. Di Muara ini, presentasi kami mesti berakhir. Dengan harapan, Fajar panggilan itu akan segera terbit. Baik Muara maupun Fajar muncul hari ini atas kerja sama yang baik dari Pastor Pancani SX beserta tim animasi: Fika, Clara, Ira, Delfi, dan Rini, Bang Idin (nahkoda perjalanan) dan keluarga yang baik dari Stasi Muara Fajar.

Jayalah selalu Muara Fajar. Dari dua kiranya menjadi banyak. Banyak bertanya, banyak tahu. Banyak tahu, banyak mengerti. Banyak mengerti banyak memahami. Setelah paham, ajaklah anak-anak kalian menanggapi panggilan khusus ini. Amin

BM, 10/09/2017
Gordi SX

IMAN YANG HAUS



Iman rupanya bisa membuat seseorang menjadi haus. Haus akan pengetahuan. Ibarat rusa di padang rumput, seseorang akan mencari dan terus mencari sumber kepuasan dahaganya. Iman dengan demikian amat dekat dengan pengetahuan. Boleh jadi, iman dan pengetahuan akan selalu berjalan bersama.

Memang, iman dan pengetahuan akan selalu berjalan bersama. Penegasan ini dicetuskan juga oleh Agustinus (354-430), Filsuf dan Teolog kondang dari Tagaste, Afrika. Agustinus mengibaratkan iman dengan ‘percaya’ dan pengetahuan dengan ‘pengertian’. Maka, kata Agustinus: Saya mengerti untuk percaya, dan saya percaya untuk mengerti. Dalam Bahasa Latin, ekspresi ini berbunyi Credo ut intelligam, intelligo ut credam. Dengan demikian—tutur Agustinus—iman dan pengetahuan akan saling melengkapi.


Karena saling lengkap, iman pun mesti diseimbangkan dengan pengetahuan. Jika tidak seimbang, keduanya akan sangat berbahaya. Bisa jadi orang akan menjadi konservatif. Atau juga, orang menjadi ekslusif, percaya buta, percaya tanpa dasar, dan sebagainya. Agustinus pun dengan tegas mengatakan hanya mereka yang mempunyai iman, bisa percaya sepenuhnya. Sebaliknya, siapa yang hanya mempunyai iman saja (tanpa pengetahuan-red), tidak akan bisa percaya sepenuhnya. Dengan kata lain, iman perlu dilengkapai dengan pengetahuan. Iman tanpa pengetahuan belum lengkap. Demikian juga, pengetahuan tanpa iman.

Iman dan pengetahuan inilah yang kami temukan dalam animasi ke-13 di Stasi Petapahan. Di sini, di dalam gedung Gereja Katolik St Thomas, iman dan pengetahuan itu dilengkapi. Diskusi dan tanya jawab adalah sarana yang digunakan untuk melengkapi kedua hal ini.


Sebelum sampai pada bagian ini, tim animasi dari Paroki St Paulus Pekanbaru, memaparkan sedikit latar belakang kegiatan animasi. Penjelasan ini akan dilengkapi cerita pengalaman panggilan saya pada babak kedua. Kedua seri ini pun dilengkapi dengan bagian ketiga berupa tanya jawab dan diskusi.

Dari berbagai pertanyaan yang muncul, bisa disimpulkan bahwa umat di Stasi ini amat haus pengetahuan. Boleh jadi terlalu sulit untuk menilai kadar iman mereka, tetapi pengetahuan iman mereka bisa diukur.  

Boleh jadi Santo Agustinus akan merasa senang dengan diskusi kami sore ini. Kami memang sedang melengkapi iman kami dengan pengetahuan. Maka, segala pertanyaan yang berkaitan dengan iman pun diajukan. Dari hal-hal sederhana sampai pada hal yang sulit.

Mulai dengan pertanyaan seputar panggilan hidup: apa perbedaan antara Imam Projo dan Imam Religius dari Kongregasi/Ordo/Serikat, apa perbedaan antara Diakon dan Imam/Pastor. Ada juga pertanyaan seputar proses menjadi Imam: apakah butuh biaya, berapa lama pendidikannya.


Dari pertanyaan intern ini, ada juga yang berkaitan dengan gereja: Apa perbedaan antara Gereja Katolik Roma dan Gereka Katolik Ortodoks, Mengapa Pastor itu mesti menjadi Misionaris sementara di Indonesia ada kekurangan pastor.

Dari sini, tampak bahwa animasi sore ini selain bisa memperkenalkan siapakah saya, juga untuk memuaskan dahaga iman kami. Terima kasih untuk umat Stasi Petapahan yang meski jumlahnya sedikit tetapi banyak mengajukan pertanyaan.

Kiranya rentetan pertanyaan ini menjadi pembuka jalan bagi diskusi selanjutnya. Dahaga iman pun dilengkapi dengan dahaga raga kami melalui santap malam. Santapan ini menjadi berahmat Karena bertepatan dengan malam takbiran bagi umat Muslim yang esok akan merayakan Idul Adha, perayaan kurban. Kami ikut berbahagia pada Perayaan Kurban ini.

BM, 1/09/2017
Gordi  





WAJAH YANG POLOS


Mungkin perlu wajah yang polos untuk menikmati keindahan seorang wanita. Itu berarti, wajah itu tanpa kosmetik. Dengan itu, kecantikan yang ada muncul dari kedalaman dan bukan dari penampakan polesan kosmetik. Di tengah kepolesan berbagai hal mulai dari kosmetik, makanan, sampai pada pengalaman iman, kita butuh kepolosan dalam berelasi dengan Tuhan.

Kepolosan seperti itu muncul dari suara seorang adik SD sore ini (18 Agustus). Suara itu terdengar indah dan menggugah.

“Kak, boleh kita foto bersama?” tanya seorang anak di Stasi Majuah-juah, Paroki St Paulus. Saya yang sedang mencek pesan masuk di hp sontak kaget dan membalas dengan senyum sambil menatap wajah adik itu.

“Ayo, tentu saja kita bisa berfoto bersama,” jawab saya sambil memeluknya.

Kami pun siap berfoto. Teman-teman lain dikumpulkan dalam barisan. Ada dua baris. Saya berada di barisan kedua bersama beberapa adik SD itu. Yang lainnya di depan. Ada beberapa hp yang mengabadikan barisan kami saat itu. Beberapa dari adik-adik ini bergiliran memberikan hp pada sang fotografer bergilir. Seolah-olah mereka tidak mau kehilangan momen ini. Boleh jadi, mereka merasa bangga sekali bisa berfoto bersama sore itu.

Saya senang dan bangga bisa berkumpul bersama mereka pada saat itu. Kalau boleh bilang, mereka adalah sahabat-sahabat yang langsung akrab pada saat itu. Kesempatan ini memang datang setelah Perayaan Ekaristi yang kami rayakan. Pada saat itu, saya membagikan pengalaman panggilan saya. Boleh jadi, mereka sudah mendengar cerita saya. Atau paling tidak, mereka sudah melihat saya. Jadi, tentu saja, kami bukan orang asing satu sama lainnya. Kami sudah saling kenal. Hanya saja masih disekat oleh rasa malu dan enggan sehingga permintaan itu pun seakan-akan begitu berjarak. Tetapi, justru permintaan itu adalah gambaran kepolosan seorang anak.

Permintaan adik tadi mengingatkan saya akan wajah-wajah polos di tempat lainnya yang saya temukan dalam kegiatan animasi panggilan ini. Wajah mereka menampakkan pemandangan yang bukan saja indah untuk dilihat, tetapi juga menarik untuk didekatkan. Itulah sebabnya, permintaan itu bukan saja sekadar ingin berfoto. Saya malah melihatnya sebagai sebuah ajakan untuk saling menguatkan dan berbagi. Hanya dalam kepolosanlah, kita bisa saling menguatkan dan berbagi.


Beberapa teman dari Italy berkomentar tentang foto itu. Ada yang bilang, Gordi, kamu sudah di jalan yang benar, anak-anak ditempatkan di barisan pertama, (Giorgio R). Boleh jadi ini sebuah keajaiban. Tidak ada pikiran untuk menempatkan mereka seperti itu sebenarnya. Tetapi, bagus juga ketika ada sahabat yang menilainya seperti itu.

Penilaian itu juga menaruhkan harapan yang indah akan masa depan Gereja dan Bangsa kita. Ada yang berkomentar, Gordi, sungguh indah melihat kamu berada di tengah masa depan ini. Merekalah harapan kita, (Nama samaran). Harapan memang selalu menjadi ciri khas anak-anak dan kaum muda. Maka, melihat mereka berarti melihat sebuah harapan. Kaum muda juga hendaknya memiliki harapan. Uskup Parma, Monsinyur Enrico Solmi dalam pesannya kepada kaum muda di Kota dan Keuskupan Parma pada 2016 yang lalu berpesan agar kaum muda memiliki harapan untuk bisa memperbaiki kota dan Gereja di kota Parma. Ia lalu menantang kaum muda dengan kata-kata seorang santo. Katanya, “Anak muda yang tidak memiliki mimpi adalah anak muda yang mati.”

Harapan selalu terkait dengan kehidupan. Itulah sebabnya, tanpa harapan sama dengan tanpa kehidupan. Dan, tanpa kehidupan sama maknanya dengan sebuah kematian. Entah kematian fisik, ide, kehidupan, pikiran, perbuatan, relasi, dan sebaginya.

Akhirnya, terima kasih kepada adik-adik yang polos dari Stasi Menjuah-juah. Wajah kalian akan saya ingat dan akan saya pandang terus menerus.

BM, 21/8/2017
Gordi

GEREJA DI TENGAH SAWIT


Gereja hadir di mana-mana termasuk di tengah Kebun Sawit. Inilah yang kami lihat hari ini. Gereja memang selain berarti gedung fisik juga kumpulan umat yang percaya kepada Yesus Kristus. Maka, di mana umat hadir, di situlah Gereja hadir.

Gereja ini boleh dibilang berwajah Kebun Sawit. Wajahnya ini mengelilingi gedung sederhana itu. Gereja itu—seperti Kebun Sawit—tidak lepas dari kehidupan warganya. Jika sawit adalah salah satu denyut nadi kehidupan warga, Gereja juga hadir menjadi bagian dari kehidupan warga.

Dari jalan tanah tampak nama gereja itu: Gereja Katolik, Stasi St. Dominikus-Tambusai. Tulisan Gereja Katolik itu makin memperjelas identitas bangunan itu. Identitas ini ditambah dengan lambang salib di atas bubungan gereja. Dari jauh, tamu boleh menebak gedung ini.

Saya sendiri langsung menebaknya sebelum memasuki gerbang gereja. Tebakan ini seolah-olah menyapa kami sebagai tamu. Saat masuk di pelataran gedung gereja, umat berdatangan memberi salam. “Selamat pagi, selamat pagi,” sapa mereka. Saya dan teman-teman dari Pekanbaru langsung menjawab sapaan itu sambil membagikan senyum indah di siang bolong itu.



Salam itu tidaki berhenti di sini. Umat lain pun berdatangan satu per satu. Mereka pada umumnya datang dengan sepeda motor. Hanya beberapa yang berjalan kaki. Menurut beberapa umat, yang berjalan kaki biasanya yang rumahnya dekat. Atau juga memilih jalan kaki sekadar untuk bercerita. Ini menarik. Daripada naik motor tanpa obrolan, lebih baik berjalan kaki sambil bergurau.

Yang naik sepeda motor juga ada untungnya. Mereka tiba lebih cepat juga untuk ngobrol sama umat lainnya. Obrolan mereka kiranya memberi penegasan tentang kehidupan mereka. Mereka pada umumnya hidup berdampingan, berdekatan, harmonis, saling kenal, dan aman tenteram.

Di rumah sebelah gereja, kami melihat ada Ibu berjilbab. Identitasnya pun sudah jelas. Dia muslim. Dengan jilbabnya, Ibu ini bukan saja memberi tahu kami bahwa dia muslim, tetapi dia membalas sapaan kami. Saya yang orang baru hanya memberi senyuman dan anggukan sebagai tanda hormat. Dia tetap membalasnya meski kami tidak saling kenal.

Dari sini saja sudah bisa ditebak, mereka hidup berdampingan. Identitas ini makin tampak dalam obrolan di dalam gereja sebelum misa dan saat makan bersama setelah misa. Hidup berdampingan seperti ini kiranya menjadi bahan pelajaran bagi orang kota. Cara hidup tertutup dan cuek di kota membuat orang-orang di sini bisa jadi panutan. Rumah mereka memang tidak berpagar seperti di kota. Dengan ini, mereka dengan mudah berinteraksi satu sama lain.

Selesai misa, kami makan bersama di rumah salah satu umat. Suasana persaudaraan dan kedekatan makin terasa. Kami semua tertampung di dalam rumah besar ini. Saya membayangkan betapa murah hatinya pemilik rumah ini. Dia tentunya mengeluarkan biaya besar untuk menyiapkan makanan dan minuman. Berapa kilo gram berasnya, berapa biaya lauknya, berapa biaya untuk minuman kopinya, waktu dan tenaga untuk menyiapkannya, dan sebagainya. Biaya ini tentu besar jika dihitung semuanya.

Biaya ini—bagi orang kota—tentunya amat besar lagi. Tetapi, biaya ini seolah-olah tidak begitu besar bagi orang sederhana di tengah kebun sawit ini. Jika biayanya terasa besar dan berat, pasti mereka tidak bisa tersenyum satu sama lain. Rupanya mereka semua tersenyum dan berguyon ria. Ekspresi ini kiranya menunjukkan bahwa biaya ini bagi mereka bukan sebuah beban. Biaya ini justru mempererat persatuan mereka.

Terima kasih untuk keluarga Bapak Sirait yang sudah menyuguhkan hidangan istimewa. Air putih, kopi pahit, nasi-sayur-daging ayam, dan guyonan yang menghidupkan. Sampai jumpa di lain kesempatan.

BM, 11/08/2017
Gordi

MEREKA MENCARI TUHAN 


Di Barat saat ini, pencarian akan Tuhan tidak lagi dengan jalan pengalaman. Mereka lebih cenderung mencarinya dengan jalan pengetahuan atau akal budi. Maka, jika akal budi tak menemukannya, Tuhan itu pun langsung disingkirkan dari kehidupan. Kehidupan dengan Tuhan—dengan demikian—berarti kehidupan dengan akal budi yang mampu memahami Tuhan.

Di Timur, pencarian akan Tuhan lebih cenderung dengan jalan pengalaman. Itulah sebabnya Tuhan mereka adalah Tuhan yang dihidupi dan bukan Tuhan yang dipahami. Orang Timur tidak terlalu repot dengan memahami Tuhan. Mereka lebih cenderung repot dengan mengalami Tuhan.

Cara hidup orang Timur ini saya lihat hari ini. Mereka datang dari berbagai wilayah di sekitar Danau Kota Panjang, Riau untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Dengan perahu kecil, mereka datang berkelompok 5-8 orang. Mereka terbiasa mengarungi danau itu sekitar 45 menit sampai 1 jam untuk sampai di Gereja Katolik St Antonius. Perahu itu hanya didorong oleh mesin berkekuatan 1 Kilo. Tampak seperti mesin potong rumput yang digendong. Meski kecil, mesin itu mampu mendorong perahu berisi 5-8 orang.


Boleh jadi orang kota melihatnya luar biasa. Tetapi bagi mereka ini biasa. Mereka biasa datang bertemu Tuhan. Tuhan bagi mereka tetaplah Dia yang diyakini, disembah, dan dijelmakan dalam hidup. “Kami selalu datang ke gereja, kapan pun Pastor datang,” komentar Firman, salah 1 dari 3 nahkoda perahu yang menjemput kami siang ini.

Seperti mereka, kami juga mencari Tuhan. Kami berlima (Ibu Minhui, Pastor Franco, SX., dua teman dari Italia—Luca dan Lucas—serta saya sendiri) berangkat dari pastoran pada pukul 08.00. Perjalanan ini rupanya panjang. Kami melewati beberapa kabupaten sebelum sampai di dekat Danau Kota Panjang.

Perjalanan darat ini memakan waktu 3 jam. Melewati jalanan berkelok, lebar dan sempit, sedikit bergelombang, dan variasi lainnya. Saat kami tiba di dekat danau, 3 nahkoda mungil menyambut kami. Mereka rupanya sudah menyiapkan perahu. Kami lalu menurunkan perlengkapan perjalanan dari mobil dan langsung menuruni tangga menuju pelabuhan ala kadarnya.


Perjalanan selanjutnya selama 45 menit adalah menyusuri danau ini. Kami dibagi dalam 2 perahu. Kami bertiga plus semua perlengkapan perjalanan. Di perahu lainnya bertiga plus 2 nahkoda Aris dan Firman. 

Perjalanan ini menjadi menarik sekali karena bumbu perjalanan yang kami nikmati. Berbagi pengalaman dengan sang nahkoda baik selama perjalanan pergi maupun pulang. Sambutan hangat dari umat. Sambutan mereka sungguh menampakkan kekayaan kehidupan mereka yang sederhana. Mereka tidak bekerja pada hari-hari kerja seperti ini tetapi rupanya mereka bekerja hanya pada pagi hari.

Saya merasa senang berada di tengah mereka. “Kalian memberi saya cinta dan kasih sayang sehingga saya merasa seperti di rumah sendiri,” kata saya pada mereka. Mereka tersenyum haru. Senyum ini mereka tampakkan selama Misa dan setelah Misa. Ibu Minhui kiranya puas melihat senyum mereka saat ia menjelaskan maksud kedatangan kami.

Senyum ini terus mereka munculkan pada saat kami makan siang bersama di rumah Ketua Stasi. Sungguh senyum yang luar biasa. Dengan senyum itu pun, kami bisa berkomunikasi. Saya membantu menerjemahkan beberapa kalimat dari bahasa Italia kepada mereka semua baik anak muda maupun orang tua. Juga untuk menjelaskan kepada teman-teman Italia tentang kalimat yang mereka sampaikan.

Tetapi terjemahan yang paling pas adalah dengan bahasa senyum dan bahasa tubuh. Kedua bahasa ini mempunyai kekuatan yang dahsyat. Akhirnya, dengan senyum ini juga, kami dan mereka mencari Tuhan hari ini. Terima Kasih Yesus atas bimbingan-Mu sepanjang perjalanan kami, dari pagi sampai sore hari ini.

BM, 10/08/2017
Gordi

FISIK TUA, SEMANGAT MUDA



Fisik tua, semangat muda. Ini kiranya bisa menggambarkan keadaan anggota kor di Pekanbaru. Sebagian dari mereka berfisik tua, tetapi sebagian besar lagi berfisik muda. Yang tua boleh jadi berjiwa muda, tetapi yang muda juga lebih bersemangat muda.

Jiwa muda ini menjiwai latihan kor malam ini. Sang dirigen di depan memimpin dengan ketagasan nan lembut. Dia tersenyum saat suara mereka bagus dan tetap tersenyum saat suara mereka kurang bagus. Namun, setelah itu, dia akan memberikan penilaian yang tegas.


Dia akan meminta untuk mengulangi beberapa bait yang salah. Permintaannya dengan senyum manis dan suara yang tegas. Tegas dan senyum kiranya sikap yang pas untuk menumbuhkan jiwa dan semangat muda. Sang dirigen kiranya tahu betul, dua sikap ini mampu mengambil hati anggota kor. Lebih dari hati, dia pun mengajak mereka untuk memberikan suara yang merdu.

Inilah pemandangan malam ini dalam latihan kor. Mereka menyanyi untuk saya yang akan menerima anugerah Agung pada 21 Oktober nanti. Mereka tidak kaget saat saya hadir ditengah mereka. Mereka biasa-biasa saja. Rupanya mereka belum tahu siapa saya. Sebagian yang sudah tahu tersenyum-senyum saja. Begitu tahu, mereka langsung kaget dan memandang ke arah saya.

Pandangan itu antara cinta dan kasih sayang. Cinta karena mereka memang mencintai saya. Kasih sayang karena mereka sudah memberikan kasih sayang itu pada saya. Mereka—meski lelah dari tempat kerja—tetap bersemangat untuk datang latihan. Mereka begitu mencintai saya. Dengan suara, gerakkan tangan, tekanan jari di tuts keyboard, pukulan tangan di tambur, dan sebagainya. Dengan alat musik, cinta dan kasih itu menjadi makin lengkap. Dengan suara merdu, cinta dan kasih itu makin bergema.

Terima kasih untuk kalian semua.

BM, 9/8/17
Gordi

GENERAL AUDIENCE POPE FRANCIS
Wednesday, 3 May 2017


Dear Brothers and Sisters,
Good morning!

Today, I would like to talk to you about my Apostolic Journey to Egypt which, with God’s help, I undertook in recent days. I went to that country, taking up a four–fold invitation: from the President of the Republic, from His Holiness, the Coptic Orthodox Patriarch, from the Grand Imam of Al–Azhar and from the Coptic Catholic Patriarch. I thank each of them for their truly warm welcome. And I thank all the people of Egypt for the participation and affection with which they experienced this visit by the Successor of Saint Peter.

The President and civil authorities took exceptional pains to ensure that this event could take place in the best possible way; so that it might be a sign of peace, a sign of peace for Egypt and for all that region, which, unfortunately, is afflicted by hostilities and terrorism. In fact, the trip’s theme was: “Pope of Peace in Egypt of Peace”.

My visit to Al–Azhar University, the oldest Islamic university and the highest academic institution of Sunni Islam had a twofold aim: that of dialogue between Christians and Muslims and, at the same time, that of promoting peace in the world. At Al–Azhar, there was a meeting with the Grand Imam, a meeting that later extended to the International Peace Conference. In this context, I offered a reflection which recognized the history of the land of Egypt as land of civilization and land of covenants. For all of humanity, Egypt is synonymous with ancient civilization, art treasures and knowledge; and this reminds us that peace is built through education, the formation of knowledge, of a humanism which includes as integral parts the religious dimension, the relationship with God, as the Grand Imam recalled in his address. Peace is also built by beginning once again from the covenant between God and man, the foundation of the covenant between all peoples based on the Ten Commandments written on the stone tablets at Sinai, but much more deeply in the heart of each man of every time and place, the law that is summarized in the two commandments of love of God and neighbour.
This same foundation is also at the basis of the building of social and civil order, in which all citizens, from every origin, culture and religion, are called to cooperate. Such a vision of healthy secularism emerged in the conversation with the President of the Republic of Egypt, in the presence of the country’s authorities and Diplomatic Corps. Egypt’s great historic and religious heritage and its role in the Middle Eastern region give it an unusual task in the journey toward stable and long-lasting peace that rests not on the law of force, but rather on the force of law.

Christians, in Egypt like in every nation on earth, are called to be the “leaven” of fraternity. This is possible if they live, within themselves, the Communion in Christ. Thanks to God, we were able to show a strong sign of communion with my dear Brother Pope Tawadros ii, Patriarch of the Coptic Orthodox. We renewed our commitment, also by signing a Common Declaration to journey together, and not to duplicate baptisms already received in the respective Churches. Together we prayed for the martyrs of the recent attacks that tragically struck that venerable Church; and their blood rendered fruitful that ecumenical encounter, in which Patriarch Bartholomew of Constantinople, the Ecumenical Patriarch, my dear Brother, also participated.

The second day of the trip was dedicated to the Catholic faithful. The Holy Mass celebrated in the stadium provided by Egyptian authorities was a celebration of faith and fraternity in which we felt the living presence of the Risen Christ. Commenting on the Gospel, I called on the small Catholic community in Egypt to relive the experience of the disciples of Emmaus: to always find in Christ, Word and Bread of Life, the joy of faith, the ardour of hope and the strength to bear loving witness that “we have encountered the Lord!”.

I spent the last phase with priests, men and women religious and seminarians at the Major Seminary. There are many seminarians. This is a consolation! It was a Liturgy of the Word in which the vows of consecrated life were renewed. In this community of men and women who have chosen to offer their life to Christ for the Kingdom of God, I saw the beauty of the Church in Egypt and I prayed for all Christians in the Middle East, that, led by their pastors and accompanied by the consecrated, they might become salt and light in those lands, in the midst of those peoples. For us, Egypt was a sign of hope, of refuge, of help. When that part of the world was starving, Jacob went there with his sons. Then, when Jesus was persecuted, he went there. For this reason, telling you about this trip means taking the path of hope. For us, Egypt is that sign of hope both for history and for the present time, of this fraternity which I wanted to tell you about.

I once again thank those who made this journey possible and all those who, in different ways, made their contribution, especially so many people who offered their prayers and their suffering. May the Holy Family of Nazareth, who migrated to the banks of the River Nile to flee from Herod’s violence, bless and always protect the people of Egypt and guide them to the path of prosperity, fraternity and peace.
Thank you!

Special greetings:
I greet the English-speaking pilgrims and visitors taking part in today’s Audience, particularly the groups from Ireland, Denmark, Finland, New Zealand, Singapore, India, the Philippines, Sri Lanka, Vietnam, Canada and the United States of America. In the joy of the Risen Christ, I invoke upon you and your families the loving mercy of God our Father. May the Lord bless you all!

On the Feast of Saints Philip and James, I hope that the memory of the Apostles, joyous proclaimers of the Risen Christ, may increase each one’s faith and strengthen each one’s witness to the Gospel.

I extend my greetings to young people, to the sick and to newlyweds. At the start of May, we call on the heavenly intercession of Mary, Mother of Jesus. Dear young people, learn to pray to her with the simple and effective prayer of the Rosary; dear sick people, may Our Lady be your support in the trial of pain; dear newlyweds, imitate her love for God and for brothers and sisters.



© Copyright - Libreria Editrice Vaticana

REGINA CÆLI POPE FRANCIS
Saint Peter's Square – Sunday, 30 April 2017
  


Dear Brothers and Sisters,

Dramatic news continues to reach us regarding the situation in Venezuela and the worsening of clashes there, with many people reported dead, injured and detained. I share in the pain of the families, to whom I ensure my prayers of intercession, and I appeal to the government and all the members of Venezuelan society to avoid any further forms of violence, to respect human rights and to negotiate solutions to the serious humanitarian, social, political and economic crisis that is exhausting the population. Let us entrust to the Most Holy Virgin Mary a prayer intention for peace, reconciliation and democracy in that dear country. And let us pray for all the countries that are beset by difficulties; I am thinking in particular in these days, of the Republic of Macedonia.

Leopoldina Naudet, Foundress of the Sisters of the Holy Family, was beatified yesterday [29 April] in Verona. She was brought up at the Court of Habsburg, first in Florence and then in Vienna, and, even as a girl, possessed a strong vocation to prayer and to the educational field. She was consecrated to God and, following various experiences, succeeded in establishing a new religious community in Verona, under the protection of the Holy Family, which is still active in the Church today. Let us join them in their joy and their thanksgiving.

Today, Italy marks the Day of the Catholic University of the Sacred Heart. I encourage you to support this important institution which continues to invest in the formation of young people in order to improve the world.

Christian formation is based on the Word of God. For this reason, I would also like to recall that “Biblical Sunday” is taking place in Poland today. Part of the Holy Scripture is read out in public in parish churches, schools and over the media. I wish all the best for this initiative.
And you, dear friends from Catholic Action, at the end of this encounter, I sincerely thank you for coming! And through you, I also greet all your parish groups, families, children and young people and the elderly. Keep moving forward!

I extend my greetings to the pilgrims who have joined us at this time for the Marian Prayer, especially those who have come from Spain, Croatia, Germany, and Puerto Rico. Together, let us turn to our Mother Mary. Let us thank her particularly for the Apostolic Visit to Egypt which I have just completed. I ask the Lord to bless the entire Egyptian population, [which was] so welcoming, the authorities and the Christian and Muslim faithful. May He bring peace to that country.

© Copyright - Libreria Editrice Vaticana


GENERAL AUDIENCE POPE FRANCIS
Saint Peter's Square Wednesday, 26 April 2017


Dear Brothers and Sisters,
Good morning!

“I am with you always, to the close of the age” (Mt 28:20). These final words of the Gospel of Matthew recall the prophetic announcement that we find at the beginning: “‘his name shall be called Emmanuel’ (which means, God with us)” (Mt 1:23; cf. Is 7:14). God will be with us, every day, until the end of time. Jesus will walk with us, every day, until the end of time. The entire Gospel is enclosed within these two passages, words which communicate the mystery of a God whose name, whose identity is to be with. He is not an isolated God; he is a ‘God-with’. In particular, with us, namely, with human beings. Our God is not an absent God, confined to a far-off heaven; he is instead a God “impassioned” with man, so tenderly in love as to be incapable of being separated from him. We humans are experts at severing bonds and bridges. He, however, is not. If our heart cools, his remains ever incandescent. Our God accompanies us always, even if by mishap we should forget him. On the ridge that divides scepticism from faith, the discovery that we are loved and accompanied by our Father, that he never leaves us on our own, is decisive.

Our existence is a pilgrimagea journey. Even those who are inspired by simply human hope, perceive the allure of the horizon, which urges them to explore worlds they do not yet know. Our spirit is a migrant spirit. The Bible is filled with stories of pilgrims and travellers. Abraham’s vocation begins with this command: “Go from your country” (Gen 21:1). The patriarch left that piece of the world he knew well and which was one of the cradles of civilization of his time. Everything conspired against the wisdom of that journey. Yet Abraham set out. We do not become mature men and women if we do not perceive the allure of the horizon: that boundary between earth and sky which demands to be reached by a people that walks.

On his earthly journey man is never alone. Above all, a Christian never feels abandoned, because Jesus assures us that he does not await us only at the end of our long journey, but accompanies us in each of our days.

How long will God’s care for mankind endure? How long will the Lord Jesus, who walks with us, how long will he care for us? The Gospel response leaves no room for doubt: to the close of the age! The sky will wane; the earth will wane; human hope will be erased, but the Word of God is greater than all and will never wane. And he will be the God with us, the God Jesus who walks with us. There will never be a day in our life in which we cease to be a concern for the heart of God. But one could ask: “But what are you saying?”. I am saying this: there will never be a day in our life in which we cease to be a concern for the heart of God. He is always concerned about us, and he walks with us. And why does he do this? Simply because he loves us. Is this understood? He loves us! And God will surely provide for all our needs; he will not abandon us in times of trial and darkness. This certainty seeks to settle in our soul so as never to be extinguished. Some call this certainty “Providence”. That is, God’s closeness, God’s love, God’s walking with us is also called the “Providence of God”: He provides for our life.

It is no coincidence that among the symbols of Christian hope there is one that I really like: the anchor. It expresses the notion that our hope is not vague; it is not to be confused with the uncertain sentiment of those who wish to improve the things of this world in an unrealistic way, relying only on their own willpower. Indeed, Christian hope is rooted not in the allure of the future, but in the certainty of what God has promised us and accomplished in Jesus Christ. If he guaranteed he would never abandon us, if every vocation begins with a “Follow me”, with which he assures us he is always before us, why should we be afraid? With this promise, Christians can walk everywhere. Even passing through parts of the wounded world, where things are not going well, we are among those who still continue to hope. The Psalm says: “Even though I walk through the valley of the shadow of death, I fear no evil; for thou art with me” (23[22]:4). It is precisely where darkness is rife that a light must be kept burning. Let us return to the anchor. Our faith is the anchor in heaven. We have anchored our life in heaven. What do we have to do? Hold fast to the rope: it is always there. And we go forward because we are certain that our life has an anchor in heaven, on that shore where we will arrive.

Of course, if we trusted only in our strengths, we would have reason to feel disappointed and defeated, because the world often shows itself immune to the laws of love. It prefers, so often, the laws of selfishness. But if the certainty survives in us that God does not abandon us, that God loves us and this world tenderly, then it immediately changes our perspective. “Homo viator, spe erectus”, the ancients used to say. Along the journey, Jesus’ promise “I am with you” enables us to stand with hope, upright, trusting that the good God is already at work, accomplishing what humanly seems impossible, because the anchor is on heaven’s shore.

The holy, faithful People of God are a people that stand — homo viator — and walk, but upright, erectus, and they walk in hope. And wherever they go, they know that God’s love has preceded them: there is no part of the world that escapes the victory of the Risen Christ. And what is the victory of the Risen Christ? The victory of love. Thank you.

Special greetings:
I greet the English-speaking pilgrims and visitors taking part in today’s Audience, particularly the groups from England, Ireland, Denmark, Finland, Nigeria, Australia, New Zealand, Indonesia, Korea, Thailand, Vietnam and the United States of America.  In the joy of the Risen Christ, I invoke upon you and your families the loving mercy of God our Father.  May the Lord bless you all!

© Copyright - Libreria Editrice Vaticana


Powered by Blogger.