Halloween party ideas 2015
Showing posts sorted by date for query FILSAFAT. Sort by relevance Show all posts


foto ilustrasi dari internet
Saya tak jemu-jemunya mengatakan sejarah itu penting. Bukan karena tanpa sejarah sebuah bangsa akan mati. Sejarah bisa menjadi sebuah ranting kehidupan sebuah bangsa. Jika ranting itu patah tak ada lagi pohonnya. Saya tahu banyak anak-anak SD dan SMP bahkan SMA yang tidak suka sejarah. Saya tetap akan mengatakan cintailah sejarah bangsa.

Seperti postingan saya sebelumnya di blogspot menyinggung soal sejarah. Kali ini juga akan saya singgung hari bersejarah lainnya. Konteksnya masih sama yakni menjelang akhir masa kuliah di STF Driyarkara. Saya langsung saja menyebut tanggalnya yakni 25 Mei 2012 (hari Jumat).

Pada hari ini saya kembali diuji oleh 3 dosen dalam ujian penentu. Ujian itu setara dengan skripsi yang juga diuji oleh lebih dari satu dosen. Memang ada perbedaan bobotnya. Ujian skripsi berbobot 6 SKS (Satuan Kredit Semester) sedangkan ujian yang ini hanya 3 SKS.

Ujian ini dikenal dengan sebutan Ujian Komprehensif. Komprehensif berarti secara keseluruhan. Ujian ini mencakup bahan kuliah dari semester 1 sampai 8. Bukan berarti semua mata kuliah. Lebih kurang ada 9 mata kuliah. Bahan-bahannya diringkas dalam 36 tesis.

Tesis di sini jangan dicampuradukkan dengan tesis sebagai tugas akhir mahasiswa S2 atau master. Tesis merupakan sebuah pernyataan yang mesti dijelaskan penjabarannya. Dalam ilmu filsafat dikenal istilah tesis-antitesis-sintesis. Nah, sintesis itulah yang merupakan pernyataan yang sudah dijelaskan penjabarannya secara detail. Tesis merupakan sebuah pernyataan yang masih perlu dijelaskan isinya.

Tesis-tesis inilah yang akan diuji saat ujian komprehensif. Mahasiswa akan menjawab 3 tesis yang dipilih secara acak oleh 3 dosen penguji. Seorang dosen akan bertanya setelah mahasiswa menjelaskan tesis yang dipilih. Dalam kesempatan inilah dosen akan menguji kemampuan berpikir mahasiswa. Biasanya mahasiswa berpikir logis setelah mengikuti kuliah 4 tahun. Untuk mengujinya, salah satunya, dengan ujian ini. Tiap dosen menggunakan metode ini. Jadi, seorang mahasiswa itu betul-betul diuji kemampuannya dalam menjelaskan sesuatu.

Ujian ini biasanya menuntut keseriusan dalam mempersiapkan bahan. Juga kesiapan mental. Ada beberapa teman yang karena rasa gugup menguasainya, dia tidak bisa menjawab satu kata pun dalam ujian. Sadis bukan? Maka, persiapkanlah mental dengan baik. Beberapa teman lagi gagal karena belum mampu menjelaskan dengan baik dan detail tesis yang diuji.

Peristiwa ini menjadi sejarah dalam hidup saya. Dengan persiapan yang belum terlalu matang, saya memberanikan diri menghadap ketiga dosen penguji. Saya baru saja keluar dari rumah sakit sehingga persiapannya juga agak kurang. Tiap hari hanya ada waktu sekitar 1-2 jam untuk persiapan tesis. Selebihnya saya istirahat karena masih lemas.

Tetapi saya berterima kasih kepada pihak sekretariat kampus karena memberi saya waktu belajar secukupnya. Jadwal ujian saya ditunda dari jadwal semula yakni Senin, 21/5/2012. Penundaan ini karena kondisi kesehatan saya tidak memungkinkan untuk ujian hari itu. Hari Kamis minggu sebelumnya saya baru keluar dari rumah sakit.

Saya tetap berusaha  mempersiapkan diri dengan baik juga disesuaikan dengan trik-trik menghadapi dosen penguji. Tesis-tesis diuraikan dengan bahasa sendiri. Trik menghadapi dosen penguji juga sudah disiapkan. Betapa kagetnya saya ketika semua ini sia-sia. Dosen penguji diganti pada hari ujian. Untungnya pagi hari saya ke kampus melihat ulang jadwal. Terkejut sekaligus kecewa karena dua dosen diganti. Mulai saat itu saya meyakinkan diri saya bahwa ujian ini tidak tergantung pada dosen penguji tetapi tergantung pada persiapan diri. Usaha meyakinkan diri ini berhasil. Saya tidak gugup berhadapan dengan dua dosen yang diganti. Saya bersyukur karena saya bisa menjelaskan tesis yang diuji dengan baik.

Inilah bagian dari sejarah hidup saya. Sejarah ini menjadi tonggak bagi saya untuk melangkah ke dunia selanjutnya yang sama sekali lain. Dunia yang tidak lagi antara menjelaskan dan mendengar. Tetapi, dunia yang kadang-kadang membutuhkan pertanggungjawaban yang rasional dan logis. Dunia yang hanya bekerja saja tanpa berdiskusi. Terima kasih untuk Sang Empunya yang membolehkan saya mengalami masa sejarah ini.

*Dimuat juga di kompasiana.com dengan judul SATU LAWAN TIGA DI MEJA PENTU
CPR 3/6/2012
Gordi Afri



Menulis skripsi ibarat berjalan di jalanan umum. Ada rambu lalu lintas yang mesti dipatuhi, ada petunjuk jalan yang mesti diikuti. Maka, pada bagian keempat ini, kita akan membahas “rambu-rambu menulis skripsi” yakni Membaca Buku Petunjuk Menulis Skripsi.

Buku petunjuk menulis skripsi biasanya disiapkan dari kampus. Di kampus kami, buku ini dibagikan saat ketua program studi membahas persiapan bersama sebelum menulis skripsi. Buku itu dibagikan keada setiap mahasiswa. Di dalamnya terdapat petunjuk misalnya, bagaimana memilih buku, membaca buku, membuat rangkuman dan kesimpulan, teknik mencari ide utama paragraf, dan sebagainya. Ada juga petunjuk praktis lainnya seperti ukuran kertas, model catatan kaki (footnote) atau catatan akhir (endnote), ukuran huruf, panjang kiri-kanan-atas-bawah, tata letak judul, kulit depan skripsi, penulisan abstraksi, dan sebagainya. Singkatnya, segala yang berkaitan dengan teknik penulisan dan teknik praktis, ada di situ.

Buku petunjuk menulis skripsi juga sebenarnya sudah banyak dijual di toko buku umum. Ada banyak dosen dan penulis lain yang membuat satu buku petunjuk menulis skripsi dan karya ilmiah lainnya. Buku petunjuk semacam ini amat membantu kita dalam menulis. Beberapa teman mengalami kesulitan pada awal menyusun skripsi. Ada juga beberapa teman yang tidak mengalami kesulitan karena sudah membaca buku petunjuk itu sebelumnya. Ini berarti bahwa buku petunjuk itu sangat membantu kita dalam menyusun skripsi.

Buku petunjuk yang dijual di toko buku umum digunakan sebagai referensi menulis. Dengan petunjuk yang tertulis di situ, kita bisa menulis dengan baik. Kekreatifan dalam menulis akan muncul setelah membaca buku itu dan mulai mempraktikkannya.

Namun, untuk keperluan yang lebih penting sebaiknya membaca buku petunjuk dari kampus. Sekali lagi, buku petunjuk dari toko buku umum hanya digunakan sebagai bahan untuk memperkaya bacaan dan pegangan. Buku petunjuk dari kampus tetap digunakan sebagai referensi utama dalam menulis. Mengapa?

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap kampus memiliki kriteria tersendiri dalam menulis skripsi. Ini kebijakan intern kampus. Standar atau model skripsi di UGM misalnya bisa jadi berbeda dengan standar dan model skripsi di Universitas Nusa Cendana Kupang. Bahkan boleh jadi, standar dan model skripsi di setiap fakultas dan program studi di satu kapus akan berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, sebaiknya kita berpegang pada buku petunjuk yang diberikan dari kampus, entah melaui ketua program studi atau dekan fakultas.

Di kampus kami standar dan modelnya sama untuk dua program studi Filsafat dan Teologi. Standar di sini mencakup peraturan tentang ukuran kertas, panjang kiri-kanan atas-bawah, ukuran huruf, dan sebagainya.

Hal ini kelihatan sepele namun turut berpengaruh dalam keberhasilan dalam menulis skripsi. Ada kisah menarik dari kakak kelas saya dulu. Seorang dosen penguji menanyakan alasan mengapa tidak dicantumkan tujuan penulisan skripsi sebagai persyaratan mencapai gelar sarjana. Syarat itu tertera dalam buku petunjuk dari kampus. Gara-gara itu nilai ujian skripsi berkurang.

Jadi, dalam menulis skripsi perlu diperhatikan hal kecil semacam ini. Petunjuk itu berguna bagi kita demi kelancaran penulisan skripsi sekaligus menjadi momok yang mematikan jika kita melanggarnya. Bayangkan jika kita tidak berhasil gara-gara melanggar peraturan dalam buku petunjuk itu? Bagian berikutnya, kita akan melihat bagaimana membaca buku skripsi. Salam, 26/3/2012 Gordi Afri.***

Menulis Skripsi (3)



Google images

I.       Riwayat hidup
Pythagoras hidup kira-kira tahun 580-500 SM.[1] Tanggal dan tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Pythagoras lahir di Pulau Samos (dekat pantai Asia Kecil). Daerah ini termasuk daerah Ionia. Menurut tradisi (Yunani), ia sering bepergian (antara lain ke Mesir). Namun, mengenai hal ini belum ada kepastian. Kehidupan Pythagoras tidak lepas dari pengaruh politik. 

Menurut kesaksian Aristoxenos—seorang murid Aristoteles—Pythagoras tidak setuju dengan pemerintahan tyranos Polikrates sehingga ia pindah ke Kroton (Italia selatan).[2] Di situ, ia mendirikan tarekat keagamaan yang dikenal dengan sebutan Tarekat Pythagorean[3], atau Perguruan Pythagoras.[4] Asal mula tarekat ini tidak jelas.[5] Tarekat ini meninggalkan pengajaran yang berasal dari Pythagoras sendiri dan para muridnya. Sulit membedakan mana yang berasal dari Pythagoras dan mana yang dari muridnya. 

Pythagoras memberi pengajarannya secara lisan. Pengajaran ini pun dirahasiakan dan dilarang untuk disiarkan. Meski demikian Tarekat ini memiliki keistimewaan atau karakter yakni asketik dan religius.[6] Pythaoras menetap di Kroton selama 20 tahun. Pada akhir hidupnya, Pythagoras bersama muridnya pindah ke Metaponthion. Alasan-alasan politik menjadi penyebab perpindahan ini. Pythagoras meninggal di Metaponthion.

II.    Ajaran tentang jiwa
Pythagoras mempunyai ajaran—seperti para filsuf prasokratik lainnya—yang kas. Salah satu ajaran dari Pythagoras adalah ajaran tentang jiwa. Manusia yang hidup sezaman dengan Pythagoras mempertanyakan tentang jiwa khususnya jiwa manusia. Namun, jiwa itu masih dikaitkan lagi dengan makhluk hidup lain. Pythagoras menjadi salah satu tokoh yang membahas tentang jiwa manusia di zamannya. Tentu saja pembahasannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.

Menurut Pythagoras jiwa itu tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwanya berpindah ke hewan, dan bila hewan itu mati, ia berpindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan menyucikan dirinya, jiwa bisa diluputkan dari nasib reinkarnasi[7] itu. Penyucian itu dihasilkan dengan berpantang jenis makanan tertentu, seperti daging hewan dan kacang.[8] 

Satu contoh perpindahan jiwa dari manusia ke binatang yakni ketika Pythagoras menyuruh seorang sahabat—yang memukul anjing—untuk berhenti memukul anjing. Ia mendengar suara anjing yang mendeking karena dipukul. Ia mendengar suara seorang sahabat yang telah meninggal dari dengkingan anjing itu. Manusia mati namun jiwanya berpindah ke tubuh anjing. Suara dengkingan anjing yang dipukul itu menandakan perpindahan jiwa manusia—dalam hal ini adalah seorang sahabat Pythagoras—yang meninggal itu.

        Pythagoras juga mengatakan dua hal tentang jiwa. Pertama, Jiwa dipandang sebagai sesuatu yang selamanya ada. Badan merupakan tempat tinggal jiwa, tetapi sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan badan. Jiwa ada di badan—untuk  sementara saja—sebagai hukuman. Jiwa tidak selamanya ada di satu badan. Jiwa bisa keluar dari satu badan dan harus pindah ke badan lain. Keberadaan jiwa itu tergantung dari katarsis (penyucian) badan. Penyucian ini dilakukan dengan menjauhkan diri dari kesukaan badan. Kalau badan sudah suci secara sempurna, jiwa akan keluar dari badan. Kalau belum sempurna jiwa akan berpindah dari badan ke badan. Tugas manusia adalah mengeluarkan jiwa dari badan.

             Menurut pandangan ini manusia harus bertanggung jawab atas perpindahan jiwanya. Ini merupakan tugas berat yang dihadapi manusia. Bagaimana manusia pada zaman Pythagoras—khususnya yang menganut paham ini—melakukan hal ini? Pythagoras mempraktikkan ajarannya kepada murid-muridnya. Unsur penting yang ditekankan kepada murid-muridnya dalam mempraktikkan ajaran ini adalah memenuhi peraturan-peraturan yang ada.[9] Peraturan itu misalnya berpantang jenis makanan tertentu, seperti daging hewan dan kacang, dan juga menjuahkan diri dari kesukaan badan.

Kedua, Jiwa adalah ‘harmoni’ dari badan. Dalam hal ini Pythagoras menggunakan prinsip keharmonisan dalam setiap barang. Ia mengibaratkan harmoni dari gitar yang tak mungkin lepas dari dawai-dawainya. Demikian juga jiwa tak mungkin lepas dari badan manusia. Jiwa ‘sudah’ ada ‘sebelum’ berada di badan. Jiwa itu ada tanpa permulaan. Jika demikian, adanya itu tidak tergantung dari badan.[10]

Menurut pandangan ini jiwa tak mungkin lepas dari badan. Berarti di satu sisi sama saja kalau badan dan jiwa itu menyatu. Di sisi lain mugkin tidak, karena jiwa ada sebelum ada di badan dan adanya jiwa tidak tergantung dari badan. Kalau jiwa dan badan menyatu maka dalam hal ini ada pertentangan. Ini bertentangan dengan teori yang mangatakan bahwa jiwa adalah tempat tinggal badan tetapi sama sekali tidak punya hubungan dengan badan. Dari sini, penulis menyimpulkan bahwa pembahasan Pythagoras tentang badan dan jiwa belum selesai.

Pada pembahasan lain Pythagoras mengatakan bahwa jiwa adalah sesuatu yang berdiri sendiri, yang tidak berjasad serta tidak dapat mati. Oleh karena hukumlah maka jia terbelenggu dalam tubuh. Dengan penyucian (katharsis), orang dapat membebaskan jiwanya dari belenggu tubuhnya, sehingga setelah orang mati jiwanya akan mendapatkan kebahagiaan. Akan tetapi barang siapa tidak menyucikan diri atau penyucian dirinya kurang, jiwanya akan berpindah ke kehidupan yang lain, sesuai dengan keadaanya, baik berpindah ke binatang, ke tumbuh-tumbuhan atau ke manusia.[11]

III.          Kesimpulan
             Pythagoras sangat  ketat dengan pengajaran khususnya pengajaran tentang jiwa. Bahkan  para muridnya menerapkan ajaran ini.  Ada peraturan-peraturan mengenai pakaian dan mengenai pantang, hal mana tentu mempunyai hubungan dengan ajaran Pythagoras tentang perpindahan jiwa.[12] Ajaran Pythagoras yang diterapkan pada para muridnya ini tentu bukanlah sesuatu yang sempurna dan tanpa cacat. Perdebatan mengenai badan dan jiwa manusia belum selesai. Mungkin tak ada lagi yang bisa menjelaskan bagaimana posisi jiwa dan badan manusia saat itu sehingga teori Pythagoras ini berhenti di sini. 

Bagian akhirnya menyisakan pertanyaan. “Apakah badan jiwa menyatu?” “Apakah mereka berpisah?” Hal ini belum dijelaskan dalam teori Pythagoras. Singkatnya bahwa teori ini belum sempurna. Apa yang dibicarakan dalam teorinya hanyalah sebatas ide awal. Di masa selanjutnya mungkin ide ini akan berkembang dan sampai pada penemuan mengenai posisi badan dan jiwa. 

Teori Pythagoras ini masih bertentangan. Pythagoras mengatakan bahwa badan adalah tempat tinggal jiwa namun tidak ada hubungan sama sekali dengan jiwa. Pythagoras juga mengatakan bahwa adanya jiwa tidak tergantung dari badan. Bagaimana mngkin keduanya bisa seperti ini? 

Belum ada penjelasan yang memuaskan mengenai hubungan atau kedudukan dari badan dan jiwa. Keduanya tentu memiliki hubungan erat yakni badan adalah tempat tinggal jiwa, tetapi mengapa keduanya tidak ada hubungan sama sekali? Teori Pythagoras menyisakan pertanyaan.

Daftar pustaka
Bertens, K.1999. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi).Yogyakarta: Kanisius.
Copelston, F. 1946. A History of Philosophy vol i. Cambridge: Cambridge university press.
Sudiarja, A (ed). 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta, Yogyakarta: Gramedia, Penerbit Buku KOMPAS, Kanisius.
Harun Hadiwijono. 1980. sari sejarah filsafat barat 1. yogyakarta: Kanisisus.
Hassan Shadily. ? Ensiklopedi Indonesia (edisi khusus). Jakarta: P.T.Ichtiar Baru—Van Hoeve.


*Karangan ini dibuat pada semester ganjil 2008/09 di STF Driyarkara Jakarta

Cempaka Putih 21/11/2011
Gordi Afri


[1] Sudiarja, A (ed). Karya Lengkap Driyarkara. hlm. 1090.
[2] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi). hlm. 42.
[3] Ibid.
[4] Sudiarja, A (ed). Karya Lengkap Driyarkara. hal. 1092.
[5] Copelston, F. A History of Philosophy vol i. hlml.29, “The origins of the Pythagorean Society, like the life of the founder, are     shrouded in obscurity.”
[6] Ibid  “But the Pythagorean School had a distinguishing characteristic, namely, its ascetic and religious character.”
[7] Menurut Ensiklopedi Indonesia Reinkarnasi berasal dari kata Latin incarnatio = mengambil bentuk manusia; caro = daging/tubuh. Dengan demikian Reinkarnasi berarti proses penjelmaan kembali sewa atau roh leluhur ke dalam tubuh manusia, binatang atau makhluk lain.
[8] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi). hlm. 44.
[9] Ibid.               
[10] Lih. Sudiarja, A (ed). Karya Lengkap Driyarkara. hlm. 1093-1094.
[11] Harun Hadiwijono. sari sejarah filsafat barat 1. hlm. 19-20.
[12] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi). hlm. 43.

Tulisan ini dibuat karena tersentuh dengan salah satu mata kuliah semester ini (semester ganjil tahun ajaran 2011/2012). Tersentuh sama sekali tidak ada niat untuk melawankan dengan kata tidak tersentuh. Dalam artian, mata kuliah lain tidak tersentuh. Tidak! Bukan itu maksudnya.

Mata Kuliah ini diberi nama Pembangunan Komunitas Inklusif. Komunitas (masyarakat) yang dibangun di atas suasana inklusif. Kata inklusif sendiri artinya terbuka. Kata yang dilawankan dengan eksklusif yang artinya tertutup. Kata inklusif ini berakar pada kata include yang artinya melibatkan, ikut serta.

Merujuk pada arti kata ini, kuliah ini mengasah pikiran para mahasiwi/a untuk terbuka. Terbuka terhadap pikiran orang lain. Terbuka terhadap pandangan lain, kelompok (orang) lain, negara lain, dan sebagainya. Semuanya yang berbau “lain” atau “beda dengan kami”, serta “bukan kami” diterima sebagaimana adanya. Keadaan mereka perlu dihormati, dihargai, dirangkul, dan dipelajari.

Hari pertama kuliah, para mahasiswi/a berdebar karena kuliah ini agak beda dengan kuliah lain yang didonimasi oleh ilmu Filsafat dan Teologi. Kuliah ini membawa unsur baru, dan sama sekali lain dari dua arus utama kuliah selama ini. Meski beda dengan arus utama, kuliah ini mengarah pada situasi konkret bangsa saat ini. Salah satu masalah bangsa sekarang ini adalah merosotnya nilai keterbukaan terhadap “kelompok” lain. Kelompok agama, budaya, suku, ras, dan sebagainya. Singkatnya kuliah ini relevan dengan situasi masyarakat.

Pada hari kedua kuliah (minggu berikutnya), kami, para mahasiswi/a diajak untuk melihat budaya sendiri. Ide dasarnya adalah “Menghormati budaya lain mesti berangkat dari budaya sendiri”. Kenalilah dulu budaya sendiri baru kemudian bisa mengenal budaya lain. Maka, kami diajak mendiskusikan nilai budaya masing-masing. Lalu, di-share-kan kepada teman. Dari sini saja, kami bisa belajar nilai budaya baru yang berbeda dengan budaya sendiri. Namun, kegiatan share ini sedikitnya membuat kami berbalik  arah. Kembali ke belakang, melihat akar budaya masing-masing.

Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai yang dihayati. “Kalau saya belum menghayati nilai budaya asli saya maka nilai budaya itu masih abstrak”, demikian dosen menjelaskan tentang ini. Maka nilai budaya itu merupakan nilai yang sedang saya hayati, akan saya hayati, dan sudah saya hayati. Nilai budaya yang dihidupi sendiri biasanya tertanam kuat dan akan selalu dibawa dalam tiap gerak langkah hidup. Ke mana pun kita pergi dan di mana pun kita berada nilai budaya itu tetap melekat. Sumber nilai-budaya itu bermacam-macam. Ada keluarga, masyarakat, sekolah, agama, kelompok sosial tertentu, dan lain-lain.

Konflik pelecehan budaya bisa jadi muncul karena orang tidak mengenal budayanya sendiri. Mengacu pada pernyataan menghormati budaya lain dengan berangkat dari pengenalan akan budaya sendiri, bisa jadi sekarang sebagian dari kita lupa akan akar budaya sendiri. Di kelas ketika diskusi, mudah sekali mendengar paparan teman tentang budayanya. Bisa jadi bagi kami—yang terbiasa dengan perbedaan pendapat dalam kelas—tidak sulit menghormati budaya lain. Namun, bagi orang yang belum terbiasa hidup dengan beragam perbedaan, pemaparan semacam ini menjadi ajang saling olok dan saling leceh tentang nilai budaya.

Apakah konflik yang melecehkan nilai budaya tertentu berangkat dari pemahaman dan kondisi semacam ini? Bisa jadi demikian. Kalau demikian, kuliah ini sangat relevan untuk mengubah pemahaman ini. Kami yang mengambil kuliah ini bisa ditugaskan untuk menyebar pemahaman baru ini. dan dari sini, diharapkan banyak orang yang melihat budaya orang lain sebagai sebuah nilai positif. Maka, Marilah kita menjadikan PERBEDAAN untuk merajut persatuan bangsa. Bhineka Tunggal Ika.   

Cempaka Putih, 12 September 2011
Gordi Afri


BAGIAN LANJUTAN BACA DI SINI

ARTIKEL LAIN TENTANG DIALOG ANTARAGAMA BACA DI SINI DI SINI DAN DI SINI

Ternyata kata “filsafat” masih asing bagi orang tertentu. Beberapa teman bahkan berkomentar, baru dengar nama itu. Entah karena kurang baca, kurang dengar, kurang simak berita, atau alasan apa sampai muncul reaksi itu.

Bisa jadi mungkin karena “filsafat” itu kurang disosialisasikan (dimasyarakatkan) sehingga kurang familiar. Namun, beberapa teman juga mengatakan (orang-orang) filsafat itu terlalu mengawang-awang (abstrak). Ini mungkin karena (ilmu) filsafat itu tinggal dalam menara gading, yang mengerti hanya yang belajar filsafat itu sendiri. *Gambar google images

Mendefinisikan “filsafat” itu memang agak rumit. Ketika defiinisi dibuat selalu saja ada yang kurang. Lantas ada komentar, apakah filsafat itu sebatas itu? Dosen saya bahkan pernah membuat mahasiswa/i-nya kaget. Dia memberikan beberapa definisi filsafat dari beberapa filsuf. Anehnya, terakhir dia mengatakan, filsafat itu tak terdefinisikan.

Maksudnya, “filsafat” itu tak bisa dibatasi dalam definisi itu. Masih ada celah yang bisa ditanyakan dari definisi yang ada. Dari uraian sebelumnya saja, ada pertentangan antara para filsuf. Tak jarang pula muncul definisi, filsafat itu merupakan ilmu yang diawali dan diakhiri dengan pertanyaan. Bisa membingungkan bukan?

Saya mencoba memaparkan sebagian kecil dari definisi filsafat. Definisi yang diambil dari beberapa ahli ini tentu saja masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana pun definisi sebuah kata, kadang-kadang tidak memenuhi kandungan maksud kata itu. Itulah filsafat. Yang jelas ada guyonan, STF (Sekolah Tinggi Filsafat) itu adalah Sekolah Tanpa Faedah.

Nama ”filsafat” dan ”filsuf” berasal dari kata-kata Yunani philosophia dan philosophos. Berdasarkan bentuk kata, seorang philo-sophos adalah seorang ”pencinta kebijaksanaan”. Ada tradisi kuno yang mengatakan bahwa nama ”filsuf” (philosophos) untuk pertama kalinya dalam sejarah dipergunakan oleh Pythagoras (abad ke-6 SM). Tetapi kesaksian sejarah tentang kehidupan dan aktivitas Pythagoras demikian tercampur dengan legenda-legenda sehingga seringkali kebenaran tidak dapat dibedakan dari reka-rekaan saja. Demikian juga dengan hikayat yang mengisahkan bahwa nama ”Filsuf” ditemukan oleh Pythagoras (Bertens,  Sejarah Filsafat Yunani, 1999:17-18).

Arti philo-sophos yang adalah pencinta kebijaksanaan ini agak lain dari pengertian filsafat atau falsafah menurut kamus ilmiah populer. Dalam kamus ini, filsafat atau falsafah mempunyai pengertian yakni pengetahuan tentang, asas-asas pikiran dan perilaku; ilmu mencari kebenaran dan prinsip-prinsip dengan menggunakan kekuatan akal; pandangan hidup (yang dimiliki oleh setiap orang); ajaran hukum dan prilaku; kata-kata arif yang bersifat didaktis (lih. Widodo (ed), Kamus Ilmiah Populer, 2002:147).

Lain lagi pengertian filsafat menurut kamus umum bahasa indonesia. “Filsafat atau falsafat atau falsafah berarti pengetahuan dan penyelidikan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya daripada segala yang ada dalam alam semesta atau pun mengenai kebenaran dan arti ’adanya’ sesuatu.”( Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1987:280).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah pencinta kebijaksanaan, kebijaksanaan akan pengetahuan; asas-asas pikiran dan perilaku; asas-asas hukum; dan pandangan hidup dengan menggunakan kekuatan akal budi (bdk. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, 1991:18).

*Tulisan ini merupakan olahan dari tugas kuliah di STF Driyarkara pada semester ganjil tahun 2008.

Jakarta, 10 Juli 2011
Gordi Afri

Pendahuluan
            Tulisan ini dibagi empat bagian. Bagian pertama menjelaskan pengertian Substansi menurut Spinoza (Baruch dpe Spinoza, 1632-77). Bagian kedua menjelaskan dua konsep yang berkaitan dengan konsep substansi yakni konsep ‘attribute’ dan ‘modus’. Bagian kedua ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari pengertian substansi pada bagian pertama. Bagian ketiga menjelaskan konsep Allah atau Alam sebagai kenyataan tunggal. Bagian keempat menjelaskan konsep Allah sebagai substansi tak terhingga. Tulisan ini ditutup dengan kesimpulan.

Substansi menurut Spinoza
            Spinoza—seperti Descartes—ingin menemukan jaminan atau pegangan yang pasti bagi segala bentuk pengetahuan. Pegangan yang pasti itu bagi Spinoza adalah konsep substansi. Substansi menurut Spinoza adalah sesuatu yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri.[i] Dalam rumusan lain Spinoza mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya.[ii] Konsep substansi itu sudah terbentuk pada dirinya sendiri. Spinoza memahami substansi sebagai suatu kenyataan yang mandiri tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain. Substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain, dan tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain (causa sui: penyebab dirinya sendiri). Spinoza berpendapat bahwa ada satu dan hanya satu substansi, dan substansi itu adalah Allah. Ia tidak setuju dengan Descartes yang mengatakan ada tiga substansi yang saling berkaitan. Substansi ini menurut Spinoza bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual. Sifat lain dari substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak (artinya sama sekali tidak bergantung pada yang lain), dan tunggal. Menurut Spinoza yang memenuhi semua definisi ini adalah Allah. Allah mempunyai sifat abadi, tidak terbatas, mutlak, tunggal, dan utuh.[iii]
            Allah adalah substansi menurut Spinoza maka Allah adalah sesuatu yang ada pada dirinya dan dipahami melalui dirinya sendiri; Allah adalah sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya; Allah adalah suatu kenyataan yang mandiri tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain; Allah tidak berelasi dengan yang lain; Allah tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain; Allah bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual. Kalau demikian bagaimana Spinoza mengetahui atau mengenal Allah yang tak terbatas kalau Allah itu hanya bisa dipahami melalui dirinya sendiri? Bagaimana mungkin pikiran Spinoza yang adalah manusia dan terbatas mengenal Allah yang tak terbatas itu? Di sinilah letak rasionalisme Spinoza. Rasio manusia—menurut Spinoza—mampu mengenal dan menjelaskan seluruh realitas berdasarkan asas atau prinsip pertama yang adalah substansi itu sendiri.[iv] Rasio itu pula yang memampukan Spinoza untuk menjelaskan substansi tak terhingga atau Allah itu. Dengan kata lain, Allah yang sedemikian tak terhingga itu bisa dijelaskan dengan kekuatan rasio manusia. Namun sebetulnya pikiran manusia itu adalah bagian dari pikiran tak terbatas dari Allah.[v] Pikiran manusia—dalam hal ini Spinoza—bisa menjelaskan sesuatu yang tak terbatas, yang melampau daya tangkapnya karena masih  merupakan bagian dari yang tak terbtas itu. Yang tak terbatas itu adalah Allah dan pikiran manusia yang menjelaskan Allah itu merupakan bagian dari yang tak terbatas itu.

Dua konsep yang berkaitan dengan konsep substansi
            Spinoza menjelaskan dua konsep yang berhubungan dengan konsep substansi yakni konsep attribute dan modus. Attribut  atau atribut di sini berarti segala sesuatu yang ditangkap intelek sebagai hakikat substansi, sedangkan modus adalah hal-hal yang berubah-ubah pada substansi.[vi] Atribut merupakan sifat atau ciri khas yang melekat pada substansi dan modi merupakan berbagai bentuk atau cara keberadaan dari substansi (dari kata modus, bentuk tunggal kata benda Latin yang berarti ‘cara’).[vii] Keluasan (ekstensi) menurut Spinoza adalah sebuah attribut karena kita tangkap sebagai hakikat benda-benda jasmani. Sedangkan warna, ukuran, dst adalah modus. Keluasan juga merupakan attribut Allah yang adalah substansi tak terhingga. Keluasan bisa dimengerti sebagai hakikat dari Allah, dan juga sebagai sifat atau ciri khas yang melekat pada Allah. Allah mempunyai sifat keluasan. Tampaknya keluasan yang dimaksudkan Spinoza di sini adalah sesuatu yang tak terhingga. Seperti konsep Spinoza yang dikenakan pada Allah yakni konsep substansi tak terhingga. Allah dimengerti sebagai sesuatu yang tak terhingga. Pikiran menurut Spinoza adalah attribut dari substansi tunggal yaitu Allah. Pikiran memiliki modus-modus, misalnya aliran tertentu, imajinasi tertentu, dst. Pikiran juga bisa dimengerti sebagai hakikat dari Allah, dan juga sebagai sifat atau ciri khas yang melekat pada Allah. Hakikat dari Allah adalah pikiran, dan sifat atau ciri khas dari Allah itu sendiri adalah pikiran (berpikir).

Allah atau Alam adalah kenyataan tunggal
            Spinoza mengatakan bahwa dunia hanyalah satu substansi dengan kedua attribut yakni keluasan dan pikiran. Kita bisa melihat dunia dari attribut pikiran, dan kita menyebutnya ‘Allah’ tapi juga bisa melihatnya dari attribut keluasan dan kita menyebutnya ‘alam’.[viii] Dengan kata lain dunia juga mempunyai dua hakikat atau ciri khas yang melekat padanya yakni keluasan dan pikiran. Dari sini dapat dimengerti bahwa melihat dunia dari segi pikiran sama dengan melihat Allah. Sebaliknya melihat dunia dari segi keluasan sama dengan melihat alam. Pikiran (thought) di sini meliputi kesadaran (consciousness) dan pikiran itu sendriri (thought) sedangkan keluasan (extension)  meliputi tempat atau ruang (space) dan zat atau bahan (matter).[ix]
Kalau Allah adalah satu-satunya substansi maka segala yang ada harus berasal dari Allah.[x] Semua yang ada di atas alam ini; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dst berasal dari Allah. Semuanya ini tidak lain adalah cara berada dari Allah. Keberadaan dari semuanya ini bergantung pada Allah. Maka, bisa dikatakan bahwa alam dan segala isinya identik dengan Allah. Lalu apa bedanya Allah dan Alam? Yang berbeda hanyalah istilah atau sudut pandangnya saja. Sebagai Allah, alam adalah natura naturans (alam yang melahirkan). Sebagai dirinya sendiri, alam adalah natura naturata (alam yang dilahirkan).[xi] Dari sini, Spinoza menyimpulkan bahwa Allah atau Alam adalah kenyataan tunggal. Kenyataan tunggal di sini berarti satu kesatuan. Maka, pandangan Spinoza ini disebut sebagai monisme, yakni keyakinan bahwa segala yang ada merupakan suatu kesatuan dan pada akhirnya segala-galanya adalah satu.[xii] Spinoza menyebutnya Deus sive Natura (Allah atau alam).
Penjabaran lebih jelasnya bisa dilihat pada skema di bawah. Alam, sebagai Allah atau natura naturans mempunyai sifat abadi, tidak berubah, tersembunyi dan unik. Sedangkan, alam sebagai alam mempunyai sifat sementara, berubah, kelihatan, dan berbeda. Sumber skema: ww.friesian.com/spinoza.htm. *Untuk lebih jelasnya pembaca mengecek ke alamat ini, karena tidak bisa dimasukkan ke laman ini.
Pandangan ini tentu saja berbeda dari ajaran agama-agama monoteis yang melihat Allah sebagai pencipta alam semesta. Allah yang dipikirkan Spinoza bukanlah Allah yang bersifat personal dan memisahkan diri dari ciptaannya. Menurut Spinoza, batu atau pohon yang tampak di hadapan kita itu tak lain daripada Allah yang menampakkan diri, maka alam semesta ini sakral dan religius. Segalanya ada dalam Allah termasuk manusia yang adalah pikiran Allah. Tidak ada yang di luar Dia. Tak heran kalau Spinoza menyebut Allah sama dengan aturan kosmos.[xiii] Kehendak Allah ia samakan dengan kehendak alam maka hukum-hukum alam itu merupakan kehendak Allah. Pandangan seperti ini disebut sebagai panteisme, ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta.[xiv] Dari sini dapat disimpulkan bahwa Allah dan Alam merupakan kenyataan tunggal. Keduanya adalah satu substansi. Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa istilah Allah dan Alam muncul karena berbeda sudut pandang dalam melihat substansi ini. 

Allah sebagai substansi tak terhingga
            Pertanyaannya adalah mengapa Allah disebut sebagai substansi tak terhingga? Paparan di atas hanya menyebut Allah sebagai substansi tak terhingga tetapi alasan sampai menyebut demikian belum dijelaskan. Spinoza—seperti pada paparan di atas tadi hanya menyebut dua dari sifat atau hakikat Allah sebagai substansi yakni keluasan dan pikiran atau dalam sumber lain diterjemahkan sebagai pemikiran dan pengembangan.[xv] Kalau argumen Spinoza hanya sampai di sini, konsepnya tentang Allah sebagai substansi tak terhingga bisa diproblematisir. Dia hanya menyebut dua sifat Allah maka konsep Allah itu hanya terbatas pada dua itu. Dengan demikian konsepnya bukan lagi substansi tak terhingga atau Allah tetapi substansi terbatas atau Allah. Terbatas karena hanya terdapat dua sifat dari Allah, dan bukan banyak atau tak terhingga.
            Spinoza tidak berhenti di sini. Ia menjelaskan lebih lanjut tentang konsep Allah sebagai substansi tak terhingga. Menyebut tak terhingga berarti ada banyak sampai tak bisa dihitung atau tak terhingga. Ia mengatakan bahwa Tuhan juga memiliki sifat-sifat lainnya yang tak terbatas jumlahnya, karena Dia tidak terbatas dalam setiap aspeknya; tetapi sifat-sifat lain tersebut tidak kita ketahui.[xvi] Di sinilah letak ketidakterhingga-an dari Allah. Hanya dua yang disebut Spinoza saja yang dapat diketahui dari sifat Allah. Masih banyak sifat lainnya yang tidak diketahui. Pemikiran Spinoza ini menjadi kuat dan jelas kalau melihat pengertian Allah menurut Spinoza. Allah merupakan sebuah substansi maka sebagai substansi tentu saja Allah itu tidak bisa dimengerti atau dipahami seluruhnya. Hakikat dari sebuah substansi tidak bisa dipahami sepenuhnya. Selain itu Allah menurut Spinoza bukan person atau pribadi seperti dipahami orang Kristen. Hakikat seorang pribadi yang terbatas saja tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh manusia apalagi hakikat Allah yang bukan pribadi tetapi sebuah substansi. Di sini menjadi jelas bahwa memang konsep substansi tak terhingga atau Allah menurut Spinoza itu bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian pertanyaan yang sempat dilontarkan penulis pada bagian awal juga bisa dijelaskan. Bagaimana mungkin pikiran Spinoza yang adalah manusia dan terbatas mengenal Allah yang tak terbatas itu? Pikiran manusia termasuk Spinoza memang terbatas tetapi tetap mampu menjelaskan sesuatu yang tak terbatas. Ia tetap konsisten pada pandangannya bahwa Allah itu adalah substansi tak terhingga karena ia melihat ketakterbatasan dari Allah. Dengan pikirannya yang terbatas ia menjelaskan bahwa masih ada sifat-sifat lain dari Allah yang tak terbatas namun sifat itu tidak dapat diketahui. Di sini tampak kekuatan rasio sebagai sumber pengetahuan (rasionalisme) sebagaimana dipikirkan Spinoza. Rasio mampu menunjukkan bahwa ADA yang tak terbatas dari Allah da hal itu tidak diketahui atau mungkin tidak bisa diketahui oleh manusia. Tetapi yang tak terbatas itu tetap ada.

Kesimpulan
            Demikianlah pemaparan mengenai konsep substansi tak terhingga atau Allah menurut Spinoza. Bermula dari sebuah kekaguman akan tokoh Spinoza yang dengan tegas mengatakan Allah itu sebagai substansi tak terhingga sementara Allah itu sendiri hanya bisa dipahami melalui dirinya sendiri. Bagaimana Spinoza memahami sesuatu di luar dirinya (Allah) yang tak terhingga dengan pikirannya yang terbatas dan lagi pula hal yang di luar dirinya itu tidak berelasi dengan dia. Di sini mau diperlihatkan bahwa Spinoza adalah tokoh yang mengagungkan peran rasio dalam mencari sumber pengetahuan. Dia yakin bahwa rasio manusia yang terbatas itu mampu menjelaskan substansi tak terhingga atau Allah.





Catatan Akhir
[i] F. Budi Hardiman, hlm. 47.
[ii] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[iii] Ibid.
[iv] Ibid. hlm. 206.
[v] Spinoza, seperti dikutip F. Budi Hardiman, hlm. 48.
[vi] Ibid. hlm. 47.
[vii] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[viii] F. Budi Hardiman, hlm. 48.
[ix] Bdk. Baruch Spinoza (1632-1677)  dalam http://www.friesian.com/spinoza.htm
[x] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[xi] Ibid.
[xii] Franz Magnis Suseno, hlm. 194.
[xiii] Lih. Harry Hamersma, hlm. 11.
[xiv] KBBI, hlm. 1017.
[xv] Bertrand Russell, hlm. 749.
[xvi] Ibid.




Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat. Jakarta: Gramedia.
Hamersma, Harry. 1986. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tjahjadi, Simon Petrus L. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.

Baruch Spinoza (1632-1677)  dalam http://www.friesian.com/spinoza.htm diunduh pada 22/11/09 jam 15.52.

 

Jakarta, 27 Mei 2011

Gordy Afri

Tulisan ini dibuat pada semester ganjil 2009/10 di STF Driyarkara, Jakarta


Powered by Blogger.