Halloween party ideas 2015


Gambar: Google images
Tiap kali merayakan hari ulang tahun pasti saya kembali membayangkan peristiwa kelahiran saya. Entah mengapa saya punya kebiasaan seperti itu. Pada hari itu juga saya merasa bahagia ketimbang hari lainnya. Boleh dibilang inilah hari bahagia kekal saya dalam hidup. Oleh sebab itu saya rindu untuk merayakan hari ulang tahun di mana pun dan kapan pun. Kerinduan itu pun menjadi kerinduan abadi dalam hidup.

Menurut cerita mama, kelahiran saya menjadi sebuah momen bahagia bagi keluarga. Dua tahun setelah menjalani hidup berkeluarga, Bapak dan Mama merindukan anak, dan saat itu juga Kakak saya lahir. Kerinduan berikutnya adalah kehadiran saya sebagai adik. Kata mereka, sempat muncul rasa was-was, “Jangan-jangan kita mesti menunggu dua tahun lagi baru adik ada.” Beruntung ketika kakak saya berusia 1,1 tahun, saya lahir. Bapak dan mama amat bahagia. Selain mereka, keluarga dan orang yang membantu proses kelahiran saya turut berbahagia.

Kini, 24 tahun peristiwa itu berlalu. Masihkah ada yang berbahagia? Tanggal 15 Februari yang lalu usia saya merayakan ulang tahun ke-24. (Hmmm…setahun lagi genap ¼ abad). Pada hari itu juga ucapan selamat berbahagia datang dari berbagai penjuru. Yang pertamaYang kedua adalah konfrater sekomunitas. Yang ketiga adalah teman-teman saya yang menyampaikan ucapan selamat melalui dunia maya (facebook dan email). Teman-teman di dunia maya dibagi dalam dua kelompok yakni kelompok di dalam negeri dan kelompok luar negeri. Yang keempat—yakni  pada malam hari—adalah bapak dan mama serta kedua adik saya yang paling kecil. Pertanyaan di atas tadi dapat dijawab. Selain saya dan keluarga, masih ada orang yang berbahagia di usia saya yang ke-24. mengucapkan selamat adalah adik saya yang pertama dan yang kedua.

“Perawat” pohon kehidupanku
Tangan pertama yang menyentuh jiwa dan raga saya adalah Mama. Dialah yang membesarkan dan mendidik saya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Air susunya menjadi sumber hidup bagi jiwa dan raga saya. Dalam pelukannya yang berbalut cinta, saya bertumbuh secara ragawi dan psikologis. Katanya dalam suatu percakapan dengan saya, “Kamu dulu punya raga yang besar ketimbang kakak. Berat badan saya juga lebih besar. Banyak tidur dan sering nangis pertanda lapar atau mau buang air.” Selain dia ada BapakTerima kasih untuk Mama dan Bapak. yang sering bermain di waktu senggang. Kalau pulang sekolah, dia menggendong saya. “Kamu cepat tertidur kalau digendong,” katanya. Dalam tanggannya yang hangat saya dibesarkan.

Saya bertumbuh dalam didikan para guru/pendidik meski pendidik pertama dan utama adalah Bapak dan Mama. Saya mengingat kembali peran pendidik yang membentuk kepribadian dan pemikiran saya hingga saat ini. Saya mencoba menghitung kira-kira sudah mencapai 50-an lebih pendidik baik di pendidikan formal maupun yang informal dan nonformal. Selain mereka, saya ingat almarhum Kakak saya dan Adik-adik saya yang juga berperan dalam mendidik saya. Saya menganggap merka sebagai “perawat” pohon kehidupanku. Terima kasih buat para pendidik, pengajar, almarhum Kakak dan Adik-adik saya. Pengalaman hidup bersama kalian amat berharga bagi saya.

Saya yang sekarang
Saya yang sekarang adalah buah dari pendidikan yang diberikan keluarga dan para pendidik saya. Saya menjadi “saya yang sekarang” dengan segala kelebihan dan kekurangan, dengan sikap dan sifat serta tingkah laku yang sekarang adalah buah dari perawatan para pembentuk kepribadian saya. Selain keluarga dan pendidik dalam arti luas, yang memengaruhi perkembangan kepribadian saya adalah lingkungan dan teman-teman. Lahir dan dibesarkan di kampung, mendapat pendidikan menengah di kota kecil, dan sekarang menghidupi hidup harian di kota besar. Singkatnya, saya yang sekarang adalah saya yang dirawat, dibesarkan, dididik, dan dipengaruhi oleh keluarga, pendidik, teman, dan lingkungan. Saya berterima kasih buat semua teman saya sejak sebelum sekolah dasar hingga saat ini.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya mau berdoa bagi teman-teman dan siapa saja yang tidak merasa bahagia di saat hari ulang tahunnya. Saya ingat teman-teman di penjaraanak-anak jalanan dan kaum tuna wisma yang tidak sebahagia saya dalam merayakan hari ulang tahunnya. Semoga Tuhan memberi mereka kebahagiaan hati dalam mensyukuri hari ulang tahun mereka. Saya juga berdoa bagi teman-teman yang dengan segala cara mendukung panggilan hidup saya hingga saat ini. Tuhan sudah membalas jasa kalian. yang tidak bisa berbahagia bersama keluarga di hari ulang tahunnya. Saya ingat teman-teman saya khususnya

Akhirnya, saya mau bersyukur dan berterima kasih kepada Bapa di surga atas anugerah usia yang baru ini. Usia yang baru ini menjadi kesempatan yang baik untuk mewujudkan impian saya. Bagi saya, peziarahan ini belum berakhir. Kesempatan kemarin hingga saat ini menjadi pijakan yang kuat untuk meloncat ke peziarahan esok, lusa, dan hari-hari ke depan. Apa yang sudah saya lakukan, saya persembahkan buat Tuhan. Dan Tuhan ingin memberi tugas baru bagi saya yakni membagi kasih-Nya kepada sesama lewat kesaksian hidup saya. Mari teman-teman, kita bersama-sama, melangkah berdampingan, membagikan kasih Tuhan kepada sesama. Aminnn…

Cempaka Putih, 18 Februari 2011

Gordy Afri

foto dari google
Masih teringat jelas dalam benak kita, aksi akrobat para pemain sejagat dalam ajang “pesta piala dunia 2010” di Afrika Selatan. Sejuta mata melotot ke sana, sejuta orang beramai-ramai ke sana. Di sana ada pesta sejagat. Afrika Selatan menjadi “tempat wisata” sesaat yang mengundang sejuta tamu manca negara. Afrika Selatan bukan saja menjadi tempat yang dituju tetapi juga tempat asal sang reformator ulung yang beberapa waktu lalu sempat dikabarkan meninggal. Padahal dia masih hidup dan sedang dirawat.

Beberapa waktu lalu, kami di komunitas menonton dan mendiskusikan sebuah film menarik yang berjudul “Invictus”. Artinya “tak terkalahkan”. Film ini membuat kami antusias dan memberi sejumlah inspirasi. Di tengah hiruk-pikuk perjuangan negeri kita tercinta Indonesia ini, kami justru menemukan sosok pemimpin yang mampu mengubah situasi (reformator). Inspirasi film ini membuat saya bertanya, mungkinkah Indonesia mempunyai seorang reformator saat ini? Jawabannya mungkin. Hanya saja siapakah orangnya. Negara ini membutuhkan reformator. Kalau tidak, kita akan terhanyut dalam perdebatan tak berujung dan peristiwa-peristiwa yang membuat telinga kita panas mendengarnya.

Petualangan sang reformator
Nelson Rolihlahla Mandela atau dikenal dengan Nelson Mandela lahir di Mvezo, Transkei, 18 Juli 1918. Sekarang dia berusia 93 tahun. Ia adalah anak pertama dari keluarganya yang mengikuti sekolah. Pada umur 16 tahun (1934) dia mulai berkenalan dengan kebudayaan Barat ketika mengenyam pendidikan di Clarkebury Boarding Institute. Tempat lain yang membuat wawasan berpikirnya berkembang adalah Forth Hare University, di mana ia menentang kebijakan universitas dan dikeluarkan; University of South Africa, Johannesburg; University of the Witswatersrand, tempat ia mengambil kuliah di bidang hukum. Selain itu dia pernah menjadi aktivis dan ikut dalam African National Congress (ANC) atau Kongres Nasional Afrika tahun 1942. Di sini dia mulai menggagas aktivitas antiapartheid (pemisahan atau perbedaan ras).

Mandela memulai karirernya menjadi pengacara muda kemudian menjadi ketua ANC. Berbagai aktivitas antiapartheid membawanya ke penjara selama 27 tahun di Robben Island. Ia dibebaskan pada 11 Februari 1990. Dia dan Presiden Frederick Willem de Klerk (menjabat selama 20 September 1989-10 Mei 1994) mendapat hadiah Nobel Perdamaian pada 1993. Mandela adalah presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan yang terpilih pada 10 mei 1994. Ia menjabat selama 5 tahun (10 Mei 1994-16 Juni 1999). Ia turun ketika warga menilainya gagal memberantas penyakit AIDS yang merebak saat itu. Anaknya Makgatho Mandela menjadi korban AIDS pada 6 Januari 2005.

Berpaling ke Afrika Selatan
Mandela adalah contoh reformator ulung. Seperti pejuang antiapartheid (anti Rasisme) lainnya misal Malcom X di Amerika, Mandela menghadapi berbagai tantangan. Sejak menjadi pengacara muda, dan menjadi ketua ANC, dia sudah dihadapkan dengan yang namanya tantangan. Perjuangan memang menjadi unik ketika dihadapkan dengan tantangan. Puncak perjuangan Mandela adalah ketika dia dipenjara selama lebih kurang 27 tahun. Waktu yang matang untuk membentuk sebuah pemikiran. Apa daya cita-cita Mandela terbendung ketika dia mendekam di dinding tembok penjara. Meski demikian dia tidak mundur. Dalam penjara dia mengatakan dia bersedia mati untuk visinya (membebaskan Afrika Selatan dari apartheid.)

Film “Invictus” hanyalah sebagian dari bentuk perjuangan Mandela. Film ini menampilkan perjuangan Mandela untuk mempersatukan Afrika Selatan melalui olahraga yakni permainan Rughby. Mandela memberi kepercayaan kepada kapten untuk mengharumkan nama Afrika Selatan. Sesuatu yang unik. Kapten dan sebagian besar pemain rughby berkulit putih, hanya satu pemain yang berkulit hitam. Mandela menaruh kepercayaan pada sang kapten. Dia pun tidak ragu-ragu dengan rendah hati mengundang sang kapten ke kantornya untuk “minum teh” bersama. Dia juga mengajak para pemain untuk turun ke seluruh pelosok tanah air, melihat langsung kondisi negeri, mencari bibit pemain, dan meminta dukungan warga.

Indonesia dan Mandela
Film ini cocok ditonton oleh kaum pemimpin di negeri ini (Indonesia). Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari “bunga kehidupan” sang reformator ulung ini. Melihat kondisi masyarakat kita saat ini yang diliputi berbagai masalah kemiskinan, cuaca tidak menentu, harga pangan naik, kejahatan, dan sebagainya, sudah saatnya pemerintah turun tangan. Gaya kepemimpinan Mandela bisa diterapkan di Indonesia. Kaum pemimpin misalnya berani turun tangan mengentas kemiskinan, memebri dukungan kepada para petani untuk meningkatkan produksi pangan. Selain itu kaum pemimpin perlu turun tangan melihat langsung tantangan yang dihadapi nelayan dan masyarakat kecil lainnya, dan membuat langkah konkret untuk membantu mereka.

Mandela tahu betul kondisi masyarakat dan negaranya. Dia pun tidak segan memanfaatkan potensi yang ada. Alangkah baik kalau kaum pemimpin memanfaatkan potensi di negeri ini dan memberi semangat kepada rakyat untuk mendukung upaya ini. Potensi laut yang bisa memperkaya para nelayan dan masyarakat lainnya. Bahkan dengan perjuangannya, para nelayan kita bisa menjaga kawasan terluar negeri ini. Potensi angin dan matahari yang bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Akhirnya semuanya kembali kepada kita semua (pemerintah dan rakyat), apakah kita mau berubah? Mau menjadi reformator dalam setiap tugas dan profesi kita? Tidak cukup membuka mata tetapi mesti bertanya, apa yang bisa saya lakukan dengan ini semua?
Cempaka Putih, 6 Februari 2011
Gordy Afri




Mengubah kebiasaan seseorang atau sekelompok orang bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kebiasaan yang sudah melekat kuat dalam diri orang tersebut. Oleh karena itu, perlu kerja keras untuk mengubahnya. Cara mengubahnya harus mulai dari dalam, masuk dan terbenam dalam kebiasaannya. Dari sini, kita keluar dan mencoba membuat trik untuk mengubahnya. Namun, apakah dengan langkah ini, orang tersebut dijamin berubah? Bisakah mengubah kebiasaan mencopet menjadi kebiasaaan berdagang?

Minggu lalu, saya dan konfrater di komunitas menonton film ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI. Judulnya menarik untuk disimak. Belakangan ini, masyarakat Indonesia disuguhkan berita-berita yang kurang enak didengar. Media-media elektronik dan cetak memberitakan kasus korupsi seperti Gayus Tambunan, kasus kriminal seperti pencurian kendaraan dan perampokan yang meningkat di Jakarta dan sekitarnya, tingginya jumlah orang miskin, dan sebagainya. Singkat cerita kasus-kasus itu masih terjadi dan entah kapan selesai. Mengapa penyelesaiannya berlangsung lama?

Entahlah biarlah ini menjadi pertanyaan untuk kita semua. Melihat judul film di atas kita juga bisa bertanya, "Apakah penyelesaian kasus-kasus itu sebuah lelucon saja?" Bisa saja kita melihatnya sebagai sebuah lelucon karena penyelesaiannya belum berujung. Maka, judul film ini menjadi relevan, alangkah lucunya negeri kita ini. Tetapi, di satu sisi kita melihat bahwa penyelesaian kasus-kasus seperti ini memang tidak mudah. Bisa saja ada kemungkinan bahwa pelakunya bukan individu tetapi kelompok. Penyelesaiannya pun mesti melibatkan semua anggota kelompok. Apakah film di ini mempresentasikan kasus-kasus di atas? Tidak. Mari kita simak.

Masuk dalam Dunia Gelap
Muluk, seorang sarjana yang menganggur. Dia belum mendapatkan pekerjaan namun dia tidak putus asa mencari. Suatu ketika dia bertemu Komet, seorang pencopet jalanan. Tak disangka, Komet membawa Muluk ke markasnya dan bertemu bosnya, Jarot. Muluk heran ketika bertemu teman-teman dan bos Komet. "Kami adalah pencopet," suara itu bergema di rumah reyot itu. Rumah itu tidak tampak seperti rumah tinggal. Dari luar, kelihatan seperti sebuah rumah tak berpenghuni. Muluk kaget dan sempat menganga. Akhirnya, dia bisa menerima kalau dia sedang berbincang-bincang dengan kelompok pencopet.

Muluk kembali ke rumahnya sambil membawa tas berisi berkas lamaran kerja. Di rumah, dia bertemu keluarganya. Bapaknya memperlihatkan wajah cemberut ketika tahu bahwa anaknya belum mendapatkan pekerjaan. Muluk tidak peduli. Sambil mengotak-atik laptopnya, dia berpikir keras untuk mengubah perilaku kelompok pencopet tadi. Bapaknya keluar menemui teman-temannya. Mereka berdiskusi tentang pentingnya pendidikan. Ada yang mengatakan tidak penting, toh ada kaum berpendidikan yang menganggur. Ada yang bilang penting, untuk mengubah kualitas masyarakat dan mengangkat harkat warga. Lepas dari perdebatan ini, akan seperti apakah pergulatan Muluk nantinya? Mampukah dia mengubah pencopet menjadi orang yang baik?

Mengangkat Harkat Mereka
Kebiasaan mencopet bisa hilang dan diganti dengan kebiasaan lainnya yang lebih baik. Pemahaman ini menjadi misi Muluk untuk mengubah kelompok pencopet. Dia pun tidak tanggung-tanggung memanfaatkan pendidikan manajemennya untuk mengelola keuangan kelompok pencopet. Dia menawarkan bantuannya untuk mengelola keuangan mereka dan meminta imbalan 10% dari hasil mencopet, termasuk biaya mendidik mereka. Tak segan-­segan, dia membawa dua teman untuk mengajar pendidikan agama, budi pekerti, dan kewarganegaraan. Kelompok ini diperkenalkan dengan dunia baca-tulis, cara berdoa, dan dua cabang ilmu tadi. Pengajaran menjadi menarik karena Muluk membawa seorang guru cewek. Pencopet yang adalah kaum cowok bersemangat ketika di depan mereka ada guru cewek. Mereka juga senang ketika Muluk bersama teman-temannya membawa mereka keliling kota termasuk melihat dari dekat gedung DPR negeri ini.

Pelan-pelan Muluk dan teman gurunya memasukan ide tentang berdagang. Di sinilah awal perubahan dalam diri mereka. Mereka kini bukan hanya bisa baca-tulis dan berdoa, tetapi juga berdagang, mendapatkan uang dengan berjualan. Sebelum terjun dalam dunia berdagang, mereka mengadakan acara makan bersama. Para guru menyediakan makanan dan minuman enak yang diperoleh dari uang anak-anak binaan mereka. Sesaat sebelum menyantap hidangan para guru menjelaskan bahwa makanan ini adalah hasil uang anak binaan. Ini semua terjadi karena pendidikan. Dengan pendidikan, kita bisa mengelola uang dan menghasilkan makanan seperti ini. "Sebelum kita makan, kita mempersilakan bapak Haji (bapaknya Muluk yang hadir di ruangan itu beberapa menit sebelumnya) untuk memimpin kita dalam doa," kata ibu guru. Dengan cara ini, anak-anak binaan tadi mengerti betapa pentingnya pendidikan yang mereka terima selama ini. Bapak Muluk yang mula-mula ragu pun kini yakin akan pentingnya pendidikan.

Kembali ke dunia terang
Kelompok pencopet tadi berubah menjadi kelompok penjual. Satu per satu mereka keluar dari markas sambil membawa jualan berisi makanan dan minuman ringan. Mereka berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya sambil menawarkan jualannya. Mereka menyusuri rute pencopetan namun dengan tujuan berjualan. Kelompok 'pencopet jalan’ turun ke jalan dan menawarkan jualannya. Begitu juga dengan kelompok pencopet pasar dan mall. Betapa hebat pergulatan Muluk dan kawan-kawannya. Kini anak-anak pencopet kembali ke dunia terang. Dunia di mana mereka mesti berjuang mendapatkan sesuatu dan bukan menggunakan cara-cara instan.

Di sini, Muluk berhasilmengubah perilaku dan kebiasaan orang. Dia mulai dari dalam, masuk dalam kebiasaan hidup mencopet namun bukan berarti menjadi pencopet. Dia melihat situasi di mana pencopet hidup lalu keluar dengan cara pandang baru. Cara pandang yang memungkinkan dia mengubah perilaku mereka. Tidak ragu-ragu lagi, hasilnya pun terbukti. Kalau Muluk bisa mengubah dan mengangkat harkat pencopet, bagaimana dengan kita? Beranikah kita menjadi Muluk-Muluk yang lain? Jumlah anak jalanan dan angka kriminal akan berkurang karena setiap orang mempunyai pekerjaan. Meskipun ini hanya sebuah film tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa kisah itu bisa menjadi kisah nyata. So,....apa yang bisa kita buat selanjutnya????
Cempaka Putih, 22 Januari 2011
Gordi Afri
Powered by Blogger.