Halloween party ideas 2015



Jarum jam menununjukkan pukul 5.45 p.m. Para pegawai kantor siap pulang ke rumah. Pekerjaan di awal pekan minggu ini diakhiri.
A
da yang menggunakan angkutan umum, mobil pribadi, dan sepeda motor. Semuanya ramai-ramai menggunakan jalan. Sementara itu suasana jalan padat dengan kendaraan. Laju kendaraan bergeser sekitar 1-2 meter per 5 menit. *Gambar: google images
 

Begitulah situasi Jalan Salemba Raya pada Senin, 28 Februari lalu. Penulis termasuk salah satu pengendara yang terjebak kemacetan. Kemacetan bukan hal baru bagi warga Jakarta. Sebagian besar warga sudah tahu dan pernah mengalami masalah ini. Hampir tidak ada bagian jalan yang kosong. Semuanya dipadati kendaraan, mobil, sepeda motor, dan bajai. Bahkan sebagian sepeda motor naik di trotoar. Ini terjadi karena badan jalan tak mampu menampung kendaraan yang ada. Selain itu pengendara sudah tidak sabar lagi berlama-lama di tengah kemacetan.

Selain di jalan Salemba, suasana serupa terjadi di jalan Salemba Tengah, berlanjut ke Jalan Percetakan Negara dan Jalan Rawasari. Keempat jalan ini berhubungan. Kendaraan dari Jalan Salemba menembus Salemba Tangah dan Rawasari. Pemandangan serupa juga terjadi di Jalan Gunung Sahari hingga simpang lima Senen. Bisa jadi di beberapa tempat lain juga sama. Semuanya macet. Hari ini hari Senin, hari awal pekan. Hari di mana sebagian besar pegawai kantor masuk. Tidak heran kalau keramaian di kantor berpindah di jalan. 

Ada anggapan bahwa sepeda motor menjadi penyebab kemacetan. Hal ini dibuktikan dengan jumlah sepeda motor yang cukup banyak. Berdasarkan data kepolisian hingga tahun 2010 (akhir Juli), jumlah sepeda motor di Jakarta sudah mencapai 8 Juta unit. Jumlah ini diperkirakan bertambah 900 setiap hari (data dari maiwanews.com). Namun, tentu ada juga penyebab lain. Bis yang “mengetem”, menunggu lama, di sembarang tempat menyebabkan kendaraan lain ikut berhenti. Masalah lain yakni jalan yang tergenang air. Sebagian kendaraan menghindar atau memilih berhenti jika berhadapan dengan genangan air. Ada juga tempat umum yang menggunakan sebagian jalan sebagai parkiran. Ini semua memperlambat arus kendaran.

Kemacetan membawa masalah baru bagi warga Jakarta. Warga ibu kota Jakarta diperkirakan menderita kerugian sebesar Rp. 28 Triliun per tahun akibat kemacetan (Antara News). Kerugian bahan bakar diperkirakan Rp. 10,7 trilun (kerugian terbesar). Ini terjadi karena banyaknya bahan bakar yang terbuang saat kendaraan terjebak macet. Kerugian kedua yakni waktu produktif yang diperkirakan mencapai Rp. 9,7 triliun. Kerugian ketiga dalam bidang kesehatan yakni pengendara yang stres dan terkena polutan. Kerugian ini diperkirakan sebesar Rp. 5,8 triliun. Kerugian terakhir dialami oleh pemilik angkutan misalnya berkurangnya jam angkut. Kerugian ini diperkirakan sebesar Rp. 1,9 triliun. 

Angka di atas besar. Untuk mencapai angka itu seorang pekerja mesti berjuang sekian lama. Angka di atas senilai dengan 100 ribu rumah elit di Jakarta yang harganya Rp 250 juta ke atas. Bayangkan kalau biaya beli 10 rumah itu dibuang dalam waktu setahun. Padahal mencarinya amat sulit tetapi menghabiskannya begitu mudah. Dengan terjebak dalam kemacetan. Sebagian besar di antara pengguna jalan tidak tahu kalau mereka rugi sebesar itu karena begitu lama antri di jalan.

Angka itu bisa diperkecil jika pengguna jalan dan pemerintah memiliki komitmen untuk mencari solusi. Rakyat tidak ingin biaya sebesar itu dibuang begitu saja. Rakyat tidak ingin duduk berlama-lama di angkutan kota, berdiri di jalan dan halte. Rakyat ingin semuanya lancar, cepat sampai di tempat tujuan. Pemerintah dan rakyat hendaknya duduk bersama memecahkan persoalan kemacetan. Rakyat sebagai pengguna jalan ingin nyaman berlalu lintas. Pemerintah semestinya menyediakan fasilitas publik bagi warganya. Jalan merupakan fasilitas publik yang dinikmati semua warga. Rakyat akan puas jika pemerintah memperbaiki jalan yang ada, menertibkan kendaraan yang diparkir di jalan, menindak tegas pengendara yang melanggar.

Sebaliknya rakyat harus berkomitmen menjaga fasilitas publik yang ada. Menjaga jalan umum, bersama-sama memperbaiki jika ada yang rusak. Yang perlu ditekankan juga adalah ketertiban dalam berlalu lintas. Tertib berlalu lintas merupakan langkah awal membantu polisi. Polisi bisa mengendalikan kelancaran kendaraan jika pengguna jalan ikut mendukungnya. Tanpa kerja sama keduanya, jalanan tetap macet. Dengan ini, kecelakaan di jalan dan kerugian akibat macet bisa diperkecil. Mari kita menjadi pengguna jalan yang bijak di tengah kemacetan.
Cempaka Putih, 5 Maret 2011
Gordy Afri


Seorang ibu tampak ketakutan. Ia tidak berbicara dengan teman di sampingnya. Tiap kali ada penumpang baru masuk, dia selalu melihat ke kiri dan ke kanan, mengenali wajah penumpang lain. Ia tetap diam hingga tiba di tempat tujuannya. Begitulah kondisi di bis kota, Metromini, beberapa waktu lalu.*Gambar: google images

Kebanyakan penumpang angkutan umum di Jakarta memilih untuk diam. Mereka diam ketika berhadapan dengan orang baru. Budaya inisiatif untuk menyapa hilang. Mereka akan sibuk dengan keasyikannya sendiri ketika berada di dalam mobil atau kereta. Di dalam Metromini, saya temukan para penumpang yang diam. Anak mudi/a sibuk dengan HP atau MP3-nya, yang tua diam saja tanpa berkomentar. Di dalam bis Transjakarta juga sama. Penumpang berdesakan. Setelah mendapat tempat duduk, kebanyakan memilih untuk diam, tidak peduli dengan teman di samping. Mereka yang berdiri juga sama. Mereka hanya melihat pemandangan di luar bis, atau bergeser ketika ada penumpang lain yang hendak menempati tempat di samping, depan, dan belakangnya.

Hal yang sama terjadi dalam kereta. Selain duduk/berdiri berdesakan, penumpang juga berhadapan dengan pengamen, penjual, dan pengemis. Di tiap stasiun, ada satu (kelompok) oknum yang tidak dikenal yakni pencopet jalanan. Dia (mereka) pun diam, tidak berbicara dengan korban. Yang naik sibuk mencari tempat duduk, yang turun sibuk membereskan barang bawaan, yang mencopet sibuk mencari korban. Yang berbicara hanya mereka yang sudah berkenalan.

Diam berarti misteri. Diam berarti banyak hal. Namun, diam di dalam angkutan umum adalah diam karena curiga dan takut. Curiga terhadap teman di samping. Sebab, teman dalam sekejap saja bisa jadi lawan. Takut terhadap pencopet jalanan. Menurut pengakuan beberapa teman, mereka diam di angkutan umum karena takut. Bayangan tentang pencopet menjadi bayangan yang menakutkan. Kasus-kasus pencopetan jalanan pun kian marak. Ada pencopet yang menggaet kalung emas penumpang di stasiun kereta, ada penodong yang mengancam korban yang sedang berduaan dengan temannya demi mendapatkan sepeda motor, ada pencopet yang menggaet tas korban ketika bersama-sama melaju di jalan, ada pencopet yang membobol ATM, dan sebagainya.

Bayangan pencopet yang menakutkan ini membuat kebanyakan penumpang diam. Diam dan berjaga-jaga agar selamat dari pencopet. Diam sambil menaruh curiga terhadap teman di samping. Ketakutan membungkam mereka untuk diam, tidak mau berbicara, menyapa dengan teman di samping. Ada beberapa teman mengatakan ketakutan bisa hilang pelan-pelan ketika kita bisa berbicara dengan teman penumpang di samping. Saat itulah dia tidak merasa sendiri. Namun, ini tidak mudah. Hanya untuk menyapa saja tampaknya sulit. Ada juga yang “memasang” tampang muka bengis sehingga pencopet takut. Padahal yang namanya pencopet itu tidak mengenal korban, tidak mengenal orang baik/jahat.

Kapan lagi penumpang bisa berbicara? Apakah tunggu pencuri lenyap dari angkutan umum? Mungkin saja. Tetapi, hal itu sulit ditebak. Pencuri datang tanpa kenal waktu. Lebih baik kita tetap mau menyapa dengan teman penumpang lain daripada kita menunggu pencopet lenyap dari angkutan umum. Pekerjaan kita (hanya) menyapa. Dari (tegur) sapa, kita berkenalan. Setelah kenal, kita bisa berbagi cerita. Kalau sampai bercerita, kita tidak takut lagi. Meskipun, kita tetap was-was. Boleh curiga namun jangan sampai kecurigaan kita terlalu besar sampai kita tidak bisa menyapa. Memilih berjalan bersama teman tampaknya lebih nyaman karena kita bisa bercerita. Namun, tak jarang kita mesti pergi sendiri. Kita bisa saja beda tujuan bepergian dengan teman sehingga tidak bisa pergi bersama. Oleh karena itu, mari kita saling menyapa dengan siapa saja.
Cempaka Putih, 27 Februari 2011
Gordy Afri


Gambar: Google images
Tiap kali merayakan hari ulang tahun pasti saya kembali membayangkan peristiwa kelahiran saya. Entah mengapa saya punya kebiasaan seperti itu. Pada hari itu juga saya merasa bahagia ketimbang hari lainnya. Boleh dibilang inilah hari bahagia kekal saya dalam hidup. Oleh sebab itu saya rindu untuk merayakan hari ulang tahun di mana pun dan kapan pun. Kerinduan itu pun menjadi kerinduan abadi dalam hidup.

Menurut cerita mama, kelahiran saya menjadi sebuah momen bahagia bagi keluarga. Dua tahun setelah menjalani hidup berkeluarga, Bapak dan Mama merindukan anak, dan saat itu juga Kakak saya lahir. Kerinduan berikutnya adalah kehadiran saya sebagai adik. Kata mereka, sempat muncul rasa was-was, “Jangan-jangan kita mesti menunggu dua tahun lagi baru adik ada.” Beruntung ketika kakak saya berusia 1,1 tahun, saya lahir. Bapak dan mama amat bahagia. Selain mereka, keluarga dan orang yang membantu proses kelahiran saya turut berbahagia.

Kini, 24 tahun peristiwa itu berlalu. Masihkah ada yang berbahagia? Tanggal 15 Februari yang lalu usia saya merayakan ulang tahun ke-24. (Hmmm…setahun lagi genap ¼ abad). Pada hari itu juga ucapan selamat berbahagia datang dari berbagai penjuru. Yang pertamaYang kedua adalah konfrater sekomunitas. Yang ketiga adalah teman-teman saya yang menyampaikan ucapan selamat melalui dunia maya (facebook dan email). Teman-teman di dunia maya dibagi dalam dua kelompok yakni kelompok di dalam negeri dan kelompok luar negeri. Yang keempat—yakni  pada malam hari—adalah bapak dan mama serta kedua adik saya yang paling kecil. Pertanyaan di atas tadi dapat dijawab. Selain saya dan keluarga, masih ada orang yang berbahagia di usia saya yang ke-24. mengucapkan selamat adalah adik saya yang pertama dan yang kedua.

“Perawat” pohon kehidupanku
Tangan pertama yang menyentuh jiwa dan raga saya adalah Mama. Dialah yang membesarkan dan mendidik saya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Air susunya menjadi sumber hidup bagi jiwa dan raga saya. Dalam pelukannya yang berbalut cinta, saya bertumbuh secara ragawi dan psikologis. Katanya dalam suatu percakapan dengan saya, “Kamu dulu punya raga yang besar ketimbang kakak. Berat badan saya juga lebih besar. Banyak tidur dan sering nangis pertanda lapar atau mau buang air.” Selain dia ada BapakTerima kasih untuk Mama dan Bapak. yang sering bermain di waktu senggang. Kalau pulang sekolah, dia menggendong saya. “Kamu cepat tertidur kalau digendong,” katanya. Dalam tanggannya yang hangat saya dibesarkan.

Saya bertumbuh dalam didikan para guru/pendidik meski pendidik pertama dan utama adalah Bapak dan Mama. Saya mengingat kembali peran pendidik yang membentuk kepribadian dan pemikiran saya hingga saat ini. Saya mencoba menghitung kira-kira sudah mencapai 50-an lebih pendidik baik di pendidikan formal maupun yang informal dan nonformal. Selain mereka, saya ingat almarhum Kakak saya dan Adik-adik saya yang juga berperan dalam mendidik saya. Saya menganggap merka sebagai “perawat” pohon kehidupanku. Terima kasih buat para pendidik, pengajar, almarhum Kakak dan Adik-adik saya. Pengalaman hidup bersama kalian amat berharga bagi saya.

Saya yang sekarang
Saya yang sekarang adalah buah dari pendidikan yang diberikan keluarga dan para pendidik saya. Saya menjadi “saya yang sekarang” dengan segala kelebihan dan kekurangan, dengan sikap dan sifat serta tingkah laku yang sekarang adalah buah dari perawatan para pembentuk kepribadian saya. Selain keluarga dan pendidik dalam arti luas, yang memengaruhi perkembangan kepribadian saya adalah lingkungan dan teman-teman. Lahir dan dibesarkan di kampung, mendapat pendidikan menengah di kota kecil, dan sekarang menghidupi hidup harian di kota besar. Singkatnya, saya yang sekarang adalah saya yang dirawat, dibesarkan, dididik, dan dipengaruhi oleh keluarga, pendidik, teman, dan lingkungan. Saya berterima kasih buat semua teman saya sejak sebelum sekolah dasar hingga saat ini.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya mau berdoa bagi teman-teman dan siapa saja yang tidak merasa bahagia di saat hari ulang tahunnya. Saya ingat teman-teman di penjaraanak-anak jalanan dan kaum tuna wisma yang tidak sebahagia saya dalam merayakan hari ulang tahunnya. Semoga Tuhan memberi mereka kebahagiaan hati dalam mensyukuri hari ulang tahun mereka. Saya juga berdoa bagi teman-teman yang dengan segala cara mendukung panggilan hidup saya hingga saat ini. Tuhan sudah membalas jasa kalian. yang tidak bisa berbahagia bersama keluarga di hari ulang tahunnya. Saya ingat teman-teman saya khususnya

Akhirnya, saya mau bersyukur dan berterima kasih kepada Bapa di surga atas anugerah usia yang baru ini. Usia yang baru ini menjadi kesempatan yang baik untuk mewujudkan impian saya. Bagi saya, peziarahan ini belum berakhir. Kesempatan kemarin hingga saat ini menjadi pijakan yang kuat untuk meloncat ke peziarahan esok, lusa, dan hari-hari ke depan. Apa yang sudah saya lakukan, saya persembahkan buat Tuhan. Dan Tuhan ingin memberi tugas baru bagi saya yakni membagi kasih-Nya kepada sesama lewat kesaksian hidup saya. Mari teman-teman, kita bersama-sama, melangkah berdampingan, membagikan kasih Tuhan kepada sesama. Aminnn…

Cempaka Putih, 18 Februari 2011

Gordy Afri

Powered by Blogger.