Halloween party ideas 2015

“Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!”
Judul Opini Kompas, 8 April 2011.

Pengajaran Gambar google images
Judul opini yang ditulis Yudhistira ANM Massardi ini mengundang untuk ditelusuri lebih lanjut. Secara kasat mata, judul ini menurunkan gairah para pencari ilmu. Bayangkan jika anak SD, SMP, dan SMA mengerti betul apa arti judul tulisan ini.  Sebuah kalimat perintah untuk berhenti bersekolah. Atau juga, sebuah ajakan. Kalau begitu, sia-sialah anak-anak mengenyam pendidikan di sekolah.

Yudhistira ANM Massardi menulis demikian, ”Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai—katakanlah hingga dua dekade ke depan—yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur.” Jika demikian, betapa malang nasib anak didik yang menjadi tenaga kerja industri dan tenaga kerja bermental pegawai. Mereka akan jadi penganggur.

Sastrawan dan Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi ini mempunyai data jumlah penganggur dan siswa putus sekolah. Sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana menganggur. Siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA yang tercatat sejak 2002, berjumlah rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun. Jika seperti ini yang terjadi, negeri ini sebenarnya dipenuhi penganggur. Siapkah para siswi/a dan mahasiswi/a menghadapi tantangan ini?

Saya tertarik melihat beberapa penjual makanan yang membagikan karya mereka saat acara “Malam Budaya” di kampus dua malam lalu. Dengan ramah mereka melayani kami. Mereka adalah “orang kecil” namun pekerjaan mereka berguna bagi “orang besar”. Mereka mungkin tidak sempat mengenyam pendidikan seperti kami, para mahasiswi/a yang setiap hari bergelut dengan ilmu. Namun, mereka bisa “mengisi perut” dari hasil jualan mereka. Dengan kata lain, mereka adalah orang sukses.

Fakta sekarang memang berubah dari anggapan sebelumnya bahwa “bersekolah dulu supaya mendapat pekerjaan yang bagus”.  Ada orang sukses yang tidak melalui pendidikan di sekolah formal. Sebaliknya, ada penganggur yang lulusan diploma atau sarjana. Kalau demikian “Untuk apa kita sekolah?”

Sebuah “survei” di situs yahoo menguraiakan pertanyaan “Untuk apa kita pergi ke sekolah setiap hari walau sekolah tidak menjamin hidup baik?” Salah satu jawaban pembaca situs ini demikian “Sekolah bukan untuk menjamin hidup baik, tetapi dengan bersekolah kita bisa berpola pikir lebih dewasa dan berperilaku yg baik. Selain itu kita juga belajar untuk bergaul, bersosialisasi, semakin banyak teman, semakin besar peluang untuk hidup lebih baik karena dengan berteman dan bersosialisasi bisa mendatangkan kesempatan pekerjaan....”
               

Jawaban di atas bisa menjadi pijakan bagi kaum didik. Sekolah bukan menjamin hidup baik. Fakta di atas tadi bahwa ada diploma dan sarjana yang menganggur. Meskipun ada juga yang mendapat pekerjaan yang layak. Sekolah memang bagai dua sisi mata uang ketika dikaitkan dengan peluang hidup baik. Dengan bersekolah, peluang masa depan lebih baik terjamin sekaligus tidak terjamin.
               
Namun, sekolah menjadi “tempat didik” untuk berpola pikir lebih dewasa dan berperilaku baik. Di sekolah, dua sikap ini ditempa habis-habisan. Beruntunglah mereka yang betul-betul memanfaatkan kesempatan ini. Selain itu, sekolah juga menjadi “tempat didik” bersosialisasi, bergaul dengan banyak teman yang multikarakter.

Trilogi bermasyarakat
“Pola pikir”, “Pola laku”, dan ”Pola gaul” menjadi tiga hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang pola pikirnya bagus akan dihormati. Orang yang pola lakunya bagus akan dihargai. Dan, orang yang pola gaulnya bagus akan disenangi. Ketiganya menjamin seseorang mendapat banyak teman. Banyak teman/sahabat/kenalan menjamin banyak peluang untuk mendapat pekerjaan.
               
interasksi dalam proses pengajaran
Anggapan “orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai” kiranya kurang bagus. Pendidikan (sekolah) hanyalah “tempat didik” dan bukan berorientasi mencetak tenaga kerja. Persoalan akan menjadi tenaga kerja atau tidak di kemudian hari bukanlah tugas sekolah.
               
Sekolah mempunyai efek tidak langsung dalam membentuk kepribadian tenaga kerja. Jika tiga aspek di atas melekat dalam diri seorang anak didik maka dia akan menjadi tenaga kerja berkualitas. Jika tidak menjadi tenaga kerja, dia tetaplah seorang manusia yang berkualitas di tengah masyarakat.
               
Yudhistira ANM Massardi di akhir tulisannya menyebut dua kata kunci “kreativitas” dan “imajinasi”. Orang yang kreatif amat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai persoalan. Kreatif menyelesaikan sebuah tugas berarti menjadikan tugas tersebut sebagai sesuatu yang berguna, baru, dan dapat dimengerti. Sebab, “Kreativitas adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya baru, inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh, mengejutkan, berguna (useful), lebih enak, lebih praktis, mempermudah, memperlancar,……” (A.M. Mangunhardjana, 1992, Mengembangkan Kreativitas, hlm. 11).  

Pribadi imajinatif mempunyai orientasi dalam bekerja. Pekerjaan tidak hanya dinilai “sekarang” tetapi juga dampaknya bagi “masa mendatang”. Benar apa yang dikatakan Yudhistira ANM Massardi bahwa dua hal ini belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun.

Akhirnya kita sekolah bukan melulu menjadi tenaga kerja guna kepentingan industri dan bermentalitas pegawai. Kita sekolah untuk hidup dan bukan hidup untuk sekolah. Sekolah untuk hidup berarti kita sekolah untuk mengerti hidup ini. Hidup untuk sekolah berarti seluruh hidup kita dihabiskan untuk sekolah. Kalau seperti ini, kapan kerjanya?? Non Scholae Sed Vitae Discimus. Pepatah Latin yang artinya kita belajar untuk hidup dan bukan demi sekolah, bukan demi kepentingan industri, dan tenaga kerja bermental pegawai.  

Cempaka Putih 11 April 2011
Gordy Afri

Orang buta disembuhkan
Bayangkan orang buta sejak lahir. Dia tak pernah melihat indahnya dunia ini. Dia tidak tahu berbagai jenis warna. Banyak hal lain yang ia tidak tahu.

Orang buta masuk dalam golongan orang cacat fisik. Pembagian ini dilakukan oleh orang normal. Orang normal dalam hal ini adalah orang yang bisa melihat (lawan dari orang buta). Andai dunia ini didominasi orang buta, bukan tidak mungkin orang yang bisa melihat dianggap cacat.

Namun, jangan harap itu terjadi. Kecil kemungkinan. Orang buta memang dicap “cacat fisik” begitu saja oleh orang normal. Dari sudut orang normal, ia cacat fisik. Andai dia hanya tinggal dengan sesama orang buta, mungkin ia tidak digolongkan cacat.

Konon, orang Yahudi menganggap buta sebagai penyakit. Penyakit kutukan dari Allah. Apakah Allah mengutuk? Manusia yang buta—apalagi sejak lahir—diyakini sebagai korban dosa. Kalau seorang anak buta besar kemungkinan orang tua atau anggota keluarganya berdosa. Tak heran ketika melihat orang buta di pinggir jalan muncul pertanyaan “Siapakah yang berdosa, orang buta ini atau orang tuanya?”. *Semua gambar dari google images

Orang buta kerapkali disingkirkan dari masyarakat. Alasan kuat penyingkiran ini adalah merepotkan. Tak jarang banyak dijumpai orang buta di panti-panti. Penulis pernah tinggal dengan orang buta di salah satu panti asuhan di pinggiran kota Yogyakarta.

Syukur kalau orang buta dititipkan di panti. Masih ada orang yang memerhatikannya. Kalau tidak, betapa besar penderitaannya. Betapa ia disingkirkan jauh-jauh dari pergaulan sosial.

Ada beberapa orang buta yang penulis jumpai di panti itu. Beberapa dari mereka masih dikunjungi oleh keluarganya. Beberapa lagi tak pernah dikunjungi. Repot. Pihak panti bisa kewalahan kalau terjadi apa-apa.

Memang merepotkan tinggal dengan orang buta. Namun, apakah dia mesti disingkirkan? Bentuk penyinkiran itu serupa dengan anggapan orang Yahudi. Orang buta adalah orang berpenyakit maka disingkirkan. Kalau sekarang kita masih berpikir demikian maka kita tak ada bedanya dengan orang Yahudi zaman dulu. Maka, kita termasuk orang zadul dalam konteks ini.

Merawat orang buta tidaklah muda. Kata kuncinya adalah sabar dan setia. Penulis merasa takut melihat orang buta pertama kali. Selain karena beda, dia juga tidak bisa melihat. Menyuap nasi saja susah. Sendok yang dimasukkan ke mulutnya bisa saja meleset sehingga mengenai bagian hidung atau leher. Lagi-lagi di sini perlu kesabaran dan kesetiaan.

Orang buta bisa berinternet
Pelan-pelan tinggal dengan orang buta mengasyikkan. Penulis hanya tinggal sebulan dengan mereka. Ada beberapa teman di panti yang tinggal bertahun-tahun. Mereka kerasan, bisa tinggal lama. Meski ada beberapa yang tidak bisa tahan. Kalau dibimbing dengan baik, orang buta bisa mengikuti kelakuan orang normal. Di panti, orang buta bisa menjahit, mencuci piring, membersihkan kasurnya, dan sebagainya. Dia bisa bekerja karena dilatih.

Orang buta merepotkan tidak sepenuhnya benar. Buktinya ada  juga orang buta yang menghasilkan sesuatu. Ada yang bisa membuat kerajinan tangan dengan berbagai motif dari kain. Bahkan, di daerah Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ada orang buta yang menjadi penyanyi kondang. Daniel Anduk namanya. Dia menghidupi dirinya dengan “menjual suaranya”. Berbekal gitar dan suaranya, dia menghasilkan beberapa kaset tep recorder yang bisa dijual. Lagunya laris manis di kalangan masyarakat Manggarai sampai tahun 1990-an.

Bagaimanapun, orang buta sejak lahir adalah manusia yang harus dihormati. Cap “cacat fisik” hendaknya tidak menambah penyingkiran. Mereka bisa tinggal dengan orang normal. Mereka bisa menghasilakan sesuatu. Maka, mereka tidak sepenuhnya merepotkan. Di satu sisi ya, sebab mereka terbatas. Sama seperti orang normal juga terbatas. Peran orang lain dibutuhkan demi kehidupan bersama.

Tak salah jika dikatakan, “Karya Tuhan sungguh nyata melalui orang buta”. Karya orang buta kadang luar biasa. Orang bisa kagum mendengar suara orang buta. Kok bisa ya? Padahal dia tidak pernah bertemu gurunya untuk melatih nyanyi. Penulis yang bisa menyanyi tetapi tidak sehebat Daniel Anduk hanya bisa kagum.

Maka, buta sejak lahir bukanlah penyakit. Kalau dianggap penyakit, itu hanya karena ada yang mencapnya demikian. Semua manusia sama di hadapan Tuhan. Tidak ada yang diciptakan karena penyakit.
(Tulisan ini terinsipirasi oleh Kisah Penyembuhan orang buta dalam Injil Yoh 9:1-41).

Cempaka Putih, 3 April  2011
Gordy Afri

Sebagian besar manusia mengaku dirinya pernah berdoa. Pagi, siang, malam, dan setiap waktu. Berbagai bentuk doa diucapkan manusia. Apa dan bagaimana orang berkomentar tentang doa?

Doa. Kata yang pas untuk mendefinisikan hubungan manusia dengan Tuhan. Sementara itu, Tuhan merupakan kata yang sarat dengan berbagai komentar.  Ada yang tidak mengakui Tuhan. Tuhan yang bagaimana dan seperti apa? Tuhan yang diakui umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi? 

Tuhan. Sekali lagi lagi kata yang multi tafsir. Ada yang berontak dengannya. Ada yang berharap padanya. Tuhan yang bagaimana dan seperti apa? Ada yang tidak mempercayainya. Percaya seperti apa? Ada yang hanya di mulut saja. Ada yang di pikirannya. Ada pula yang di hatinya.

Ya... Tuhan tak disentuh. Tak tuntas dijelaskan. Tak bisa dibuktikan. Hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mau dan mampu merasakannya. Hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mau menerimanya. 

Tentang doa, bagaimana?? Doa sebagai sarana berelasi dengan Tuhan muncul kalau Tuhan itu sudah jelas identitasnya. Minimal bagi pendoa itu sendiri. Yakin akan Tuhan menjadi langkah awal untuk menjalin relasi dengannya.

Komentar orang tentang doa
Seorang teman berkomentar tentang doa. Sebelumnya pertanyaan dilontarkan, “Bagaimana pandangan Anda tentang doa? Apakah Anda yakin doamu dikabulkan?” Teman itu menjawab, “Semua doa saya terkabulkan.” Wah hebat sekali. Baginya, Tuhan pasti mengabulkan doanya dan memberi yang terbaik kepadanya. Kadang-kadang waktunya tidak persis seperti yang diminta.

Lebih lanjut dia mengatakan, kalau belum dikabulkan, itu pertanda belum waktunya. Atau juga, Tuhan belum menginginkan hal itu terjadi padanya. Tuhan mengabulkannya di waktu lain. Itulah saat yang tepat untuk memperoleh apa yang diminta. Tuhan tidak menolak.
Seorang tokoh cendikiawan muslim berkomentar lain. Baginya, hanya 2% doa yang dikabulkan Tuhan. Sepanjang hidupnya, dia berdoa dengan berbagai permohonan namun hanya itu saja yang dikabulkan. Sebagian besar, 98%, tidak dikabulkan(?) (dari buku “Mari Berbagi” 2011, 27).

Injil (Matius) mengatakan demikian. Kalau berdoa jangan bertele-tele. Bertele-tele adalah tindakan orang yang tidak mengenal Allah. Jangan pula banyak kata. Banyak kata tidak menentukan banyak doa dikabulkan (Gubahan dari Mat 6:7).  

Lalu bagaimana? Kalau mau berdoa, masuklah ke kamar, tutup pintu dan berdoalah. Bapa di tempat tersembunyi  melihat engkau. Wah tambah hebat. Tuhan itu tersembunyi namun ia bisa melihat orang yang sedang berdoa. 

Ada lagi yang mengatakan hal lain. Doa baginya bukan sekadar mengucapkan kata-kata. Lebih dari kata-kata.  Doa adalah bertindak, bekerja, bernyanyi, menulis, membaca, mengetik, menyetir mobil, membantu orang lain, dan sebagainya. Doa tidak berhenti pada mengucapkan rumusan. Doa berlanjut dalam tindakan. Bertindak juga merupakan doa.

Ada sholat 5 waktu untuk umat Muslim. Ada kebaktian bagi umat Kristen Protestan pada umumnya. Ada misa/ekaristi bagi umat Katolik. Ada doa di Sinagoga bagi umat Yahudi. Penganut Budha, Hindu, Konghucu mempunyai waktu doa juga. Selain itu ada doa pribadi yang dibedakan dengan doa bersama.

Berapa lama waktu untuk berdoa? Tak tentu. Relasi dengan Tuhan tidak terpaku dengan waktu. Kapan saja. Manusia yang membuat batasan untuk berdoa. Namun, doa tetap tak ada batas. Institusi agama membatasi dengan maksud tertentu. Kalau itu terlalu kaku, bisa cari waktu lain.

Beberapa tokoh menyediakan waktu khusus untuk berdoa. Teresa dari Calcuta (1910-1997) dan Anthony de Mello (1931-1987) dari India menganjurkan pengikutnya berdoa 6 jam sehari, di luar doa bersama. Guido Conforti (1865-1931) dari Parma, Italia menganjurkan pengikutnya berdoa 2 jam sehari, di luar doa bersama. Almarhum Paus Yohanes Paulus II (1920-2005) menganjurkan agar setiap kegiatan harian dilandasi doa. Doa menjadi jiwa dari berbagai kegiatan. Ia tidak memberi batasan.

Doa bisa dilakukan di mana saja. Doa tidak hanya di Masjid, Mushola, Gereja, Kapel, Sinagoga, Kuil, pura, Wihara, Gua, rumah adat, tempat sesaji, dan sebagainya. Ini tempat resmi namun ada juga tempat lain untuk berdoa. Di jalan, di kelas, di ruang kerja, di pabrik, di dalam mobil, pesawat, kereta, di WC, dan sebagainya. Doa tidak hanya di tempat ibadat.

Bagaimana? Ada yang berdoa dengan mengucapkan rumusan baku, dengan bernyanyi, dengan bernyanyi dan berkata-kata, dengan mempersembahkan sesuatu, dengan mengorbankan sesuatu, dengan ritual tertentu, dengan bahasa tertentu, dengan berkumpul, secara sendiri-sendiri, dengan kata-kata spontan, dan sebagainya. 

Berdoa! Hanya berkata atau setelahnya berbuat? Hanya membaca rumusan atau membuat rumusan baru? Berhenti pada kata tanpa tahu latar belakang atau memahami kata dengan latar belakangnya? Terpaku pada rumusan atau bisa sesuaikan dengan situasi tertentu? Banyak berkata atau sedikit berkata? Banyak berdoa atau berdoa banyak? Berdoa dengan bertindak atau berdoa tanpa bertindak?

Doa. Meminta atau mensyukuri? Berharap atau meminta perhatian? Mendengarkan atau mencurahkan isi hati? Sekadar curhat atau melampiaskan kemarahan? Memberontak atau berusaha mencari hikamah? 

Untaian pertanyaan tanpa jawaban. Berharap menemukan jawaban sendiri. Mengembara mencari jawaban dari pengalaman. Ibarat “Seorang perempuan berusia 70 tahun ditemukan hidup, empat hari setelah gempa dan tsunami mengguncang Jepang”. Ibarat, “Seorang pria berusia 60 tahun diselamatkan dari atap rumahnya yang terseret dan mengapung di laut” (KOMPAS 16 Maret 2011). Mereka bergulat untuk hidup. Situasi menjawab harapan mereka. Mereka mengalami penderitaan dan diselamatkan.

Mencari jawaban dengan berusaha. Ibarat “Shinkawa di kota Minami Soma, Prefektur Fukushima, Jepang yang terlihat melambai-lambaikan sepotong kain merah sambil berpegang erat pada reruntuhan rumahnya” (KOMPAS 16 Maret 2011). Ia berusaha mencari penyelamatan dari tim penyelamat. Jawaban bervariasi. Semuanya unik. Jawaban muncul dari pengalaman. Berusaha adalah pengalaman yang baik. *Semua gambar dari google images

Cempaka Putih, 26 Maret 2011
Gordy Afri
Powered by Blogger.