Halloween party ideas 2015


Sumber gambar di sini
Masih ingat dalam benak kita, sejak masa adven kemarin hingga perayaan Natal, kisah kelahiran Yesus Kristus. Dalam Injil diceritakan bahwa peristiwa itu dimulai ketika malaikat Gabriel bertemu gadis Galilea, Maria. Maria kelak akan menjadi Ibu Yesus. Malaikat itu membawa kabar yang mengejutkan, “Salam hai engkau yang terberkati, engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki….” Demikian kutipan teks ucapan malaikat Gabriel.
Jika kita perhatikan, malaikat Gabriel di sini berperan sebagai perantara Allah dan manusia. Dalam beberapa tradisi dan keyakinan, definisi ini diakui. Perantara di sini erat kaitan dengan pembawa kabar. Lewat malaikatlah Allah menyampaikan pesan kepada manusia.
Tentang malaikat, ada banyak pertanyaan tentang identitasnya. Kalau dia perantara, seperti apakah wujudnya? Dia bukan Allah dan bukan manusia. Lalu? Malaikat memang tidak masuk dalam kategori keduanya. Boleh dibilang malaikat itu unik. Keunikannya tampak dalam perannya. Sebagai pembawa kabar dari Allah, ia tentu berhubungan dengan Allah. Ia berkomunikasi dengan Allah. Kemudian, ketika bertemu manusia, ia berkomunikasi dengan bahasa manusia. Sampai di sini, kita bisa mengerti bahwa malaikat mengerti dua bahasa sekaligus, bahasa manusia dan bahasa Allah.
Lalu seperti apakah malaikat itu? Untuk memahaminya mesti perlu sumber bacaan banyak. Saya sendiri hanya membayangkan malaikat seperti interprestasi atas tulisan dalam Kitab Suci. Selain itu, buku Jostein Gaarder, bisa membantu kita memahami malaikat. Buku itu memang bukan buku ilmiah. Saya kira malaikat di luar kategori ilmu pengetahuan yang menekankan metode ilmiah. Oleh karena itu, seperti Jostein Gaarder, kita hanya membayangkan jasa, tanpa tahu dengan jelas seperti apakah malaikat itu.
Dalam buku ini, dipaparkan dialog manusia, Cecilia, dan malaikat Ariel. Dialog mereka seperti dialog antar-manusia. Bedanya, dialog itu terjadi pada malam hari, saat manusia tertidur. Dikisahkan bahwa, Cecilia sedang sakit. Dia selalu pamit kepada keluarganya untuk tidur. Keluarganya merelakan dia tidur. Saat itulah malaikat datang melalui celah-celah kecil di jendela, dan bertemu lalu berdialog dengan Cecilia.
Setahu saya, dalam buku ini dialog itu tidak pernah terjadi siang hari. Ketika mentari hampir naik, mereka berpisah. Dalam perbincangan itu, malaikat dan Cecilia membicarakan banyak hal termasuk alam raya ini. Juga membicarakan perbedaan manusia dan malaikat. Kalau manusia terdiri atas daging, malaikat tidak. Itulah sebabnya malaikat tidak mengenal tua-muda dalam hal fisik.
Ada perbedaan cara berpikir manusia dan malaikat. Manusia bisa lupa akan sesuatu sehingga membutuhkan waktu dan usaha untuk mengingatnya. Tidak demikian dengan malaikat yang meski lupa akan sesuatu, sesuatu itu akan datang dengan sendirinya. “Tapi, cara kami berpikir memang tak sama dengan manusia. Kami tak perlu ‘menimbang-nimbang’ untuk menemukan jawaban. Semua yang kami tahu dan semua yang bisa kami tahu, tampak di hadapan kesadaran kami secara serentak. Tuhan mengizinkan kami memahami sekeping amat kecil dari rahasia akbar-Nya, tetapi tidak semuanya. Jadi, kami harus diam tentang segala sesuatu yang tidak kami pahami.” (hlm. 137) Pengetahuan manusa bisa bertambah dan berkurang, sedangkan pengetahuan malaikat tetap saja.
  Jostein Gaarder, penulis Dunia Sophi dan beberapa buku  lainnya,  berhasil membuat dialog yang menarik untuk dibaca.  Dialog yang tidak sekadar dialog tetapi mempunyai pesan agar pembaca bisa memahmi perihal malaikat. Sebagai novel, buku ini bisa mengembangkan imajinasi pembaca. Sedangkan sebagai buku bacaan lain, buku ini bisa menambah wawasan untuk memahami malaikat. Meskipun pada akhirnya, kita manusia tidak memahami malaikat secara keseluruhan.  Yang jelas, malaikat berjasa untuk manusia yakni menyampaikan pesan Allah.
CPR, 30/12/2011
Gordi Afri
 Penulis: Jostein Gaarder
Judul: Cecilia & Malaikat Ariel, Kisah Indah Dialog Surga dan Bumi,  
Penerbit: Mizan, Bandung
Tahun terbit: 2008.

Hai...para pembaca sekalian, saya mohon maaf karena bulan Desember ini hanya ada 1 tulisan. Kalau kalian memperhatikan, biasanya saya membuat 4 tulisan. Praktisnya sekali seminggu. Namun, bulan ini tidak. Ada beberapa kendala, pertama saya terlalu sibuk pada bulan Desember ini. Alasan ini mungkin agak aneh. Toh, namanya penulis biasanya sesibuk apa pun selalu ada waktu untuk membuat tulisan. Entahlah, ada juga alasan lain yakni saya membuat tulisan untuk blog yang lain. Ada beberapa tulisan saya di situ. Kalau pembaca mau, silakan klik di sini, ada 2 tulisan tentang Natal tahun ini. Sisi Lain di Balik Perayaan Natal 2011 dan Beragam Versi Ucapan Selamat Natal tahun 2011

Sambil menunggu waktu pergantian tahun, saya berkomitmen untuk kembali ke kebiasaan semula, membuat tulisan setiap bulannya di blog ini. Apa pun kesibukannya, 4 tulisan mesti jadi. Tak lupa saya mengucapkan, Selamat Natal dan Tahun Baru untuk pembaca sekalian.

CPR, 29/12/2011
Gordi Afri


Sumber gambar di sini

Bulan Desember identik dengan masa adven. Masa penantian akan datangnya sesuatu. Penantian sama dengan menunggu. Kata “menunggu” biasanya punya kesan negatif di telinga kita. Di Jakarta, menunggu selalu menjadi rutinitas yang mau tak mau mesti dialami. Menunggu bis, menunggu kereta, menunggu angkot, menunggu teman, menunggu pesanan, dan sebagainya. Menunggu menjadi berkesan negatif ketika yang ditunggu itu tidak datang-datang. Apakah kita tahu, siapa yang kita tunggu di masa adven ini?

Saya mulai dengan cerita kecil. Setiap hari Sabtu, saya dan seorang teman mengajar anak-anak SD di Warakas, Jakarta Utara. Kami mengajar di rumah susteran. Koordinator kelas mengajar ini adalah para suster di sana. Kami hanya membantu sebagai pengajar. Para suster selalu menunggu kami setiap hari Sabtu. Seringkali, kami datang lebih awal, sebelum pelajaran dimulai. Memang pernah beberapa kali, kelas sudah mulai ketika kami masuk. Tak apa-apa, toh kehadiran kami masih diharapkan. Kami bisa mengisi kekosongan di kelompok yang digabung.

Suatu ketika, kami lupa memberi tahu suster kalau kami berhalangan. Kami mempunyai agenda pagi hari yakni mengungunjungi pesantern dan biara Budha di Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. Suster menunggu kami namun tidak muncul juga. Mereka akhirnya mengajar anak-anak dengan menggabungkan beberapa kelompok. Pengajar tak cukup. Kelas masih bisa berjalan dengan kekurangan tenaga pengajar.

Dari kisah kecil ini, kiranya kita tahu beberapa hal. Menunggu selalu diikuti harapan akan objek yang ditunggu. Harapan yang kuat menanamkan rasa percaya diri. Kita menunggu dengan sabar. Kita, rakyat Indonesia biasanya kurang dari sisi ini. Banyak masyarakat kecewa menunggu perubahan di bangsa ini.

Memang perubahan bukanlah hal mudah. Pemerintah dan jajarannya bekerja mewujudkan perubahan demi kebaikan bersama. Reformasi sebagai slogan bersama berjalan beberapa tahun, namun fakta yang ada belum banyak berubah. Kita kehilangan harapan. Lantas, tak ada lagi semangat untuk berubah. Padahal “hidup tanpa perubahan akan membosankan”.

Kita menunggu berarti kita tahu siapa yang datang. Dia yang datang itu menyemangati kita untuk sabar menunggumya. Kalau kita tidak tahu, belum pernah mendengarnya, bahkan tidak bisa membayangkannya, bisa jadi kita membodohi diri sendiri. Pernah menjemput tamu di bandara?

Saya dan beberapa teman pernah menjemput tamu yang belum pernah kami lihat. Meski demikian, kami sudah diberitahu tentang ciri-ciri orang tersebut. Kami pun berhasil menemuinya meski didahului dengan reka-rekaan.

Dalam masa adven ini, kiranya kita tidak menunggu sesuatu yang kosong. Kita tidak menunggu orang yang kita tidak kenal. Kita tahu siapa yang kita tunggu. Dialah Yesus Kristus sang Juru Selamat. Dari tahun ke tahun kita melewati masa ini. Masa seperti ini bisa jatuh dalam godaan seremonial belaka. Jika kita tidak bisa mengambil makna dari masa ini, kita hanya menjalankan ritual adven.

Kita semua dipanggil untuk mengisi masa ini dengan penuh harapan. Harapan yang besar akan datangnya Dia yang kita tunggu. Dalam masa penantian ini, kiranya kita menyiapkan segala sesuatu. Lihatlah keluarga muda yang menyiapkan pakaian bayi pada masa kehamilannya bertambah. Perlu persiapan panjang sehingga Yang Ditunggu akan diterima dengan baik. Yesus kiranya tidak membutuhkan pakaian fisik. Yesus juga kiranya tidak mengharapkan pakaian kita yang bagus saat menyambutnya. Yesus hanya ingin hati kita—yang adalah tempat kediaman-Nya—dipersiapkan dengan baik. Persiapan hati kiranya menjadi modal utama. Tentu saja kehidupan jasmani kita, sosial-ekonomi-keamanan mesti menjamin ketentraman hati kita. Akhirnya, kita pun tahu Yesus-lah yang kita tunggu. Sudah siapkah hati kita?

CPR, 13/12/2011
Gordi Afri
Powered by Blogger.