Halloween party ideas 2015



Menemani mungkin menjadi suasana yang membosankan bagi sebagian orang. Menemani teman/sahabat untuk rekreasi ke pantai misalnya. Bisa saja jadi bosan jika kita sudah melihat tempat itu untuk ke sekian kalinya. Ini wajar sebab manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang baru.

Saya pun mengalami kebosanan ketika menemani teman berkunjung ke Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Saya sudah 3 kali ke sana. Tahun 2005, juli 2012, dan agustus 2012. Begitu juga dengan Candi Prambanan di dekat Klaten, yang sudah 2 kali saya kunjungi, 2006 dan agustus 2012. Saya pun menjumpai beberapa orang yang sama, melihat pemandangan yang sama. Bosan. Tetapi saya harus menjalaninya.

Dalam pergumulan itulah saya menemukan hal baru. Menemani bukan sekadar melihat obyek yang sama, mengalami suasana yang sama. Saya mencoba mencari hal baru ketika melihat hal yang sama. Di Prambanan, saya menemukan seni berfoto dari sang fotografer. Dia mengajarkan teknik mengambil gambar untuk orang yang sedang melompat.

Dengan iming-iming menggunakan jasanya, dia beberapa kali mengajari teknik mengambil gambar. Saya dan teman saya pun mengubah gaya. Semuanya gaya melompat. Hasilnya bagus. Ini pelajaran baru bagi saya.

Di Prambanan, saya belajar gaya berfoto dari sahabat saya ini. Dia mengajarkan seni berfoto di mana kita seolah-olah yang paling besar di hadapan obyek yang kenyataannya lebih besar dari kita. Candi Prambanan misalnya bisa dipegang, ditunjuk dari atas, didudukan di atas telapak tangan. Semuanya ini adalah gaya berfoto.

Pada kesempatan lain saya juga menemani sahabat saya mengunjungi candi Hati Kudus Yesus dan gereja Katolik Ganjuran. Saya sudah 2 kali ke sana. Tahun 2006 dan agustus 2012. Bagi saya kunjungan kedua dan ketiga sudah membosankan. Kunjungan pertama adalah yang terindah dari semua kunjungan. Begitu prinsip saya.

Gereja yang baru saja direnovasi tahun 2009 ini ternyata tampak indah dibanding 7 tahun lalu sebelum gempa Yogya Mei tahun 2006 meluluhlantahkannya. Candi Hati Kudus juga menjadi tempat istimewa dalam kunhjungan kali ini. Saya bisa berdoa di dalam candi. Giliran dengan beberapa pengunjung lainnya.

Inilah indahnya seni menemani. Pekerjaan ini adalah pekerjaan pemandu wisata. Saya bukan pemandu wisata tetapi dengan kegiatan ini saya belajar hal baru, menjadi pemandu wisata.

Tak ada yang sia-sia ketika kita mencari hal baru dari obyek yang berkali-kali kita perhatikan.

PA, 16/8/2012
Gordi Afri


Apa jadinya jika cinta yang pernah mendebarkan bersemi lagi? Bukan tidak mungkin pasangan remaja yang mengalaminya akan bergembira. Mereka akan mengalami masa-masa romantis dalam hidup mereka. Masa yang pernah mereka alami, lalu berpisah, kemudian bersama lagi. Inilah salah satu keindahan dari cinta.

Cinta saya pun bersemi lagi. Bukan cinta dengan seorang cewek, seorang manusia. Meski cinta itu sering dipasangkan dengan lawan jenis. Cinta saya pada kota Yogyakarta. Inilah cinta pertama saya dengan kota di Pulau Jawa. Kota Pendidikan dan Budaya, begitu kata kakak-kakak kelas saya waktu itu.

Tujuh tahun lalu, 2005, saya jatuh cinta dengan kota ini. Bukan karena ada pertemuan sebelumnya tetapi karena saya mengenyam pendidikan tinggi (setelah tamat SMA) di kota ini. Saya pun mulai akrab dan lama-lama jatuh cinta dengan kota ini. Yogyakarta kala itu ibarat seorang gadis manis yang siap dipinang.

Kini, 10 Juli 2012, cinta saya bersemi lagi. Lima tahun berpisah tidak membuat kami lupa satu sama lain. 10 Agustus yang akan datang, 4 hari lagi, saya sudah memasuki 1 bulan tinggal kedua kalinya di kota ini. Saya mencintai kota ini. 

Dulu, saya belajar naik sepeda, mengendarai sepeda di jalan besar dan kecil serta lorong di kota ini. Saya belajar dan duduk di ruang kelas kuliah di kota ini. Saya belajar menjadi mahasiswa di kota ini. Belajar mengajar dan mendampingi anak-anak bina iman di kota ini. Belajar budaya Jawa, belajar budaya lain dari berbagai daerah di Indonesia ini. Di sinilah hati saya jatuh cinta dengan kota ini. Kota ini memberi saya kesempatan untuk mengenal lebih banyak orang, lebih banyak budaya, baik lokal Indonesia maupun manca negara, lebih banyak bahasa, lebih banyak karakter orang, lebih banyak jenis makanan.

Kini saya berada di kota ini bukan untuk belajar sepeda lagi tetapi belajar yang lain. Saya sudah bisa bersepeda, bersepeda motor bahkan menyetir mobil, bahkan mendapat pendidikan tinggi yang cukup. Kini di kota ini saya belajar menjadi manusia yang rendah hati, menerapkan semua ilmu yang didapat, belajar menjadi diri sendiri, menerima diri apa adanya di tengah berbagai situasi. Kata orang CINTA itu membutuhkan KERENDAHAN HATI. Maka, saya belajar untuk rendah hati di kota ini.

Hampir sebulan cinta lama bersemi kembali. Saya masih aman-aman saja, belum menghadapi situasi baru yang mirip saya alami dulu. Sebentar lagi, akhir Agustus saya mengalami situasi baru. Anggap saja keberadaan saya selama ini, Juli sampai Agustus sebagai persiapan juga adaptasi. Semoga semua indah pada waktunya. Dia yang di atas selalu menyertai saya kapan dan di mana saja. Maka, jangan takut.

Cinta lama bersemi kembali, kenangan lama diingat kembali, rencana baru terpampang di depan mata. Mari melangkah ke hari berikutnya.

PA, 6/8/2012
Gordi Afri

Jadikan pendeta sebagai panggilan dan jangan jadikan pendeta sebagai profesi atau pekerjaanmu
FOTO: Family Vacation


Demikian pesan Pendeta Markus F. Manuhutu dalam kata sambutan acara Ibadah Peneguhan untuk Adventino Ekaristi Priyonggo sebagai pendeta pada Minggu, 10/6/2012. Pendeta Markus adalah Ketua Majelis Sinode GPIB. Kata-kata ini bertuah. Wajar jika ini dijadikan bahan sambutan untuk pendeta muda dari pendeta tua yang banyak makan garam.

Pendeta sebagai panggilan berarti pendeta seumur hidup. Suka dan duka dijalani sebagai tugas pendeta. Di daerah terpencil banyak kekurangan jika dibandingkan fasilitas di kota. Di situlah pendeta ditantang untuk menjadikan aktivitas hariannya sebagai pendeta.

Sebaliknya pendeta sebagai pekerjaan/profesi berarti menghitung jam kerja. Layaknya seorang direktur perusahaan yang bekerja mulai pukul 9 pagi hingga 5 sore. Pekerjaannya dihitung dalam satuan waktu. Di luar jam itu ia bukan direktur lagi. Jika hitungan seperti ini diterapkan dalam kehidupan harian seorang pendeta, boleh jadi pekerjaannya akan gampang-gampang saja. Dia mencari yang mudah dilakukan, yang fasilitasnya lengkap. Di luar itu bukan pekerjaan pendeta.

Saya teringat kata-kata Romo Dr. Al Andang Binawan di STF Driyarkara saat kuliah Moral Keluarga. Dia mulai dengan bertanya, apa bedanya panggilan dan profesi? Apakah menjadi seorang ibu merupakan sebuah profesi? Kalau ya, maka, ibu itu tidak bisa melayani anak-anaknya dengan sepenuh hati. Lebih buruk lagi jika ia menghitung jumlah jam memasaknya atau jam mencucinya.

Menjadi seorang ibu berarti merasa diri dipanggil menjadi seorang ibu. Ibu bekerja tanpa kenal waktu. Bangun pagi tiap hari, menyusui anaknya, memasak, dan aktivitas lainnya, dilaksanakan tanpa menghitung. Inilah panggilan menjadi seorang ibu.

Betapa celakanya jika ibu menghitung pekerjaannya dari pagi sampai jam 12 siang. Setelahnya bukan pekerjaannya lagi. Dia tidak beda dengan pekerjaan seorang PNS yang masuk jam 7 dan pulang jam 1. Apa jadinya jika setelah masak malam, ibu bilang selesailah pekerjaanku. Ibu tidk seperti itu. Ibu-ibu di kampung seperti mama saya dulu, selesai makan malam, kami mencuci piring lalau setelah itu dia masih menyempatkan diri melatih kami membaca dan mengerjakan tugas. Terima kasih mama sayang jasamu besar buat kami anak-anakmu.

Jadi, hargailah setiap pekerjaan Anda, lihatlah itu sebagai panggilan dan bukan profesi belaka.

CPR, 9/7/2012
Gordi Afri
Powered by Blogger.