Halloween party ideas 2015


ilustrasi dari google
Banyak orang membedakan orang Katolik dan Kristen Protestan dari model Kitab Suci. Ini mendekati kebenaran. Orang protestan biasanya rajin membaca Kitab Suci. Tak heran jika Kitab Suci mereka agak kotor. Bukan karena berdebu. Tetapi karena sering digunakan. Sebaliknya Kitab Suci orang Katolik tampak dua model. Atau berdebu atau bersih sama sekali. Berdebu karena tidak atau jarang dibuka. Bersih karena jarang dibuka.

Tentu ini hanya perbedaan sepintas saja. Ada juga orang Katolik yang rajin membaca Kitab Suci. Meski mereka tidak memperlihatkan diri kepada yang lain. Demikian juga dengan saudari/a Kristen. Ada juga yang jarang membaca Kitab Suci.

Gereja Katolik Indonesia menjadikan bulan September sebagai bulan Kitab Suci. Maksudnya jelas, supaya orang Katolik memberi perhatian pada Kitab Suci dalam bulan ini. tak heran jikadi lingkungan, ada pertemuan untuk membahas Kitab Suci. Paling tidak dengan membaca lalu merenungkan bersama kemudian berbagi pengalaman (sharing).

Saya menjadikan bulan September setiap tahun sebagai bulan sejarah. Sejarah yang mengubah hidup saya. Saya bukan orang yang rajin membaca Kitab Suci. Tetapi saya sadar akan kemampuan saya. Tidak rajin tetapi tetap memberi pehatian.

Tahun 2011 yang lalu saya membeli Kitab Suci baru. Tepat pada bulan September. Maka, sekarang Kitab Suci yang saya gunakan berumur setahun. Sejak saat itu saya akrab dengan Kitab Suci. Tidak setiap saat tetapi saya membiasakan diri membaca setiap hari. Dengan ini saya mulai tertarik dengan kisah-kisah dalam Kitab Suci. Semoga ini menjadi awal untuk hidup sesuai ima Kristiani. Belajar dari kisah heroik para rasul dalam Kitab Suci.

Buku ini memang tidak untuk dipajang. Tidak dibiarkan berdebu. Buku ini untuk dibuka dan dibaca. Lebih bagus lagi kalau buku ini menjadi bagian dari hidup. Perilaku dan tutur kata mencerminkan perilaku orang-orang tersuci dalam Kitab Suci. Demikian sharing saya di bulan Kitab Suci ini. selamat membaca Kitab Suci.

PA, 25/9/2012
Gordi Afri


Gara-gara Tulisan Ini saya jadi bangga. Bangga lewat tulisan memang sudah biasa. Para penulis hebat sudah sering mengalami ini. Memang mereka menulis bukan untuk membanggakan. Tetapi kalau tulisan itu membuat mereka bangga, tidak ada salahnya.

Lebih bangga lagi karena saya yang menulis. Tulisan itu membuat saya bangga karena satu hal yakni berkenalan dengan banyak orang. Inilah yang terjadi dalam tulisan saya semalam, Perawat Lebih Mulia daripada Dokter (lihat postingan saya sebelumnya).

Sampai siang ini, ada 68 komentar. Saya dan pembaca lainnya ikut menyumbang komentar. Saya berkomentar untuk menanggapi komentar pembaca. Makanya, komentar jadi lebih banyak. Kalau saya tidak tanggap mungkin komentarnya tidak mencapai itu. Dengan saya berkomentar, pembaca pun membuat komentar balasan juga. Jadilah banyak komentar.

Saya tidak menyinggung terlalu banyak soal komentar ini. Yang menarik perhatian saya adalah tulisan saya itu, termasuk komentarnya, dikomentari oleh pakar-pakar handal dalam bidangnya. Saya menyebut dokter dan perawat dalam tulisan itu. Dalam komentar, muncullah perawat, Titin Rahmawati, dan juga dokter atau mungkin petugas medis lainnya seperti, Dokter Posma Siahaan, Mbak VennyVirdastryn, Indah Lestari.

Mereka ini saya anggap sebagai orang yang pakar dalam bidangnya. Komentar mereka pun membuat saya sebagai penulis artikel dan pembaca lainnya tercerahkan. Mereka berbicara dari fakta yang mereka alami. Ada juga beberapa komentator lain yang mencoba membeberkan fakta yang mereka alami di lapangan. Pengalaman bersinggungan, bertemu, berkonsultasi dengan tenaga perawat dan dokter pun terkuak. Inilah indahnya profesi yang membuat manusia merasa dekat, pasien dekat dengan dokter atau perawat yang membantu proses penyembuhan.

Saya bangga karena orang-orang pakar ini membaca tulisan saya. Saya ini orang biasa dan awam dalam bidang medis. Saya bangga orang pakar dalam bidang medis ikut memberi perhatian dan berbagi ilmu dengan saya dan pembaca lainnya lewat tulisan itu.

Terima kasih untuk teman-teman kompasioners yang sudah emmberi komentar pada tulisan saya semalam. Salam hangat untuk semuanya.

-------------------------------------
*dari postingan saya di kompasiana

PA, 9/9/2012

Gordi Afri

foto oleh Firdaus Usman
Tulisan ini terinspirasi oleh tulisan kompasioner (sebutan untuk anggota blog kompasiana), Titin Rahmawati, Persamaan Polisi dan Perawat. Di situ dia menyinggung juga soal profesi perawat yang ujung-ujungnya cuma jadi babu profesi tetangga. tetangga perawat adalah dokter. Jadi apakah perawat menjadi babu dokter?

Saya tidak mau ribut soal dokter dan perawat. Di mata masyarakat publik, dan kenyataannya, pendidikan dokter lebih lama daripada perawat. Lantas muncul prasangka, dokter lebih tinggi, lebih hebat dari perawat. Lalu, kenyataannya perawat memang hanya sebagai pembantu dokter saja.

Perawat biasanya menemani dokter ketika berkunjung ke pasien. Perawat juga biasanya menyediakan peralatan medis yang mungkin akan dipakai oleh dokter. Perawat juga menyediakan obat yang ditunjuk dokter. Bahkan sebelum operasi besar, peran perawat biasanya didahulukan. Mereka yang melakukan persiapan seperti menyiapkan kondisi pasien secara psikologis, mencukur rambut-rambut yang perlu dicukur, dan sebagainya.

Lantas, apakh dengan demikian, dokter lebih tinggi dari perawat?

Saya setuju, dari segi pendidikan, boleh jadi dokterlebih tinggi. Pandangan umum juga menempatkan posisi perawat lebih rendah daripada dokter.

Tetapi dari pengalaman saya, saya cenderung menilai bahwa perawat lebih mulia pelayananya ketimbang dokter. Mengapa demikian?

Sewaktu di rumah sakit dan menjadi pasien, saya sering berinteraksi dengan para perawat. Setiap saat apa yang saya perlukan selalu dibantu oleh perawat. Dengan perawat pula saya berdialog, menyampaikan keluhan sakit, mengantar ke kamar kecil jika penjaga tidak ada, meminta makanan dan obat, dan sebagainya. Karena sering berinteraksi, saya merasa dekat dengan perawat.

Dengan dokter, saya hanya berjumpa satu sampai dua kali saja. Beberapa pasien di ruang saya juga hampir sama. Hanya satu atau dua kali dikunjungi dokter.

Okelah saya tidak menyangkal kalau dokter itu sibuk. Bekerja di beberapa rumah sakit dan memiliki kesibukan lain. Saya tidak menyangkal ini. Orang hebat memang selalu dicari orang. Dokter memiliki pasien dalam jumlah besar dan tersebar di beberapa rumah sakit, misalnya.

Saya tetap menganggap para perawatlah yang paling berjasa dalam proses kesembuhan saya di rumah sakit. Dengan merekalah saya berinteraksi setiap hari. Memang dokterlah yang menentukan kapan saya sehat betul, kapan saya pulang, kapan saya minum obat A, dan sebagainya. Tetapi menurut saya, pelayanan seorang perawat lebih mulia ketimbang pelayanan seorang dokter.

Penilaian ini murni dari pengalaman sendiri ketika menjadi pasien di rumah sakit lebih dari sekali. Boleh jadi pengabdian dan pelayanan seorang dokter lebih mulia bagi masyarakat pedalaman nan terpencil ketimbang pelayanan seorang perawat. Tetapi saya tetap menganggap perawatlah yang lebih dulu emnangani pasien.

Semestinya penilaian tinggi-rendah profesi perawat dan dokter segera dihilangkan. Keduanya mesti sama dalam peran yang berbeda dan saling melengkapi. Terima kasih untuk para dokter dan perawat yang berjasa dalam hidup saya.

*dari postingan saya di kompasiana

PA, 8/9/2012
Gordi Afri

Powered by Blogger.