Halloween party ideas 2015



Santo Bonifasius adalah seorang martir. Ia lahir di Inggris tahun 672 M dan meninggal di Jerman 754 M. Ia meninggal sebagai martir. Dia diserang oleh sekelompok orang di sebuah perkemahan. Di perkemahan, Bonifasius hendak menerimakan sakramen kepada umat. Dia menunggu umatnya bersama rekan perkemahan. Rupanya di perkemahan ini dia diserang oleh orang tak dikenal.

Kisah Bonifasius ini diambil dari wikipedia. Dari kisah ini dapat diambil beberapa hikmah. Bonifasius adalah orang yang setia menunggu. Menunggu sudah lazim dianggap sebagai tindakan yang membosankan. Siapa yang tidak bosan menunggu. Itu karena yang ditunggu tidak datang-datang. Lain kalau yang ditunggu datang tepat waktu, menunggu menjadi saat-saat yang indah dan menyenangkan.

Bonifasius menunggu umatnya untuk menerimakan sakramen. Yang ditunggu belum datang tetapi tampaknya Bonifasius masih setia menunggu. Yang ditunggu digantikan oleh sekelompok orang yang menyerang Bonifasisu dan pengikutnya. Menunggu yang membawa maut.

Menunggu, bagi Bonifasius, kiranya bukan pekerjaan yang membosankan. Menunggu malah menjadi saat yang membahagiakan. Bahkan bisa membuat pembaruan. Bonifasius menunggu saat yang tepat untuk memotong sebuah pohon Ek raksasa yang disembah oleh sekelompok umat di Hesse (Jerman Barat). Pohon ini diyakini sebagai tempat bersemayam dewa Thor, dewa guntur dan perang.


Pohon Ek ini membuat orang Hess menyembah berhala. Penyembahan berhala menjadi sebuah kewajiban. Ada ancaman jika tidak menyembah. Dewa marah pada manusia. Bonifasius mendobrak model penyembahan ini. Ia memotong pohon Ek dan runtuh. Tidak ada hal luar biasa yang terjadi. Dewa tidak marah. Demikian dikisahkan dalam riwayat Santo Bonifasius.

Kesetiaan kiranya menjadi pegangan hidup Bonifasius. Ia setia pada imannya, menyembah Yesus, bukan menyembah berhala, menyembah pohon. Kesetiaan, baginya, kiranya menjadi kekuatan untuk membarui kehidupan iman umatnya. Kesetiaan dibutuhkan oleh orang beriman.

PA, 5/6/13
Gordi







Manusia adalah makhluk perantara. Bukan seperti perantara antara manusia dan Tuhan yakni Yesus. Tetapi, makhluk perantara yang artinya berada di antara. Manusia bukan saja Kaisar yang berkuasa tetapi juga Tuhan yang juga berkuasa. Manusia memang berkuasa seperti Tuhan dan Kaisar tetapi manusia juga bisa berada di antar kuasa.

Manusia perantara inilah yang kini marak di dunia modern. Kata-kata sang guru, berikan pada kaisar yang menjadi hak kaisar. Sebaliknya, berikan pada Tuhan yang menjadi hak Tuhan. Manusia dihadapkan dengan dua pilihan ini. Seperti pertanyaan sang penjebak, manakah yang diperbolehkan? Pertanyaan ini betul-betul menjebak. Dan, manusia pun sering terjebak. Pilih kaisar atau Tuhan?

Pilih kaisar berarti lupa akan Tuhan. Dia menyembah kaisar dan tidak menyembah Tuhan. Tokoh agama kalah pamor dengan tokoh kaisar. Penguasa duniawi lebih berkuasa daripada penguasa surgawi. Pilih Tuhan berari lupa kaisar. Padahal kekuasaan kaisar nyata di dunia ini.

Karena pertanyaan menjebak, manusia juga ikut terjebak. Ada yang terjebak dalam kuasa Tuhan sampai lupa sesama. Ada juga yang terjebak dalam kuasa kaisar sampai lupa Tuhan yang mencintai dan mencipta. Manusia kini berada dalam jebakan itu. Jebakan itu membuat manusia tidak menyembah Tuhan dan tidak menyembah kaisar. Manusia berada di antara. Antara Tuhan dan kaisar.

Jawabn bijak kiranya menjadi pegangan. Dan siapa yang berpegang di sini tidak akan berat sebelah. Jawaban itu membawa manusia pada rasa nyaman. Manusia nyaman memerhatikan yang manusiawi (kaisar) dan nyaman pula memerhatikan yang surgawi (Tuhan). Manusia mencintai sesama dan Tuhan.

Inilah manusia ideal yang bisa menghadapi pertanyaan sang penjebak. Manusia terjebak tetapi bisa menjebak penjebak. Manusia punya kuasa seperti pertanyaan penjebak yang menggiring manusia pada pilihan menyembah dua penguasa.

Pilih mana kita sekarang? Kita berada di antara. Saat tertentu kita memang mesti memilih Tuhan dan saat lainnya kita memilih kaisar. Bukan menyembah keduanya. Lebih baik menyembah Tuhan saja. Tetapi jangan lupa memerhatikan yang duniawi di mana kita hidup. Itulah persembahan untuk kaisar. Untuk Tuhan kita menyembah, untuk kaisar kita memerhatikan.***

PA, 4/6/13
Gordi

semua gambar dari google

ilustrasi di sini
Semua orang ingin hidup enak. Makanan terjamin, pakaian tersedia, pekerjaan tetap terjamin. Keenakan ini pun menjadi tujuan hidup setiap orang. Semua ingin mencapai itu. Sayangnya tidak semua berusaha mencapainya dengan jalan yang baik.

Ada yang dengan jalan pintas. Hidup enak di atas penderitaan orang lain. Hidup enak di atas usaha orang lain. Hidup enak itu tampak tidak enak lagi karena cara mencapainya. Tetapi yang merasakannya seolah-olah buta dengan usaha orang lain.

Kecenderungan untuk hidup enak dengan jalan pintas bermunculan. Korupsi, adalah satu di antara sekian jalan pintas itu. Korupsi membuat seseorang menikmati hidup enak. Dia bisa menikmati hidup enak dalam berbagai bentuk. Hiburan yang berlebihan, pakaian mewah semerbak, makanan enak, bahkan layanan seksual untuk melampiaskan nafsu seksnya, dan bentuk lainnya. Di balik itu, ada sekian orang yang menderita.
Mereka menderita karena jatahnya diambil untuk foya-foya si pengambil jalan pintas ini.

Sudah banyak yang mengecam hidup serba enak seperti ini. Bukan karena iri hati. Hidup enak itu tidak solider dengan orang lain yang tidak bisa menikmati hidup serupa. Jadi, masih nyamankah kamu hidup di atas rumah mewah sementara yang lain hidup di atas gubuk derita? Demikian jeritan sebagian orang. Tetapi, namanya menjerit, hanya bisa didengar. Sebagian membiarkan jeritan itu menjerit, tak peduli. Siapa peduli dengan hidup menderita? Semua ingin hidup mewah.

Ironisnya manusia di sini. Hidup enak seolah-olah menjadi capaian yang harus diraih. Padahal hidup pas-pasan juga tidak apa-apa. Asal tidak menderita sampai merasa sakit. Kalau cukup untuk makanan, pakaian, dan rumah, itu sudah cukup. Kalau bisa lebih dengan berusaha, itu lebih bagus lagi. Hidup seperti ini lebih pas dibanding hidup mewah yang diperoleh dengan jalan pintas. Jalan pintas yang penuh trik-tipu daya.

Kiranya semua setuju, hidup enak tidak menjamin hidup bahagia. Kebahagaiaan hidup tampak juga dalam hidup sederhana. Hidup sederhana tidak menghalangi manusia untuk merasakan kebahagaian hidup. Justru dalam kesederhanaan ada kebahagiaan.

PA, 1/6/13
Gordi






Powered by Blogger.