Halloween party ideas 2015

Ratu dan raja. Itulah kata yang terdengar pagi ini saat bangun. Kata itu muncul dari perbincangan di radio. Entah sedang ada renungan pagi atau perbincangan lainnya. Hanya terdengar kata ratu. Langsung di telinga. Ratu juga raja menjadi rebutan. Direbut karena ada kekuasaan di dalamnya. Ratu juga raja memang punya kuasa. Kuasa yang selayaknya untuk mengatur bawahannya. Tetapi kuasa ini bukan untuk mengatur semaunya saja. Mengatur demi kebaikan dan kenyamanan bersama.

Ratu dan raja bagi diri sendiri juga berguna. Sebab, dengan itu seseorang bisa mengontrol dirinya sendiri. Tetapi mengontrol tidak dimaksudkan untuk menutup mata terhadap masukan orang lain. Saya mengatur diri sendiri dan berhak terhadap semua keputusan yang diamil. Tetapi, saya juga berhak untuk mendengarkan masukan dari sesama. Sebab saya hidup bersama dan selalu bersinggungan dengan sesama.

Ratu dan raja yang diidentikkan dengan “yang berkuasa” tampak dalam diri pemimpin. Semua pemimpin adalah ratu dan raja. Tetapi ada ratu dan raja yang memang benar-benar berkuasa demi kebaikan bersama. Ada juga ratu dan raja yang benar-benar berkuasa sesuai keinginanannya tanpa memedulikan kebaikan bersama. Kiranya dia ini mesti menjadi ratu dan raja bagi dirinya sendiri terlebih dulu sebelum menjadi ratu dan raja bagi yang lainnya. Sebab ratu dan raja adalah figur publik yang selalu bersinggungan dengan publik luas.

Ratu dan raja untuk diri sendiri bisa dikembangkan menjadi ratu dan raja bagi yang lain. Ratu dan raja dalam dua kategori ini punya kesamaan yakni berkuasa. Tinggal saja kuasa itu ditempatkan pada posisi yang tepat. Jika tidak kuasa itu akan ‘menguasai’ orang banyak, kuasa itu menuntut pengorbanan, kuasa itu mubazir. Tentu kuasa tidak boleh jadi mubazir sebab kuasa itu menyangkut kehidupan orang banyak. Iseng-iseng, asah otak pagi ini. Selamat pagi.

Jakarta, 22/8/2013

Gordi

Saya tak tahu mulai dari mana lagi. Dari sini saja saat saya membuka tulisan. Sebab, agak sulit memulai menulis satu tema setelah sekian lama berlibur dari kompasiana. Saya hanya ingin menulis sedikit untuk merangsang semangat menulis. 

Saya juga menulis untuk teman yang tetap mengontak saya saat liburan. Dia mengirim pesan sapaan. Pesan yang tak terduga datangnya tetapi bisa diduga reaksi saya senang. Untuk teman ini saya mengucapkan terima kasih. Namanya dirahasiakan saja. Yang jelas saya senang dan bahagia disapa seperti ini.

Saya juga menulis supaya saya tetap nyaman di kompasiana. Sebab, sebelumnya saya nyaman berselancar di sini. Sebulan lebih menjauh dari K dan kini kembali lagi. Saya ingin kenyamana selama ini kembali saya rasakan.

Ini saja dulu tulisan saya. Singkat dan seperti tulisan penulis pemula. Memang saya baru menulis lagi. Rasanya lain setelah lama tidak menulis. Semoga saya tetap biasa menulis dan tidak merasa canggung.

Salam-selamat bertemu kembali buat teman-teman semua.

Jakarta, 19/8/13

Gordi



ilustrasi dari cbeckdkeeeebkddk.blogspot.com
Iman sebesar atau tepatnya sekecil biji sesawi bisa memindahkan gunung. Biji itu, menurut cerita orang yang pernah melihatnya secara langsung, amat kecil. Biji sesawi mungkin menjadi biji yang paling kecil dari segala jenis biji buah dan sayur. Dan, justru iman yang digambarkan seukuran biji itu mempunyai daya kekuatan yang besar. Dayanya bisa memindahkan gunung. Demikian dikatakan Yesus kepada muridnya.

Berarti iman, betapa pun digambarkan kecil, mempunyai daya yang besar. Iman yang bahasa lainnya adalah keyakinan. Yakin akan apa yang diimani. Yakin total dengan apa yang dipercayai. Maka, modal iman adalah kepercayaan. Saya beriman jika saya percaya. Saya beriman jika saya yakin total akan apa yang saya imani.

Tetapi benarkan iman itu ada dalam kenyatannya? Maksudnya, bagaimana jika iman itu diwujudnyatakan dalam kondisi real? Benarkah jika saya punya iman seukuran biji sesawi bisa memindahkan gunung? Benarkah saya bisa? Benarkah kenyatannya demikian?

Tentu ini menjadi perkara rumit. Sebab, sulit membuat alat buktinya. Saya percaya total pun tetap tak bisa dibuktikan. Saya juga tidak yakin, apakah kepercayaan saya itu total atau hanya setengah-setengah. Sebab, kepercayaan juga bisa menjadi situasional. Jika itu menguntungkan saya percaya. Jika tidak saya abaikan.

Tetapi Sabda itu perlu diwartakan agar saya percaya pada kekuatan di luar diri saya. Saya percaya atau menaruh harapan pada Dia yang punya kuasa. Sabda serupa bisa ditemukan dalam rumusan lain dalam buku Kitab Suci. Sabda ini termasuk Sabda Paradoksal. Sabda yang melampaui pemikiran. Seperti mengubah batu menjadi roti. Ini termasuk kenyataan yang luar biasa. Kalau menjadi nyata. Jika tidak, sabda ini hanya obrolan saja.

Maka, Sabda ini bukanlah bicara kenyataan. Tetapi bicara soal iman. Iman yang berarti percaya. Percaya pada apa yang diimani. Saya mengimani Yesus maka saya percaya pada Yesus. Menaruh harapan pada-Nya. (Tulisan Sebelumnya)

Jakarta, 8/7/13
Gordi
Powered by Blogger.