Halloween party ideas 2015

Beberapa di antara mereka adalah anak didikan Padre Corda SX
Niat saya ingin mendengar suara Padre Corda. Niat itu muncul bulan Agustus 2014 yang lalu. Saat itu, saya mendengar Padre Corda pindah dari Yogyakarta ke Padang. Sebelum sampai di Padang, singgah di Jakarta. Saya ingin meneleponnya di Jakarta. Sayang, tak jadi. Dia sedang berobat dan hanya bisa ditelepon pada waktu tertentu saja. Saya tidak berhasil menemukan waktu yang pas. Saya juga mencobanya ketika dia sudah di Padang. Niat saya tetap ada. Beberapa kali saya mendengar kabar tentangnya dari teman di Padang. Sayang sampai akhir hidupnya, saya tidak jadi meneleponnya. Niat itu tinggal kenangan.

Saya memang ingin mendengar suaranya. Suara yang saya dengar sejak mengenalnya tahun 2005 yang lalu. Setahun kami lalui bersama di kota pendidikan dan kota budaya, Yogyakarta. Setiap hari mendengar suaranya di kelas, di gereja, di halaman, di kebun, di ruang TV, di jalan, dan sebagainya. Dialah pendidik saya dan sayalah didikannya.

Tahun 2012 hingga pertengahan 2013, saya kembali ke Yogyakarta. Bekerja bersamanya lagi. Saya senang bisa mendengar suaranya. Suara yang dulu saya anggap sebagai suara sang guru, sang pendidik, kini menjadi suara sang rekan kerja, suara sang rekan pendidik. Tetapi, dalam hal ini saya selalu ingin menjadikan suara itu sebagai suara orang yang mendidik saya. Saya memang ingin terus menerima didikannya.

Suaranya kadang tegas, rileks, keras, dan bahkan bisa menusuk jantung psikologis. Ya, suara pendidik memang kadang-kadang seperti itu. Maklum, menjadi pendidik tidaklah mudah. Menjadi pendidik berarti memberikan segala tenaga untuk mendidik anak didikan. Saya salut dengan suara Padre Corda yang selalu menggema ketika anak-anak didikannya menyeleweng, main-main, kurang serius belajar, bekerja semaunya saja. Dalam hal ini, suara Padre Corda adalah suara yang mengikuti tangan dan kakinya.

Dengan kaki dan tangan dia memberi  petunjuk kepada anak didik. Kalau toh, tidak paham, dia mengeluarkan suara didikan. Sebab, suaranya itu mendidik. Betapapun keras nadanya, maksudnya jelas, ajakan untuk mau dididik. Suaranya juga mengajarkan. Sebab, dia tidak saja mengkritik kelalaian anak didiknya tetapi juga mengajarkan agar anak didiknya menjadi baik.

Terima kasih Padre Corda.
Suaramu adalah seruan pendidikan. Suaramu adalah ajakan untuk mau dididik.
Suaramu adalah ajaran.
Suaramu adalah teladan.
Suaramu adalah ingatan.


Prm, 7/2/15
Gordi

Padre Corda SX
Setiap hari saya mendengar berita. Dalam negeri dan luar negeri. Ketika pagi hari mengecek email, saya sudah bisa menengok berita, dalam negeri, Italia dan luar negeri Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Italia. Kadang-kadang dalam bahasa Prancis, Spanyol, dan Portugis versi Brasil. Namun, untuk menyimak lebih dalam, saya lebih cenderung menengok dalam tiga bahasa pertama. Tiga bahasa lainnya hanya sepintas lalu. Toh, saya tidak memahami bahasa-bahasa tersebut. Tetapi, maklum tinggal bersama-sama, jadilah saya juga ikut melihat berita tersebut.

Email gmail, ymail, dan yahoo saya sudah cukup untuk membawa informasi. Dari ketiganya juga, saya bisa berhubungan dengan dunia lainnya, sebab ketiganya saya hubungkan dengan koran dan majalah internasional seperti Vatican.va, BBC, the Guardian, UCANews, kompas.com, dan sebagainya. Sudah banyak berita yang saya terima dari media-media ini. Berita-berita itu datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Berita yang menyenangkan, menyedihkan, membakar semangat, memunculkan rasa haru, dan sebagainya. Berita-berita itu meninggalkan kesan dan pesan tersendiri buat saya.

Berita hari ini, Jumat, 30 Januari 2015 justru berita yang mengejutkan. Saya terkejut membacanya. Langsung seketika juga ikut berduka, sedih sekali. Padahal, sebelumnya, saya senang sekali. Saya baru saja menyelesaikan ujian lisan di kampus dan hasilnya bagus. Pulang ke rumah dengan perasaan senang dan bangga. Saya lalu mengecek facebook. Dari situlah saya mendapatkan berita mengejutkan ini. Padre Corda, SX meninggal dunia.

Berita meninggalnya padre ini ditulis dengan beragam status teman-teman di facebook. Saya menyimak beberapa di antaranya. Banyak kesan, ingatan, kenangan, perasaan terharu, ada di sana. Ada juga yang mengupload foto-foto tentangnya, tentang kebersamaan dengannya, tentang bekerja dengannya, tentang perjalanan dengannya. Begitu panjang jika didaftarkan. Intinya berita-berita tersebut muncul sebagai tanggapan atas berita yang mengejutkan tadi.

Berita meninggalnya padre Italia ini seperti berita meninggalnya kakak kandung saya pada bulan Oktober tahun 2008 yang lalu. Rasa sedih saya bertambah besar waktu itu. Dan, saat ini juga rasa itu muncul lagi. Sekali lagi, saya sedih sekali mendengar berita itu. Berita yang mengejutkan sekaligus menyedihkan. Saya membagikan rasa sedih saya ini dengan teman-teman mantan murid-murid Padre Corda di kota Parma ini. Kami sama-sama sedih mendengar berita ini.

Berita sedih ini menjadi bertambah karena di Parma ini, tadi malam, meninggal seorang padre lainnya, Padre Battista Mondin, SX. Filsuf dan Teolog ternama di Italia. Dia menjadi satu di antara sekian ahli filsafat Santo Thomas Aquinas di Italia. Penelitian dan karya-karyanya menjadi rujukan banyak pakar filsafat dan teologi di seluruh dunia. Tentangya juga saya mempunyai kenangan. Memang, beberapa kali saya bersapa dengannya setelah dia pindah ke kota Parma pada 2013 yang lalu. Selain, itu saya mengenalnya sejak di Jakarta, melalui bukunya tentang Filsafat Abad Pertengahan dan Filsafat Manusia. Salamat jalan untuk kedua padre saveriani ini.

Mereka meninggalkan banyak kenangan untuk kami.
Hanya kenangan itulah yang kami ingat.
Kenangan itu ditulis dalam ingatan kami.
Kami mengingatkan kembali kebersamaan dengan mereka.
Itulah mereka yang mendahului kami.
Selamat jalan ya padre.


Prm, 7/2/15
Gordi


gambar dari abc.net.au
Pilihan untuk berpihak pada kaum miskin adalah salah satu program kerja atau misi Paus Fransiskus. Pilihan ini tidak mudah. Bayangkan saja, di seluruh dunia, jumlah penduduk miskin lebih banyak dari penduduk yang kaya. Di Indonesia, sudah jelas, yang miskin lebih besar dari yang kaya. Jurangnya bertambah dalam karena sebagian besar kekayaan negara menjadi milik beberapa orang kaya. Meski sulit, Paus Fransiskus dalam kepemimpinannya selama dua tahun, sudah membuktikan bahwa dia mampu berpihak pada kaum miskin.

Tiga belas Maret 2013 adalah tanggal bersejarah bagi dunia umumnya dan bagi Gereja Katolik khususnya. Hari ini terpilih pemimpin Gereja Katolik yang baru-menggantikan Paus emeritus Benediktus XVI-yakni Paus Fransiskus. Sejak saat itu, Paus asal Argentina ini mengganti nama kepemimpinannya. Dia memilih nama Fransiskus. Nama yang erat kaitannya dengan semangat kemiskinan. Fransiskus yang dimaksud adalah putra kelaurga kaya di kota Asisi, Italia. Dia kaya tetapi memilih untuk hidup miskin.

Paus Fransiskus kiranya tidak salah memilih. Dia juga memilih nama ini setelah mendengar bisikan teman kardinalnya. “Jangan lupa kaum miskin,” demikian bisikan temannya. Fransiskus ingat, kaum miskin adalah perhatian besar bagi Fransiskus dari Asisi. Maka, dia pun memilih nama itu sebagai nama kepemimpinanannya.

Kepemimpinan Paus Fransiskus memang unik. Keunikannya terletak pada pilihannya untuk memerhatikan kaum miskin. Baginya, perhatian ini mesti dimulai dari diri sendiri. Kelak, misi pribadinya ini menjadi misi bersama, misi Gereja Katolik pada umumnya. Dia pun memulainya dari hari pertama masa kepausannya. Dia memilih untuk tinggal di apartemen di luar rumah Vatikan. Dia meninggalkan kamar yang boleh dibilang nyaman dan mewah di dalam kompleks Vatikan. Ini hanya salah satu contoh atau bukti nyata pilihannya.

Kalau dirunut ke belakang, pilihan Paus yang bernama asli Jorge Mario Bergoglio ini, sudah dimulai di Argentina kala dia menjabat sebagai uskup dan kardinal di sana. Dia memilih untuk tinggal di apartemen, membayar sendiri uang koran dan telepon, menumpang bis umum kala mengunjungi umatnya, dan sebagainya. Hal-hal kecil ini dia bawa sampai ke Roma saat dia menjabat sebagai paus. Di kompleks Vatikan, misalnya, dia memberi salam kepada para uskup dan pastor serta karyawan di Vatikan. Dia juga mengunjungi para permasak di dapur sebelum menyantap hidangan siang. Konon, peraturan protokol Vatikan amat ketat. Semuanya di atur. Bahkan, untuk naik lift saja, ada ajudan yang membukakan pintu. Paus Fransiskus meminta para pasukan keamanan Vatikan untuk membiarkannya membuka sendiri pintu lift. “Kamu pergi mengerjakan pekerjaan lain. Yang ini bisa saya kerjakan,” katanya suatu ketika kepada seorang ajudan dari Swiss Guard.

Pilihan Paus Fransiskus tidak saja berhenti di dalam tempat tinggal dan kantor kerjanya. Dia juga tetap membawa pilihannya ini kemana pun dia pergi. Di kota Roma, misalnya, dia mengunjungi kaum pinggiran yang nota bene adalah kaum imigran yang datang mencari kerja di Italia. Bahkan, imigran yang telantar di Pulau Lampedusa (dekat Italia bagian Selatan) pun dia jemput. Dialah yang menggugah hati pejabat Italia untuk pergi memerhatikan para imigran yang kadang-kadang menderita sebelum mendarat di Italia. Paus Fransiskus tahu betul betapa menderitanya kaum imigran ini baik dalam perjalanan dengan perahu menuju Italia maupun setelah mereka mendarat dan mencari pekerjaan di Italia.

Dalam bidang relasi dengan komunitas agama lain, Paus Fransiskus juga adalah ujung tombaknya. Dia mengunjungi Turki dan Yerusalem. Di sana, dia bertemu para pemimpin dari komunitas Muslim, Yahudi, dan Ortodoks. Dia masuk dan berdoa di masjid, sinagoga, dan gereja ortodoks. Perbedaan keyakinan bagi Paus Fransiskus bukanlah penghalang untuk tinggal dan hidup bersama. Dia bukan saja mengunjungi para pemimpin agama lain, Paus Fransiskus juga menawarkan rumahnya (Vatikan) untuk berdialog, berbicara, berdoa, mencari solusi atas masalah Israel-Palestina. Saat itulah dunia bergaung mendengar suara umatnya berdoa. Suara solat bergaung dari Vatikan. Demikian juga dengan suara dari komunitas Yahudi yang juga berdoa di Vatikan.

Paus Fransiskus di Asia
Paus Fransiskus menaruh perhatiannya juga untuk bangsa-bangsa Asia. Itulah sebabnya dia tak segan-segan untuk mengunjungi Asia dua kali dalam dua tahun masa kepausannya ini. Korea, Srilangka, dan Filipina adalah tiga negara yang dia kunjungi. Di Srilangka, dia bertemu dengan para pemimpin dari komunitas Hindu dan Budha. Di Filipina, dia bertemu dengan para korban badai.

Saat itulah, dia merealisasikan misinya untuk memerhatikan kaum miskin. Miskin bukan saja materi tetapi juga semangat hidup. Bagi Paus Fransiskus, kita tidak bisa tinggal bersama dengan damai dan nyaman, jika di antara kita masih ada yang merasa kurang semangat. Kendurnya semangat ini disebabkan berbagai latar belakang. Boleh jadi ekonomi, juga hubungan dengan komunitas lain, atau juga situasi yang dikondisikan dari pemerintah di suatu negara. Situasi seperti ini menjadi perhatian Paus Fransiskus. Itulah sebabnya, dia tidak mau membatalkan niatnya untuk mengunjungi orang-orang Filipina. Pada hari yang sama, di Filipina turun hujan dan angin kencang. Paus tidak menjadikan ini sebagai alasan untuk tidak mengunjungi para korban. Dia justru mengenakan mantel plastik seperti yang dipakai para korban pada umumnya, dan bersama mereka berdoa di sana. Ini adalah tanda kecil, bagaimana seorang pemimpin mau turun dan terlibat dalam situasi masyarakatnya.

Tindakan ini mungkin kecil tetapi bagi rakyat Filipina, tindakan Paus ini justru menyentuh hati mereka. “Kehadiran Paus membuat kehidupan saya berubah. Saya menemukan kembali semangat yang baru untuk terus menjalani hidup ini,” demikian komentar seorang rakyat Filipina dalam kunjungan paus ini.

Para pemimpin di dunia juga di Indonesia kiranya perlu menarik pelajaran penting dari gaya kepemimpinan Paus Fransiskus. Perhatian terhadap kaum miskin kiranya mesti menjadi perhatian kita semua. Hari-hari ini di negeri kita, rakyat kecil menjerit. Keluhan karena naiknya harga listrik, BBM, sembako, dan sebagainya adalah keluhan rakyat kecil. Keluhan ini menjadi tanda bahwa rakyat kecil membutuhkan perhatian dari pemimpin. Siapa peduli, dialah yang tidak melupakan kaum miskin ini. Keluhan mereka sebenarnya bukanlah keluhan anak kecil yang merengek dan minta diperhatikan oleh ibunya. Bukan. Keluhan mereka adalah tanda bahwa mereka sedang menghadapi kesulitan. Itu berarti bahwa pemimpin mesti peka dan segera memberi mereka bantuan secukupnya. Jika tidak, rakyat kecil akan menderita.

Kita yakin pemimpin kita di Indonesia ini bisa memerhatikan kaum miskin yang jumlahnya mayoritas. Yakin pula bahwa para pemimpin kitas masih punya hati untuk menjawab keluhan rakyat kecil.

Salamat ulang tahun kedua-sebagai paus-kepada Paus Fransiskus di Roma-Vatikan, Italia.

PRM, 12/3/2015
Gordi


Powered by Blogger.