Halloween party ideas 2015

Dalam Keheningan Kami Mengenang-Nya

Paus Fransiskus mencium kaki, foto, dongiorgio.it
Dalam keheningan kami mengenangnya. Mengenang perjamuan malam terakhir Yesus bersama para murid. Boleh dibilang, inilah makan malam terakhir mereka. Makan malam yang menjadi tanda bahwa Dia akan pergi dari mereka. Dia yang selama ini bersama mereka, kini akan berangkat. Berangkat di sini bukan berarti dia tidak kembali. Dia akan kembali pada waktunya. Dia sama sekali tidak melepas begitu saja para muridnya. Dia tetap akan bersama mereka.

Keberangkatannya ini menjadi kenangan pilu. Mau berangkat saja kok pilu. Ya memang demikian. Seorang muridnya menjual Dia. Namun, jangan berhenti dulu pada tindakan muridnya. Simak dulu tindakan Dia yang kami kenang malam ini. Dia mencuci kaki murid-muridnya lalu menciumnya. Inilah yang menjadi tanda agungnya perayaan Kamis Putih ini. Dan, di Roma Paus Fransiskus membuatnya di penjara, di kota Roma. Di situ, dia membersihkan kaki para tahanan lalu menciumnya. Bukan saja tahanan Katolik tetapi juga tahanan dari agama lainnya. Tindakan ini memang tidak memiliki sekat agama.

Demikian juga yang dibuat pastor paroki kami. Dia mencuci dan mencium kaki beberapa orang di antara kami. Bukan kaki saya tentunya karena saya sudah membuatnya tahun lalu. Dua di antara mereka adalah orang Muslim asal Afganistan. Ada orang Afrika, Eropa, dan Amerika Latin. Sementara di Santuario Conforti, ada perwakilan dari para pastor di rumah induk, perwakilan orang awam, dan semua mahasiswa baru Xaverian yang sedang belajar bahasa.

Di Paroki Santa Cristina, kami membuatnya dalam keheningan. Dan, dalam keheningan itu juga, kami mengingat 150  mahasiswa Kristen di Kenya yang dibunuh oleh kelompok Muslim dari Mali. Maka, beberapa peristiwa ini menjadi pusat perhatian kami malam ini dalam perayaan Misa Kamis Putih, misa yang dimulai pukul 21.

Banyak orang hadir dalam misa ini. Kami mengira hanya sedikit saja. Rupanya tidak. Banyak orang Katolik rupanya mengingat peristiwa ini. Di meja altar, kami menyiapkan satu roti besar. Roti yang menjadi lambang tubuh Yesus sendiri. Namun, roti yang ini tidak dimaksudkan untuk melambangkan tubuh Yesus. Roti itu dimaksudkan sebagai roti yang Yesus pecah-pecah dan bagi-bagikan pada para murid-Nya. Roti itu juga kini dibagikan pada kami, umat Kristiani zaman ini. Roti itu memang benar-benar kami bagikan. Tentu bukan dari roti besar itu. Tetapi, dari roti yang juga kami sediakan sebanyak mungkin di pintu masuk gereja. Jadi, saat pulang, kami boleh mengambil satu atau dua potong roti yang disedikan itu. Yesus membagikan roti itu pada para murid-Nya, dan kami membagikan roti yang kami sediakan untuk para hadirin dalam Misa Kamis Putih ini.

Roti itu seperti bekal bagi kami. Besok, kami akan mengenang peristiwa wafatnya Yesus Kristus. Dalam kenangan itu, kami akan berkabung. Dan, dalam perkabungan itu, kami berpuasa. Dalam puasa, roti itulah bekal kami. Sampai jumpa di tulisan berikutnya tentang Perayaan Jumat Agung 2015 di kota Parma.

Parma, 2 April 2015

MENGANGKAT DAUN PERDAMAIAN DI MINGGU PALMA

foto, DOMENICA DELLE PALME,  angeloscola.it 
Perayaan Minggu Palma di kota Parma tahun ini merupakan kali kedua. Kali pertama terjadi tahun lalu. Semoga kali ketiga juga masih di Parma. Tentu beda dengan perayaan di Indonesia. Di Jakarta, Yogyakarta, Labuan Bajo, apalagi di rumah saya. Perayaannya boleh beda tapi intinya sama yakni mengenang kembali peristiwa Yesus masuk kota Yerusalem. Di sana dia dielu-elukan sebagai raja. Meski, pada akhirnya dia ditolak karena tidak menampilkan sosok raja seperti yang diharapkan. Penduduk Yerusalem mengharapkan raja duniawi yang punya kuasa. Yesus tidak memiliki kuasa duniawi. Kuasanya datang dari Bapa-Nya. 

Gara-gara kuasa ini, Yesus tidak saja ditolak, tapi juga dibenci, disiksa, disuruh memikul salib sampai menderita, dan akhirnya meninggal. Kuasa seperti diharapkan penduduk Yerusalem itu juga yang menjadi harapan umat manusia zaman ini. Bahkan, kami yang mengikuti perayaan ini juga tidak luput dari angan-angan dan godaan mengejar kuasa seperti ini. Gara-gara kuasa ini juga, bahkan, kami juga ingin menguasai dunia, menguasai yang lain, menguasai agama, menguasai status sosial, menguasai negara lain, menguasai kelompok lain.

Meski kami tak luput dari godaan kuasa duniawi ini, masih ada di antara kami yang ingin menaklukkan kuasa ini. Kami lebih besar dari kuasa itu. Kami bisa menang melawan godaan kuasa itu. Kemenangan ini kami nyatakan dalam partisipasi dalam perayaan Minggu Palma hari ini.

Di antara kami ada anak-anak 8-10 tahun, remaja, dewasa, tetua, bahkan ada juga bayi. Ini berarti bahwa kuasa ini sebenarnya bisa ditaklukkan. Kuasa ini sebenarnya tidak kuat-kuat banget. Kuasa ini masih bisa direm agar kami sendiri menguasai kuasa yang menaklukkan kami. Kuasa ini memang ada dalam setiap orang. Orang dewasa, tetua, bahkan orang muda. Kuasa yang bisa masuk dalam hati dan pikiran siapa saja yang bisa berpikir dan beriba hati. Meski merasuk hati dan pikiran, kuasa ini sebenarnya bisa ditaklukkan. Itulah sebabnya kami mengenang peristiwa pemuliaan ini.

Peristiwa ini dikenang menurut peristiwa aslinya di Yerusalem. Di mulai dengan perarakan yang menggambarkan Yesus masuk kota Yerusalem. Disaksikan banyak orang yang memuliakan-Nya. Kami juga berarak dari Gereja Santo Antonius. Melewati kantor pos, singgah sebentar di Gereja Santa Maria Magdala yang sekarang sudah diserahkan kepada penganut Agama Katolik Ortodoks ritus Yunani. Dari situ, kami berjalan terus menuju Gereja Santa Cristina.

Kali ini, Yesus juga dielu-elukan oleh mereka yang melihatnya. Yesus yang dulu adalah Yesus dengan tubuh fisiknya. Yesus yang berjalan bersama kami hari ini adalah Yesus yang disalib. Kami membawa salib Yesus itu. Dan, banyak orang melihat Yesus yang kami bawa ini sebagai figur yang patut dimuliakan. Mereka langsung membuat tanda salib begitu melihatnya. Tanda salib itu menjadi tanda memuliakan Yesus. Dari balkon rumah, dari jendela kamar, jendela rumah, dan sebagainya. Bagi mereka, Yesus itulah figur yang harus mereka hormati. Lepas dari Yesus itu berfisik nyata seperti dulu, Yesus bagi mereka kiranya bukan saja terbatas pada tubuh fisiknya tetapi juga pada rapresentasinya dalam salib itu.

Di gereja sudah banyak yang menunggu. Polisi yang mengantar dan mengatur jalannya prosesi atau perarakan ini melepas kami sampai di pintu masuk gereja. Di dalam gereja, kami melanjutkan perayaan ekaristi. Saya dan dua teman (1 orang Italia, dan 1 orang Prancis) membacakan Injil yang mengisahkan penderitaan Yesus. Sebelumnya, di gereja Santo Antonius, saya membaca Injil. Umat mendengar dengan penuh hikmat bacaan ini. Bagi mereka, bacaan itu juga menjadi salah satu bagian penting dalam perayaan Minggu Palma ini.

Bukan saja bacaan itu yang penting. Orang Italia mempunyai tradisi yang kuat mengenai minggu palma. Daun palma bagi mereka daun zaitun atau l’olivo. Daun menjadi simbol perdamaian dalam budaya Italia. Simbol ini menjadi tanda bahwa orang Italia suka berdamai. Ini harapannya meski kadang-kadang kenyataan berkata lain. Tentu bagi umat Katolik Italia, datang ke gereja pada Minggu Palma menjadi ritual penting. Mereka membawa daun palma ke rumah dengan harapan membawa perdamaian bagi kehidupan mereka sekeluarga. Inilah yang unik dari perayaan Minggu Palma tahun 2015 ini.

Cerita ini akan berlanjut dengan cerita hari Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci dan Minggu Palma.

Parma, 3 April 2015
Gordi


JALAN SALIB DI ALUN-ALUN KOTA PARMA

foto, VIA CRUCIS AVENZA, www.lanazione.it
JALAN SALIB bersama Uskup Keuskupan Parma, Mgr Enrico Solmi. Jalan salib ini diorganisir oleh organisasi keuskupan, Caritas dan kelompok imigran. Itulah sebabnya ada anggota dari kelompok Caritas dan juga dari kelompok imigran. Ada juga para jurnalis dari majalah mingguan Keuskupan Parma Vita Nuova. Ada juga kelompok para mahasiswa dari Kamerun yang sedang kuliah di kota Parma. Ada kelompok religius di kota Parma.



Jalan salib ini menjadi unik karena dibuat di sepanjang jalan dari kantor Caritas sampai gereja katedral kota Parma. Dua polisi mengawal kegiatan ini. Dari Caritas melewati beberapa ruas jalan besar dan kecil di kota Parma. Melewati beberapa gereja juga. Bukan saja gereja, bahkan juga melewati jalan utama kota Parma. Selain itu, juga melewati salah satu pusat kota Parma yakni Piazza Garibaldi.

Jalan salib memang lazimnya dibuat dalam gereja. Tapi, kali ini kami membuatnya di sepanjang jalan. Bukan dengan drama—seperti tablo—di Indonesia, tetapi dengan cara yang biasa. Ada pembacaan kutipan Kitab Suci, renungan, dan doa. Saya membaca salah satu kutipan Injil di perhentian ke lima.

Jalan salib ini menjadi tanda bagi masyarakat sekitar bahwa Yesus hadir di tengah mereka. Lebih dari tanda, jalan salib ini juga menjadi kehadiran nyata Yesus. Di beberapa tempat, banyak orang datang, mendekati kami.

Di beberapa tempat lain, mereka menjulurkan kepalanya dari jendela rumah, dan memotret kami, lalu membuat tanda salib. Di beberapa tempat lagi, di bar, mereka berhenti berteriak dan menyaksikan kami. Mereka yang tadinya bernyanyi berhenti sejenak dan mengarahkan pandangan ke kami. Demikian juga mereka yang sedang berpesta dan bernyanyi di alun-alun kota. Mereka berhenti dan ikut bersama kami merenungkan salah satu perhentian. Kami merenungkan salah satu perhentian di tempat itu.

foto, VIA CRUCIS AVENZA, www.lanazione.it/
Macam-macam tanda muncul dalam perjalanan kami ini. Tanda yang kiranya menjadi sarana untuk mengingat dan bahkan bila perlu menuju Dia yang menderita. Dia yang dulu menderita kini ikut dalam kehidupan kami. Menarik menyimak komentar beberapa teman, bagaimana mungkin Dia hadir dalam penderitaan kita, jika kita terus menerus menderita?

Saya menjawab lugas saja. Dia memang hadir bukan menghilangkan penderitaan tetapi memberi kita kekuatan dalam penderitaan. Ini prinsipku. Dan saya yakin ini. Entah ada yang kurang puas dengan ini. Tidak ada paksaan untuk mengiakan jawaban ini.

Yesus juga tidak memaksa manusia untuk mengikutinya. Dia hanya menawarkan untuk mengikutinya. Jika kalian mau, mari dan lihatlah. Begitu katanya. Maka, jalan salib yang kami buat ini juga hanyalah sebuah tawaran. Jika ada yang tertarik, mari dan ikutilah kami dalam jalan salib ini.

Meski hanya tawaran, orang-orang di Parma menghormati jalannya kegiatan ini. Paling tidak untuk mereka yang ada di bar di pinggir jalan, di restoran di pinggir jalan, bahkan di alun-alun kota yang ramai. Di depan ada polisi, jadi tidak ada yang mengganggu. Bahkan, bis-bis kota pun berhenti. Demikian pengguna jalan lainnya ketika kami lewat. Mereka tidak protes tetapi menghormati. Yang Katolik, Kristen, Muslim, dan sebagainya semuanya menghormati jalannya kegiatan ini.

Tiba di katedral, kami mendengar homili singkat dari bapa uskup. Dia berterima kasih kepada kami semua yang ikut ambil bagian dalam kegiatan ini. Tidak banyak, sekitar 100-an lebih. Setelahnya, kami kembali ke rumah masing-masing. Saya pulang jalan kaki, bersama seorang teman, penduduk kota Parma. Rumahnya kebetulan dekat dengan rumah kami. Melewati alun-alun ramai di kota Parma.

Terima kasih untuk kenangan indah ini.

PRM, 28 Maret 2015
Gordi
Powered by Blogger.