Halloween party ideas 2015

ANGELUS POPE FRANCIS
Saint Peter's Square
Second Sunday of Lent, 21 February 2016



Dear Brothers and Sisters, Good morning!
The second Sunday of Lent presents us the Gospel of Jesus’ Transfiguration.
The apostolic visit that I made to Mexico some days ago was an experience of transfiguration for all of us. How so? Because the Lord has shown us the light of his glory through the body of the Church, of his holy people that live in this land. It is a body so often wounded, a people so often oppressed, scorned, violated in its dignity. Therefore the various encounters we experienced in Mexico were truly full of light: the light of a faith that transfigures faces and illumines our path.

The spiritual “centre of gravity” of my pilgrimage was the Shrine of Our Lady of Guadalupe. To remain in silence before the image of the Mother was my principal aim. I thank God that he gave me this opportunity. I contemplated and I allowed myself to be gazed upon by she who carries imprinted in her eyes the gaze of all her children, gathering up the sorrows caused by violence, kidnapping, assassinations, the violence against so many poor people, against so many women. Guadalupe is the most visited Marian shrine in the world. From all over the Americas, people go to pray where la Virgen Morenita appeared to the Indian, St Juan Diego, which set in motion the evangelization of the continent and its new civilization, a fruit of the encounter between diverse cultures.

This is precisely the inheritance that the Lord has entrusted to Mexico: to care for the richness of diversity, and at the same time, to manifest the harmony of a common faith, a sincere and robust faith, accompanied by a great force of vitality and humanity. Like my predecessors, I also went to confirm the Mexican people in their faith, and at the same time to be confirmed. My hands are full of this gift so that it goes out as a benefit to the universal Church.

A luminous example of what I am saying was given by families: the Mexican families received me with joy as a messenger of Christ, pastor of the whole Church. At the same time, they presented to me strong and clear testimonies, testimonies of a living faith, a faith that transfigures life, and this to edify all of the Christian families of the world. The same can be said about the youth, the consecrated, the priests, the workers, the imprisoned.

Thus I give thanks to the Lord and to the Virgin of Guadalupe for the gift of this pilgrimage. I also thank the President of Mexico and the other civil authorities for their warm welcome. I deeply thank my brothers in the episcopate and all of the people who collaborated in various ways.

We raise up special praise to the Most Holy Trinity for having wanted on this occasion to bring about in Cuba the encounter between the Pope and the Patriarch of Moscow and All Russia, our dear brother Kirill. It was an encounter also much desired by my predecessors. This event is also a prophetic light of resurrection, which the world today needs more than ever. May the Holy Mother of God continue to guide us on the path of friendship and unity. Let us pray to the Virgin of Kazan, of whom Patriarch Kirill gave me an icon.

After the Angelus:
Dear brothers and sisters, tomorrow in Rome begins an international conference entitled “For a World Without the Death Penalty,” sponsored by the Sant’Egidio Community. I hope that this conference might give new strength to efforts to abolish the death penalty. A spreading opposition to the death penalty, even as an instrument of legitimate social defence, has developed in public opinion, and this is a sign of hope. In fact, modern societies have the ability to effectively control crime without definitively taking away a criminal’s chance to redeem himself. The issue lies in the context of a perspective on a criminal justice system that is ever more conformed to the dignity of man and God’s design for man and for society. And also a criminal justice system open to the hope of reintegration in society. The commandment “thou shall not kill” has absolute value and pertains to the innocent as well as the guilty.

The Extraordinary Jubilee of Mercy is a propitious occasion to promote in the world a growing maturity for ways to respect life and the dignity of each person. Because even a criminal has the inviolable right to life, a gift of God. I appeal to the consciences of leaders, that they come to an international consensus aimed at abolishing the death penalty. And to those among them who are Catholic, may they carry out an act of courage, giving an example that the death penalty not be applied in this Holy Year of Mercy.

All Christians and men and women of good will are called today to work towards abolishing the death penalty, as well as improving prison conditions, in respect of human dignity and of those people deprived of freedom.

Lent is an opportune time to travel a path of conversion that has mercy at its centre. Because of this, I’ve decided to give to those who are here in the square some “spiritual medicine” called “Misericordina”. We did this once before, but this one is better, it is “Misericordina-Plus”: a little box that has a rosary ring and a little image of the Merciful Jesus. Volunteers, including the poor, the homeless, refugees and also religious, will now distribute them. Receive this gift as a spiritual aid to spread pardon and fraternity, especially in this Year of Mercy.

I wish all of you a good Sunday, and please don’t forget to pray for me. Have a good lunch, and arrivederci!


© Copyright - Libreria Editrice Vaticana

KEGEMBIRAANKU SELAMA 29 TAHUN
tiup lilinnya

Umur saya genap 29 tahun. Umur yang masih muda sekali menurut ukuran orang Italia. Memang, fisik saya kelihatan muda. Masih anak remaja, komentar beberapa orang. Padahal di Indonesia, umur 29 tahun sudah digolongkan matang. Bukan lagi anak remaja tetapi sudah dewasa sekali bahkan bisa bertanggung jawab dan diserahi tanggung jawab.

Saya tidak mempersoalkan komentar orang tersebut. Mereka memang berhak untuk berkomentar atas saya. Tetapi, saya selalu gembira merayakan hari kelahiran saya. Demikian juga dengan umur 29 tahun. Hitung-hitung tinggal 1 tahun lagi genap 30 tahun. Saya membayangkan akan terjadi sesuatu yang lebih istimewa di hari ulang tahun yang ke-30 itu. Tanpa menunggu umur 30, sebenarnya, pada umur 29 ini saja sudah ada kegembiraan itu. Ya, hari ini saya gembira sekali merayakan hari istimewa ini bersama teman-teman.

Seperti biasa, teman-teman di Indonesia sudah mengirim terlebih dahulu ucapan SELAMAT ULANG TAHUN pada saya melalui facebook. Mereka memang lebih dahulu 6-8 jam ketimbang kami di Italia. Perbedaan waktulah yang membuat semua ini misalnya dengan WIT beda 8 jam, WITA 7 jam dan WIB 6 jam. Ucapan lain muncul menurut waktu Italia. Tentu dari teman-teman saya di Italia. Yang uniknya lagi, ucapan yang ada lebih banyak dari tahun lalu. Tahun ini hampir 200-an ucapan. Dihitung dengan mereka yang mengirim lewat pesan inbox facebook yang jumlahnya hampir 20-an. Tambah dengan mereka yang menulis di dinding facebook sekitar 180-an. Panjang sekali daftarnya. Lebih panjang lagi karena ucapannya datang hingga tanggal 19 Februari. Dari 15 sampai 19, 4 hari.

Kegembiraan ulang tahun ini rupanya tidak boleh lama-lama. Hanya 2 hari saja. Tanggal 15 dan 16. Tanggal 16 malam, saya harus masuk dalam kesedihan lagi. Sayang sekali padahal belum sempat telepon ke rumah. Tanggal 16 sampai 20 saya terbaring di tempat tidur. Saya kena influenza yang kebetulan sedang mewabah di Parma dan sekitarnya. Kesannya menjadi lain. Saya langsung memberi label, hari ulang tahun yang membawa sakit. Saya tidak mau menyebutnya sial sebab belum tentu ini sial. Saya justru menggunakan waktu ini untuk bergumul dengan diri saya sendiri dan dengan Tuhan. Setiap hari saya berdoa rosario lebih dari 2-3 kali. Saya ingin menyatukan penderitaan ini dengan penderitaan Tuhan. Apalagi saya merasa dekat sekali dengan Tuhan dalam hari-hari penantian ini. Banyak teman datang ke kamar, menjenguk saya. Ada yang membantu mengantar makanan dan minuman, ada yang sekadar menayankan keadaan saya, ada juga yang datang bercanda. Ada pula yang tidak sempat datang karena sibuk. Saya membiarkan kamar saya tertutup tetapi tidak terkunci 24 jam seperti biasa. Tak heran jika ada yang datang pada malam hari saat saya tidur. Saya tahu mereka begitu baik pada saya. Saya melihat Tuhan lewat mereka yang datang dan hadir di depan saya. Sungguh ini bukan lompatan iman. Ini adalah cara saya memaknai sakit saya selama beberapa hari ini.


Suhu tubuh naik turun, batuk keras, kepala pusing, tidak ada nafsu makan, tulang punggung dan bagian belakang terasa sakit. Inilah gejala yang saya alami pada malam pertama. Sampai-sampai saya tidak bisa tidur nyenyak. Tidak nyaman pokoknya. Untunglah saya lewatkan malam ini. Pagi hari, saya menelepon teman saya agar jangan menunggu saya ke sekolah. Saya sakit, kata saya, kalian pergi saja. Tidak lama kemudian datang seorang teman ke kamar membawa sarapan. Dia membawa juga kegembiraan pada saya. Katanya, ada dokter Gildo. Saya dan dia berharap agar dokter ini datang menemui saya atau minimal melihat keadaan saya. Harapan kami terkabulkan. Dokter Gildo satang.

“Sakit kepala, panas?” tanyanya pada saya. Dia datang dengan Pastor Alfio SX yang mengetuk pintu kamar saya.
“Ya dok. Lalu, bagian belakang juga rasanya sakit, tidak nyaman untuk tidur,” sambung saya.
“Semuanya saya sudah mengerti. Ini influenza. Di luar sana sedang berjangkit influenza. Minum paracetamol dan tidur,” balasnya tegas.

Setelahnya, mereka keluar dan saya minum obat paracetamol yang diantar oleh Pastor Alfio ke kamar saya. Hari-hari berikutnya saya lalui di dalam kamar sampai Sabtu 20 Februari. Hari Sabtu saya ikut doa pagi. Rencananya mau ke sekolah tetapi rupanya belum kuat. Saya pun tinggal dan istirahat di kamar. Tidak bisa beraktivitas di luar. Daripada tidur terus, saya membaca buku.

Rupanya butuh waktu lama untuk memulihkan keadaan ini. Dari Sabtu yang lalu itu, hari ini baru saya bisa menulis kenangan indah ini. Butuh waktu 1 minggu. Totalnya dari sakit sampai sekarang 2 minggu. Hari ini, batuk kering masih ada, panas sudah hilang, flu juga hilang. Entah sampai kapan batuk kering ini. Semoga cepat sembuh.

Hari Minggu yang lalu saya sudah telepon ke rumah. Bapak ibu dan adik-adik sehat. Saya gembira mendengar keadaan mereka baik-baik begini. Kegembiraan yang dicampur dengan kesedihan. Saya dengan sedih menyampaikan pada Mama bahwa saya baru saja sembuh dari sakit dan sedang sakit kecil-kecilan juga. Mama yang sebelumnya senang dan mengucapkan selamat ulang tahun pada saya langsung berubah nada suaranya. Tetapi saya meyakinkannya bahwa saya sudah sembuh. Dia kemudian membalasnya dengan nada suara gembira seperti sebelumnya. Rupanya mereka sedang merayakan ulang tahun dari adik saya paling kecil. Jadi, tidak apa-apalah saya ikut gembira bersama mereka.

Saya berterima kasih pada Tuhan atas pengalaman indah di hari ulang tahun ke-29 ini. Meski sakit setelahnya, saya tetap mengucapkan terima kasih pada Dia dan juga pada teman-teman. Sungguh Tuhan Yesus dan teman-teman hadir bersama saya dalam sakit saya selama hampir 2 minggu ini. Saya memang tidak banyak beraktivitas. Saya banyak diamnya. Dalam diam saya memikirkan teman-teman saya yang membantu saya. Saya memikirkan Tuhan Yesus yang begitu baik mengirim teman-teman ini untuk membantu saya. Makanya saya juga ingin menjalin relasi yang dekat dengan Tuhan. Satu-satunya doa yang bisa saya panjatkan selama sakit adalah doa rosario. Maka, saya mendaraskannya sambil tidur atau kadang-kadang duduk, dari 2-3 kali atau lebih dalam sehari. Rasa-rasanya saya berdialog langsung dengan Tuhan dalam doa tersebut. Terima kasih Tuhan.

PARMA, 27/2/2016

Gordi

LASCIAMOCI CONVERTIRE DAL SIGNORE
Letture di Domenica 28 febbraio 2016, C/II Es 3, 1-8a.13-15; salmo 102 (103); 1Cor 10, 1-6.10-12: Lc 13, 1-9
 
conversione di san paolo, FOTO: qui
Leggendo il brano del vangelo di questa domenica, mi sono fermato sulla parola convertirsi. Semplicemente una parola che significa cambiarsi. Abbiamo letto nel brano come Gesù ci mostra questa conversione. Interessante. Quindi, il fine è conversione. Gesù ci da anche il momento speciale per convertirci. Nella chiesa c’è almeno 40 giorni durante la quaresima. Ovvio che c’è sempre i momenti fuori di questo ma come la chiesa in generale ha questi 40 giorni. Ovvio anche che chi ha bisogna di momento speciale lo può farlo ogni momento, quando vuoi. È bello no, la chiesa ci da questa possibilità.

Vedendo la mia vita quotidiana, mi rendo che è molto difficile da praticare questa parola ‘convertirsi’. Ho fatto varie volte la promessa con Dio sia in una cosa piccola sia grande. A volte sono riuscito a cambiarmi, ma a volte è difficilissimo anche se solo una piccola cosa. Per me non basta avere 40 giorni perché so che non è sufficiente. Quindi, convertirsi per me anzi che per 40 giorni è di più, per tutta la vita. La conversione che possiamo fare è la conversione quotidiana. Sulla qualità della conversione è un pò difficile anche da misurare. Perciò direi che alla fine la conversione per me è un momento speciale di lasciarmi guidare dal Signore, lasciarmi toccare dalla sua misericordia e dal suo amore.

Buona domenica


Gordi
Powered by Blogger.