Banyak orang
melirik ibu kota, Jakarta, sebagai lahan mencari keuntungan. Memang semua orang
tahu Jakarta punya banyak uang. Jakarta sumber uang. Tak dipungkiri sebagian
besar orang Indonesia berorientasi ke Jakarta. Dari politikus, artis,
pengusaha, pengajar, pekerja kasar, sampai pengemis.
Apakah ini
salah? Tidak! Ini realitas. Di Jakarta segala-galanya ada. Asal ada uang kamu
bisa hidup di Jakarta. Tidak ada uang jangan harap kamu dapat makanan. Kecuali
kalau Anda mau merampas, mencuri, mengancam orang, menjadi preman, dan
sebagainya. Singkatnya, Anda berusaha mendapatkan uang tanpa bekerja
sebagaimana mestinya. Dengan itu Anda mendapat uang. Dan, Anda dapat jatah
makan.
Namanya
“mencari” uang dengan cara halal. Gampang! Meski itu melanggar hak orang lain.
Bahkan hak untuk hidup dari manusia. Semua ini justru ada di Jakarta. Jakarta
punya banyak uang. Tetapi Jakarta juga punya banyak pencopet uang. Jakarta
punya banyak pengusaha. Tetapi Jakarta juga punya banyak preman yang setiap
saat bisa menjadi raja keicl-kecilan.
Jakarta juga
identik dengan BANJIR. Dan, ini yang paling repot. Banjir datang saat Jakarta
Hujan. Musim hujan berarti musim banjir. Tetapi Jakarta tak hujan pun, BANJIR
itu tetap ada. Ya… Bogor hujan, Jakarta bisa-bisa banjir. Ini yang repot juga.
Tak ada hujan kok tiba-tiba banjir. Mau bagaimana lagi. Jakarta kan menerima
air dari Bogor. Jakarta juga tidak mempunyai daerah resapan yang luas.
Tanah-tanah di Jakarta sebagian besar ditutup semen, besi beton, dan tembok.
Air susah masuk dan meresap kalau berhadapan dengan tiga jenis benda ini.
Inisiatif
berdatangan dari berbagai kalangan. Pemerintah daerah, pemerhati tata kota,
arsitek, kelompok peduli lingkungan, dan tentu saja warga Jakarta untuk
memperbaiki wajah Jakarta khususnya masalah banjir. Namun, sampai saat ini
belum berjalan maksimal sehingga warga (sebagian) masih mengalami banjir.
Mengubah Jakarta dari wajah BANJIR memang bukan pekerjaan mudah. Mesti ada
usaha keras semua pihak. Boleh dikatakan yang paling berperan dalam usaha ini
semestinya adalah warga Jakarta sendiri. Kalau mau mengubah sitausi semrawut di
sekitar sungai Ciliwung dan Pasanggrahan misalnya, warga sendiri yang mestinya
terlibat.
Rakyat memang
yang paling berperan. Selain jumlahnya besar juga karena rakyat sendiri yang
mengalami secara langsung. Kalau banjir rakyat yang terkena dampaknya. Banjir
kemarin justru membuat rakyat kecil menderita. Kios warga kebanjiran. Sementara
mol besar tidak terkena banjir. Semoga pemerhati Jakarta terus menerus berusaha
memoles wajah Jakarta yang banjir. Kelak Jakarta terbebas dari banjir. Ciliwung
dan Pasanggrahan kelak jadi sungai yang asri dan bersih.
PA, 24/11/2012
GA
*Tulisan ini
pernah dimuat di blog kompasiana kolom URBAN-LIFESTYLE pada 24 November
Post a Comment