foto oleh Gallery TNP2K |
Coba bayangkan, luas negara Indonesia yang
diperkirakan 1.919.440 km2, dan merupakan negara dengan luas
terbesar ke-15 di dunia (data dari http://truesize.blogspot.com). Dalam lagu
diringkas menjadi “Dari Sabang sampai Merauke”. Dari Sabang, kota di ujung
Barat sampai Merauke, kota di ujung Timur. Bahasa Indonesia menjadi jembatan
untuk menghubungkan manusia Indonesia dari berbagai pulau. Dalam hal ini bahasa
Indonesia sangat berjasa.
Di tengah gempuran berbagai bahasa daerah
dan bahasa asing, bahasa Indonesia tetap menjadi sarana komunikasi yang paling
ampuh. Di Flores, NTT, tempat saya mengenyam pendidikan dasar dan menengah,
Bahasa Indonesia sangat berjasa. Di sekolah, kami dibiasakan menggunakan bahasa
Indonesia. Untuk komunikasi lisan kami menggunakan bahasa ibu, bahasa daerah. Sedangkan
untuk bahasa tulis wajib menggunakan bahasa nasional. Mau tidak mau dan harus
berusaha. Buku pelajaran semuanya ditulis dalam bahasa Indonesia. Saya dengan
susah payah mempelajari bahasa ini mengingat di rumah dan lingkungan, saya
menggunakan bahasa daerah.
Memasuki usia sekolah menengah, saya
sempat khawatir, bagaimana saya bisa memahami bahasa Indonesia dari
teman-teman. Saya pun giat mempelajari bahasa ini. Komunikasi lisan dengan
bahasa Indonesia mulai aktif ketika SMP. Kebetulan ada beberapa teman yang
pindah dari kota kabupaten dan mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam
pergaulan sehari-hari. Saya pun sering berkomunikasi dengan teman-teman ini
dengan tujuan bahasa Indonesia saja lancar.
Di SMU, saya sudah tidak khawatir lagi
karena bahasa Indonesia saya sudah bagus. Bahasa lisan, yang tidak sesuai
dengan standar baku, juga sudah lancar. Bahasa tulis sesuai standar baku sudah
bagus. Dengan bahasa Indonesia dalam dua ragam (lisan dan tulisan) ini saya
bisa menikuti pelajaran dan bergaul dengan teman-teman siswa.
Ketika selesai SMA dan keluar dari Flores,
penggunaan bahasa Indonesia ini semakin sering. Keluar dari Flores dan memasuki
daerah NTB, Lombok, saya berkomunikasi dengan teman-teman dari Lombok. Beda
bahasa daerah, beda suku, beda kebiasaan, di dalam kapal laut jadi satu. Kami
berinteraksi dengan bahasa Indonesia. Saya bayangkan kalau saya belum bisa
berbahasa Indonesia, saya hanya diam saja di dalam kapal itu. Tetapi nenek
moyang bangsa ini sudah memikirkan semuanya supaya kami anak cucunya bisa
berinteraksi satu sama lain dengan mewarisi bahasa Indonesia.
Berjalan lagi hingga tiba di Bali, saya
berbincang-bincang dengan teman di Bali. Kami bisa berinteraksi karena bisa
berbahasa Indonesia. Tentu kami berbahsa sesuai kebiasaan kami. Tak jarang
beberapa kalimat harus diperjelas. Ini terjadi karena keterbatasan kami mencari
kata yang tepat dan juga karena sering mencampuradukkan kata bahasa Indonesia
dengan bahasa daerah. Tetapi ini kekurangan kecil karena kami toh pada akhirnya
bisa memahami pembicaraan satu sama lain.
Berjalan lagi dan tiba di Pulau Jawa,
mulai dari kota Yogyakarta hingga Jakarta. Saya bertemu banyak orang, Jawa dan
luar Jawa. Bertemu orang Toraja, Sulawesi Selatan, orang Menado, orang Medan,
Batak, Palembang, Kalimantan, Irian, Timor, Padang, Maluku, dan beberapa daerah
lainnya. Kami bisa berkomunikasi satu sama lain.
Saya merasa bangga mempunyai bahasa
Indonesia. Saya merasakan betul, kekuatan bahasa Indonesia sebagai perekat
kesatuan bangsa dan jembatan berkomunikasi. Andai saya tidak bisa berbahasa
Indonesia, alangkah sedihnya hati ini karena tidak bisa berkomunikasi dengan
teman-teman dari daerah lain.
Dengan bahasa Indonesia saya mengenal
berbagai budaya bangsa ini. Berbincang-bincang dengan orang Sulawesi,
membicarakan tentang budaya Toraja. Saya jadi tahu betapa uniknya budaya pesta
adat orang Toraja yang mengorbankan lebih dari seekor kerbau. Satu kali upacara
adat memerlukan 5-6 ekor kerbau. Ini hanya contoh bagaimana kekuatan bahasa
Indonesia dalam merekat persatuan bangsa.
Saya bangga mempunyai bahasa Indonesia. Di
Yogyakarta, saya bergaul dengan orang-orang Jawa. Banyak di antara mereka yang
fasih berbahasa Jawa. Mula-mula saya canggung berkomuniaksi dengan mereka.
Betapa kurang enak, hanya mereka sendiri yang memahami pembicaraan itu. Tetapi
lama-lama saya mencoba menyapa dngan bahasa nasional, bahasa Indonesia, mereka
pun sadar dan mulai menggunakan bahasa Indonesia. Ini cerita kaum muda.
Kaum tua juga punya cerita unik. Saya
pernah tinggal di daerah Boro, Kulonprogo. Di sana banyak orang menggunakan
bahasa Jawa. Kata mereka, kalau mau belajar bahasa Jawa, datanglah ke sini. Memang benar, beberapa orang asing datang ke sana
untuk belajar bahasa Jawa. Saya pun sempat memepelajari belasan kata bahasa Jawa
bersama masyarakat di sana.
Saya berjalan keliling kompleks dan
bertemu kakek dan nenek yang pulang dari kebun, juga orang-orang di pasar.
Mereka berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Begitu mereka tahu, saya tidak bisa
berbahasa Jawa, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Ada beberapa yang masih
kaku mengucapkan kata bahasa Indonesia tetapi kalau saya omong mereka bisa
mengerti. Beberapa kakek dan nenek yang sering berjumpa dengan saya sedikit
demi sedikit menyapa dengan bahasa Indonesia.
Ini luar biasa. Gara-gara saya kakek dan
nenek itu juga berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memang mempunyai kekuatan
yang bisa menembus sekat budaya, bahasa daerah, suku, dan sekat-sekat sosial
lainnya. Saya bangga mempunyai bahasa Indonesia. Kendati tidak semua orang
menggunakan bahasa ini dalam pergaulan sehari-hari saya amat bangga bisa
berbahasa Indonesia.
Agak aneh ketika ada sebagian rakyat
Indonesia tidak bangga berbahasa Indonesia. Padahal bahasa indonesia mempunyai
kekuatan yang luar biasa dalam memersatukan rakyat negeri ini. Ada orang asing
yang berkomentar bahasa Indonesia itu mudah dipelajari karena tata bahasanya
sederhana. Kata kerjanya tidak perlu diubah sesuai subyek seperti beberapa
bahasa asing. Dengan komentar ini, ada orang Indonesia yang merasa minder
karena bahasa sederhana mencerminkan cara berpikir pemakainya. Tentu saja
faktanya tidak demikian. Toh, orang asing juga beramai-ramai memperlajari
bahasa Indonesia. Dan, mereka bangga menunjukkan kepada teman-teman mereka
bahwa mereka bisa berbahasa Indonesia. Dengan bahasa Indonesia pula mereka bisa
belajar budaya bangsa indonesia yang beraneka ragam ini.
Mari kita lestarikan bahasa kita. Lebih
dari sekadar lestari, kita mesti mempunyai kebanggaan yang tinggi terhadap
bahasa kita.
PA, 22/8/2012
Gordi Afri
*Dimuat juga di blog kompasiana pada 22/8/12
Post a Comment