foto oleh AL-AZHAR PEDULI |
“Selamat siang
bu, mbak, mas, boleh tanya, rumahnya Mas X di mana ya?”
“O…di situ mas
(dua ibu menunjuk ke depan)…masuk lagi lalu ada rumah yang menghadap ke sebelah
sini (menunjuk ke arah dirinya). Itu rumahnya.”
“Terima
kasih……” Saya melanjutkan ke arah rumah yang ditunjuk itu.
Inilah dialog
saya dan beberapa orang di sebuah kompleks pedesaan yang asri di bilangan Utara
Yogyakarta. Kompleks itu terletak di daerah Sawahan Kidul, sebelah Utara kota
Yogyakarta. Kalau dirangkum, percakapan kami itu menandakan adanya sebuah
budaya yang kuat di masyarakat kita yakni KERAMAHAN.
Ramah. Itulah
kata yang mudah diucapkan tetapi jarang ditemukan. Kata itu merupakan satu
kekayaan budaya bangsa Indonesia. Keramahan mungkin jarang ditemukan di kota
besar seperti Jakarta. Warga di perumahan elit, misalnya, tidak begitu ramah
dengan para tamu. Hanya ada sebagian pemilik rumah yang ramah ketika tamu
bertanya. Ini terjadi karena
mereka sudah terbiasa untuk tinggal berlama-lama di dalam rumah. Wong semuanya sudah ada, tak perlu jalan-jalan ke luar lagi. Mereka nyaman
dengan segala yang ada di rumah. Tak heran jika interaksi dengan tetangga di
dalam kompleks perumahan saja agak jarang.
Saya pernah
keluar-masuk kompleks perumahan dan pernah mencari rumah beberapa teman. Kalau
mau tahu rumahnya si A, sebaiknya kita bertanya pada petugas keamanan di kompleks
perumahan. Merekalah yang tahu nama-nama pemilik rumah. Tetapi kalau sudah
masuk dalam kompleks, sudah melewati pintu gerbang, kita akan kesulitan untuk
bertanya kepada siapa-siapa. Kalau tekan bel di rumah, paling-paling yang
keluar pembantu atau penjaga rumah saja. Kalau kita bertanya, dia tidak bisa
menunjukkan rumah yang kita cari. Paling-paling dia bertanya alamatnya, nomor
berapa, blok berapa, dan sebagainya. Sedangkan ciri-ciri pemilik rumahnya dia
tidak tahu.
Beda sekali dengan warga di daerah pedesaan. Mereka tahu rumah tetangganya.
Para tamu yang datang tidak sulit menemukan rumah yang dicari. Bukan hanya
tahu, mereka juga dengan ramah mengantar atau menjelaskan kepada tamu.
Keramahan inilah yang saya temukan pagi ini tadi. Interaksi antara warga memang
perlu dibangun sehingga setiap warga merasa menjadi bagian dari kelompok
masyarakat. Tanpa itu, relasi antar mereka kurang erat. Bahkan, boleh jadi roh
kecurigaan mulai muncul. Kalau warga
tidak saling kenal, kecurigaan itu mudah sekali berkembang.
Saya yakin
warga yang saya temui pagi tadi sudah membangun relasi yang baik antara sesama
warga. Mereka tidak curiga satu sama lain. Bahkan dengan tamu yang datang juga
amat ramah. Tidak ada kecurigaan
sama sekali.
Keramahan membuang segala prasangka, mendekatkan relasi yang jauh. Kekuatan
keramahan mampu menembus tembok keretakan antar warga dalam sebuah masyarakat.
Memang keramahan kadang-kadang juga disalahgunakan. inilah yang terjadi dengan
tersangka teroris yang menjadi penjual susu di Bogor beberapa hari lalu. Boleh
jadi ini adalah keramahan yang dangkal. Keramahan yang terjadi antara penjual
dan pembeli di sebuah pasar. Keramahan yang kuat terjadi antara warga di daerah
pedesaan. Keramahan itulah yang membuat masyrakat saling terbuka. Kalau sudah
terbuka, relasi antar-warga pun terbangun dengan baik.
Keramahan sebaiknya ditegakkan kembali di negara ini. Bukan karena itu
harus diciptakan. tetapi, keramahan sudah menjadi tradisi masyarakat kita.
Maraknya teroris yang tak diduga selama ini menjadi peringatan bagi kita bahwa
kita tidak saling terbuka. Tiba-tiba saja lelaki yang ramah itu, menjadi
tersangka teroris. Sehari-harinya baik. Ini namanya pura-pura baik. Kalau dari
awal kita sudah tahu latar belakang seseorang maka, kita dengan mudah membangun
relasi dengannya. Keramahan pun dengan sendirinya akan tercipta. Tetapi kalau
hanya sebatas keramahan yang dangkal saja, boleh jadi kita akan tertipu oleh
tampilan seseorang.
Ini curhat di siang bolong. Sekadar bagi-bagi pengalaman setelah bertemu
beberapa warga di daerah Sawahan Kidul, Yogyakarta. Sungguh, keramahan mereka
akan saya kenang selalu. Andai orang kota mau, datanglah ke desa ini dan
belajarlah bagaimana keramahan mereka. Kalian akan kaget. Tetapi lebih dari
kaget kalian akan pulang dengan membawa kekayaan budaya, warisan nenek moyang
kita, ke kota Anda. Inilah modal besar untuk merajut persatuan Indonesia.
Persatuan mesti mulai dari pranata sosial paling kecil yakni keluarga dan
masyarakat.
Selamat siang
untuk para pembaca.
PA, 13/9/2012
Gordi Afri
*Dimuat di blog kompasiana pada 13/9/12
Post a Comment