foto oleh Tim Philips Photos |
“Sebanyak 13 anak usia 7-14 tahun asal
Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, menjadi korban penjualan orang. Diduga
mereka hendak dijadikan perempuan penghibur dan pekerja rumah tangga dengan
harga rata-rata Rp 250.000 per orang.” Demikian cuplikan berita dari KOMPAS.
Kasus penjualan
anak bukanlah hal baru. Beberapa kasus sebelumnya juga muncul di berbagai media. Jika sekarang
berita itu muncul lagi, ini hanya pengulangan saja. Menjadi pertanyaannya
adalah apakah kasus itu MAU dihilangkan? Kalau mau berarti sekarang petugas
yang menangani bidang itu belum berhasil. Jika tidak ada ke-MAU-an maka kasus penjualan anak tetap dan akan
berlangsung. Jadi persoalannya MAU atau TIDAK MAU.
Bagi kalangan
penggiat hak anak tentu MAU menghilangkan kasus semacam ini. Anak tidak boleh
dijadikan aset yang bisa dijual seperti barang. Anak adalah manusia yang
mempunyai harga diri dan tidak boleh diperjual-belikan. Demikian juga bagi
orang tua yang ingin mendidik anaknya sampai anaknya menjadi orang yang berguna
bagi bangsa dan negara.
Tetapi bagi mereka
yang memperoleh keuntungan dari kasus penjualan anak, kasus ini tidak MAU
dihilangkan. Biarkan saja kasus semacam ini terjadi. Toh mereka mengambil
untung dari situ. KAlau dihentikan mereka tidak mempunyai penghasilan, mereka
tidak mempunyai pekerjaan. Demikian juga bagi orang tua miskin dan mau
mengorbankan anaknya untuk apa saja asal menghasilkan duit. Daripada hidup
miskin lebih baik jual anak. Toh, dari penghasilan itu dia bisa terbebas dari
kemiskinan finansial.
Menilik
undang-undang yang mengatur tentang pekerja, kasus semacam ini menjadi bukti
pelanggaran. Tetapi ngomong-ngomong soal undang-undang dan peraturan lainnya,
di negeri ini segalanya bisa dilanggar. Semakin banyak peraturan dibuat semakin
banyak pelanggaran dibuat. Aturan untuk dilanggar kok. Tetapi baiklah kalau
kita menghargai mereka yang mempunyai hati untuk melindungi anak-anak yang juga
telah diatur dalam peraturan di negeri ini.
Ada 2 peraturan
yang berkaitan yang mengatur tentang usia pekerja anak yakni Undang-undang no.
20 Tahun 1999 dan Konvensi International Labour Organization (ILO) no.
138. Dari keduanya diperoleh keterangan bahwa batas minimun usia anak yang
menjadi pekerja adalah 15 tahun. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kasus
penjualan anak melanggar peraturan ini.
Tetapi siapa peduli dengan peraturan itu?
Tentu saja masih ada rakyat negeri ini yang peduli. Ada LSM dan kelompok yang
membela hak anak. Dan memang anak harus
diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat, yang mempunyai harga diri. Oleh
karena itu amat dibutuhkan kerja sama antara orang tua, polisi, LSM atau siapa
saja yang peduli dengan anak-anak untuk mencegah kasus semacam ini.
Tidak mudah, mesti
melewati jalan berliku, tetapi perlu usaha keras. Di Jakarta saja masih terjadi
kasus penjualan anak, misalnya di daerah Cilincing beberapa waktu lalu. Anak
yang dibawah 15 tahun dijadikan wanita penghibur. Entah apa yang disumbangkan
anak-anak kecil ini untuk menghibur. Jika dia benar-benar menghibur berarti
pelanggannya adalah mereka yang sedih. Tetapi istilah wanita penghibur
kerapkali berkonotasi negatif. Pekerja Seks Komersial juga dipanggil wanita
penghibur. Nah, kalau anak dijadikan wanita penghibur, sungguh malang
kehidupannya.
Kita berharap kasus semacam ini harus
berkurang dan lama-lama harus dihilangkan dari bumi Indonesia. Bangsa ini makin
tidak bermartabat jika manusia dijual-belikan. Aset tambang sudah dijarah pihak
asing, aset hutan sudah dihancurkan pihak asing, aset laut sudah dicuri pihak
asing, haruskah Indonesia menjual manusianya?
PA, 28/7/2012
Gordi Afri
*Dimuat
di blog kompaiana pada 28/7/12
Post a Comment