foto oleh BobWeber |
Atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat, setiap orang seolah-olah
berhak menghujat sesamanya. Saling hujat inilah yang muncul dalam kampanye
calon Gubernur/Wakil Jakarta. Hujat menghujat pada prinspinya kurang bagus.
Dalam artian tidak membangun. Malah merendahkan. Melihat sisi lemah. Atau boleh
jadi mencari-cari alasan untuk menghujat lawan.
Ahok, calon wakil gubernur tak luput dari hujatan. Figur publik memang
kadang-kadang dihujat begitu saja oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Entah apa motifnya, hujatan semacam ini ternyata mengundang perhatian publik.
Banyak orang yang kritis menilai hujatan semacam ini.
Orang pun akan melihat benarkah hujatannya itu? Apa motif hujatannya itu?
Apa yang terjadi jika ada hujatan balik?
Ahok dihujat tetapi kini dialah yang akan menjadi pemimpin. Pendamping
atau rekan kerja Jokowi. Hujatan ternyata tidak melumpuhkan si terhujat.
Hujatan memang hanya retorika saja. Kenyataannya boleh jadi jauh dari hujatan.
Dan inilah yang terjadid engan Pak Ahok.
Boleh jadi penghujat Ahok kini kebakaran jenggot. Hujatan mereka tidak
menyurutkan niat publik untuk memilih pasangan Jokowi dan Ahok. Menghujat
ternyata bukanlah model kampanye yang sehat. Boleh jadi saling hujat atau menghujat
hanyalah cari sensasi saja. Sensasi yang ternyata membuka pikiran publik untuk
menilai kecerdasan penghujat.
PA, 20/9/2012
Gordi Afri
*Dimuat di blog kompasiana pada 20/9/2012
Post a Comment