Halloween party ideas 2015

foto oleh Darisman
Lima tahun lalu saya sering bersepeda dari Bintaro ke Cilandak pada hari Minggu. Dengan bersepeda keliling, saya sering berjumpa dengan pekerja serabutan yang duduk atau ngobrol di pinggir jalan. Di daerah perumahan Pondok Indah, misalnya, setiap Minggu pagi pasti ada kelompok pekerja serabutan. Mereka umumnya adalah penggali sumur atau pekerja bangunan. Sampai sekarang masih banyak pekerja serabutan (penggali sumur dan pekerja bangunan) yang menganggur. Siapa peduli dengan kehidupan mereka? 

Di sekitar tempat mereka duduk lalu lalang mobil mewah. Dalam hati, ada jeritan, sungguh ironis negeri ini. Bagaimana orang menilai apakah kawasan ini makmur atau tidak. Apakah rakyat Jakarta sejahtera atau tidak. Agak sulit menilainya karena di sekitar orang kaya ada orang miskin, di sekitar lalu lalang mobil mewah ada segerombolan pekerja bangunan.

Di TV, yang ditayangkan hanya orang kaya, berparas cantik (cantik versi kulit Putih) dan ganteng (ganteng versi kulit Putih), mobil mewah, rumah mewah, apartemen, jalan tol, dan sebagainya. Jika diperlukan dan dalam saat-saat tertentu saja, TV menayangkan para pengemis, pedagang asongan, tumpukan sampah, pekerja bangunan, dan sebagainya.

Pemandangan ini menanamkan stereotip tertentu dalam diri pemirsa TV di seluruh tanah air. Orang dari NTT mengatakan di Jakarta ada banyak orang kaya, pekerjaan terjamin, bisa menikmati kemewahan. Dalam benak orang Menado, Jakarta itu identik dengan rumah dan mobil mewah. Demikian juga dalam benak orang Sumatera Utara, Jakarta itu identik dengan jalan tol yang berbanding terbalik dengan kondisi jalan lintas-sumatera. Maka, ramai-ramailah mereka ke Jakarta. Mengadu nasib di kota metropolitan.

Mereka mengira semua yang ditayangkan TV itu benar-benar mewakili kondisi real Jakarta. Siapa tidak tergoda? Segalanya seolah-olah ada di Jakarta ini. Padahal kondisinya lain. Di Jakarta sayur harus dibeli padahal di daerah sayur langsung dipetik di kebun. Di Jakarta udaranya kotor padahal di daerah udaranya bersih. Di daerah tidak ada mobil mewah tetapi mobilitas warga tidak terganggu. Di daerah mau mengadakan kegiatan apa saja, selagi tidak melanggar ketentuan adat, tidak dilarang padahal di Jakarta untuk mendiskusikan sebuah masalah dalam buku saja dilarang. Di daerah orang bergembira dengan merdeka padahal di Jakarta gerak-gerik kita diintai para perampok.

Pekerja serabutan terjerat dalam perangkap iklan yang ditawarkan media dan rayuan gombal teman-teman mereka. Mereka merasa kurang lengkap jika tidak mengalami kehidupan di ibu kota negara. Sayangnya keinginan ini terbentur dengan kerasnya kondisi Jakarta. Di Jakarta banyak orang stres, bunuh diri, lompat bebas dari gedung berlantai sekian. Ini pertanda, dari segi psikologis, dia tidak normal lagi. Dalam artian, secara psikologis, dia tidak siap menghadapi tantangan di Jakarta. Kekuatan fisik tidak menjadi penentu satu-satunya. Kekuatan itu mesti dilengkapi dengan kekuatan psikologis agar bisa menghadapi tantangan yang ada.

Gaji tinggi tidak menjamin orang hidup bahagia. Kadang-kadang gaji itu tidak berarti baginya karena keinginan terdalam dari hatinya belum terpenuhi. Orang membutuhkan keheningan dan ketenangan dalam dirinya namun Jakarta tidak mampu memenuhinya. Di sinilah orang ditantang secara psikologis. Saya tidak tahu mau dikemanakan pekerja serabutan ini. Kalau negara mau bertangung jawab, mereka diberi pekerjaan yang layak. Mereka adalah rakyat dan manusia. Maka, mereka pantas dihargai. Jangan dibiarkan telantar. Seolah-olah warga Jakarta tidak punya hati lagi memandang manusia lainnya sebagai saudara. Banyak orang merasa iba dengan mereka tetapi tidak tahu caranya. Memberi lembar seribuan kepada pengemis saja bisa dijerat pasal tertentu. Masih ingatkah kita akan pelarangan pemberian bantuan kepada pengemis di perempatan jalan?

Besok-besok bisa muncul peraturan agar pelintas jalan dilarang memberi pekerjaan kepada pekerja serabutan yang berseliweran di pinggir jalan. Kalau demikian, negeri ini dibungkam oleh kelompok yang tdak peduli dengan nasib sesamanya. Masalahnya memang rumit. Sebaiknya cara mengatasinya adalah dengan mempelajari latar belakang kehadiran mereka di Jakarta. Salah satunya tadi adalah tergoda dengan tayangan media TV juga bujukan teman. Jika ini sudah dipahami oleh pemangku jabatan maka cara mengatasinya mesti mulai dari sini. Entah ada kerja sama pemerintah pusat dan daerah atau ada pembagian lapangan pekerjaan antara pusat-daerah atau bentuk lainnya. Intinya pekerja serabutan jangan dibiarkan menganggur.

Prinsipnya adalah siapa bekerja dia mendapat makanan. Kalau sebagian besar rakyat Indonesia bekerja, bangsa ini kelimpahan makanan. Indonesia jaya tanpa penjajah, tanpa produk luar negeri. Salam sejahtera Indonesia.

CPR, 5/6/2012
Gordi Ari

Post a Comment

Powered by Blogger.