foto oleh Darisman |
Di sekitar tempat mereka duduk lalu
lalang mobil mewah. Dalam hati, ada jeritan, sungguh ironis negeri ini.
Bagaimana orang menilai apakah kawasan ini makmur atau tidak. Apakah rakyat
Jakarta sejahtera atau tidak. Agak sulit menilainya karena di sekitar orang
kaya ada orang miskin, di sekitar lalu lalang mobil mewah ada segerombolan
pekerja bangunan.
Di TV, yang ditayangkan hanya orang
kaya, berparas cantik (cantik versi kulit Putih) dan ganteng (ganteng versi
kulit Putih), mobil mewah, rumah mewah, apartemen, jalan tol, dan sebagainya.
Jika diperlukan dan dalam saat-saat tertentu saja, TV menayangkan para
pengemis, pedagang asongan, tumpukan sampah, pekerja bangunan, dan sebagainya.
Pemandangan ini menanamkan stereotip
tertentu dalam diri pemirsa TV di seluruh tanah air. Orang dari NTT mengatakan
di Jakarta ada banyak orang kaya, pekerjaan terjamin, bisa menikmati kemewahan.
Dalam benak orang Menado, Jakarta itu identik dengan rumah dan mobil mewah.
Demikian juga dalam benak orang Sumatera Utara, Jakarta itu identik dengan
jalan tol yang berbanding terbalik dengan kondisi jalan lintas-sumatera. Maka,
ramai-ramailah mereka ke Jakarta. Mengadu nasib di kota metropolitan.
Mereka mengira semua yang ditayangkan
TV itu benar-benar mewakili kondisi real Jakarta. Siapa tidak tergoda?
Segalanya seolah-olah ada di Jakarta ini. Padahal kondisinya lain. Di Jakarta
sayur harus dibeli padahal di daerah sayur langsung dipetik di kebun. Di
Jakarta udaranya kotor padahal di daerah udaranya bersih. Di daerah tidak ada
mobil mewah tetapi mobilitas warga tidak terganggu. Di daerah mau mengadakan
kegiatan apa saja, selagi tidak melanggar ketentuan adat, tidak dilarang
padahal di Jakarta untuk mendiskusikan sebuah masalah dalam buku saja dilarang.
Di daerah orang bergembira dengan merdeka padahal di Jakarta gerak-gerik kita
diintai para perampok.
Pekerja serabutan terjerat dalam
perangkap iklan yang ditawarkan media dan rayuan gombal teman-teman mereka.
Mereka merasa kurang lengkap jika tidak mengalami kehidupan di ibu kota negara.
Sayangnya keinginan ini terbentur dengan kerasnya kondisi Jakarta. Di Jakarta
banyak orang stres, bunuh diri, lompat bebas dari gedung berlantai sekian. Ini
pertanda, dari segi psikologis, dia tidak normal lagi. Dalam artian, secara
psikologis, dia tidak siap menghadapi tantangan di Jakarta. Kekuatan fisik
tidak menjadi penentu satu-satunya. Kekuatan itu mesti dilengkapi dengan
kekuatan psikologis agar bisa menghadapi tantangan yang ada.
Gaji tinggi tidak menjamin orang
hidup bahagia. Kadang-kadang gaji itu tidak berarti baginya karena keinginan
terdalam dari hatinya belum terpenuhi. Orang membutuhkan keheningan dan
ketenangan dalam dirinya namun Jakarta tidak mampu memenuhinya. Di sinilah
orang ditantang secara psikologis. Saya tidak tahu mau dikemanakan pekerja
serabutan ini. Kalau negara mau bertangung jawab, mereka diberi pekerjaan yang
layak. Mereka adalah rakyat dan manusia. Maka, mereka pantas dihargai. Jangan
dibiarkan telantar. Seolah-olah warga Jakarta tidak punya hati lagi memandang
manusia lainnya sebagai saudara. Banyak orang merasa iba dengan mereka tetapi tidak
tahu caranya. Memberi lembar seribuan kepada pengemis saja bisa dijerat pasal
tertentu. Masih ingatkah kita akan pelarangan pemberian bantuan kepada pengemis
di perempatan jalan?
Besok-besok bisa muncul peraturan
agar pelintas jalan dilarang memberi pekerjaan kepada pekerja serabutan yang
berseliweran di pinggir jalan. Kalau demikian, negeri ini dibungkam oleh
kelompok yang tdak peduli dengan nasib sesamanya. Masalahnya memang rumit.
Sebaiknya cara mengatasinya adalah dengan mempelajari latar belakang kehadiran
mereka di Jakarta. Salah satunya tadi adalah tergoda dengan tayangan media TV
juga bujukan teman. Jika ini sudah dipahami oleh pemangku jabatan maka cara
mengatasinya mesti mulai dari sini. Entah ada kerja sama pemerintah pusat dan
daerah atau ada pembagian lapangan pekerjaan antara pusat-daerah atau bentuk
lainnya. Intinya pekerja serabutan jangan dibiarkan menganggur.
Prinsipnya adalah siapa bekerja dia
mendapat makanan. Kalau sebagian besar rakyat Indonesia bekerja, bangsa ini
kelimpahan makanan. Indonesia jaya tanpa penjajah, tanpa produk luar negeri.
Salam sejahtera Indonesia.
CPR, 5/6/2012
Gordi Ari
*Dimuat di blog kompasiana pada5/6/12
Post a Comment