foto anak-anak di daerah Cilincing oleh moelzcore |
Ada beragam jawaban. Saya mau jadi
tentara, kata orang pertama. Saya mau jadi guru, saya mau jadi olahragawan,
saya mau jadi pilot, demikian jawaban beberapa orang. Ada dua orang yang mau
jadi TKI di luar negeri. Beberapa lagi mempunyai jawaban sama, mau jadi
perawat/bidan sehingga bisa mengobati orang sakit di sekitar.
Saya bangga dengan jawaban anak-anak.
Jika semuanya berjalan sesuai cita-cita, hanya dua orang yang ingin mengabdikan
tenaganya di luar negeri. Sebagian besar untuk negeri ini. Bahkan yang
bercita-cita menjadi perawat/bidan mau mengabdi untuk keluarga.
Tak masalah punya cita-cita.
Dibandingkan saya, mereka memiliki keinginan kuat untuk meraih cita-cita itu.
Saya dulu punya banyak cita-cita, guru, mantri, pastor, tentara, dan sopir
angkot. Dalam benak anak-anak ini terpampang situasi masa depan yang akan
dihadapi. Mereka pun tampaknya ingin menghadapinya dengan baik. Dengan
cita-cita yang ada, mereka belajar mempunyai satu tujuan.
Lepas dari berubahnya cita-cita itu,
saya tahu akan ada kesulitan besar. Keluarga mereka sebagian besar tidak mampu
melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Tak jarang
sebagian besar memilih sekolah kejuruan sehingga cepat bekerja dan mencari uang
untuk keluarga. Orientasi praktis. Memang itu yang dibutuhkan. Namun untuk itu
juga tentu butuh perjuangan.
Ada cita-cita sudah cukup bagi orang
tertentu. Cita-cita inilah yang menanamkan kemauan untuk belajar kepada
anak-anak. Kata sebagian orang, kalau ada kemauan pasti ada jalan. Saya yakin
kalau anak-anak memiliki kemauan kuat, mereka akan diberi jalan sampai
cita-cita itu. Bukan tak mungkin ada yang membantu dalam proses pendidikan
mereka nantinya.
Ada banyak anak sekolah yang mempunyai
cita-cita mengubah keluarga. Namun selalu kandas dengan biaya untuk meraih
cita-cita itu. Di Jakarta pasti banyak. Meskipun banyak orang kaya Jakarta,
orang miskin juga banyak. Mungkin jumlahnya kecil ketimbang orang kaya atau
menengah ke atas, namun keadaan orang miskin di Jakarta amat memprihatikan.
Ada rasa miris ketika melewati
kompleks perumahan orang miskin di Warakas. Mengapa mereka seperti ini? Apakah
rasa keadilan sosial di kota ini sudah tumpul? Banyak anak orang kaya menikmati
kesenangannya di rumah-rumah elit, di mol, di tempat pariwisata. Namun,
anak-ana miskin ini hanya bisa bersenang-senang di sekitar tumpukan sampah, di
bawah tol, di sekitar rumah yang sesak, di sekitar selokan yang bau dan kotor.
Anak-anak teruslah bermimpi menggapai
cita-cita. Akan ada orang yang melihat perjuangan kalian. Semoga banyak orang
yang memperhatikan keadaan kalian nantinya. Tidak semua orang kaya di Jakarta
menutup mata dengan keadaan orang miskin. Masih banyak juga yang membuka mata
lebar-lebar dan memikirkan perubahan mereka. Kiranya tinggal menunggu waktu
juga untuk memulai perubahan itu.
Namun, sebelum semuanya itu terjadi,
biarlah kalan mengubah keadaan keluarga. Perubahan dari dalam akan sangat
terasa ketimbang menunggu perubahan dari luar. Terima kasih anak-anakku, kalian
mempunyai cita-cita yang mulia, mengubah keadaan keluarga.
CPR,13/2/2012
Gordi Afri
*Dimuat di blog kompasiana pada 13/2/12
Post a Comment