foto oleh Ramadhan2nd |
Kedekatan dengan ibu amat terasa sebelum mengenyam pendidikan dasar.
Ketika kakak dan bapak ke sekolah, saya hanya ditemani ibu. Ibu selalu setia
menemani saya. Kadang-kadang saya mengganggu pekerjaannya, namun tak pernah
saya melihat dan merasakan kebencian ibu kepada saya. Ibu memang mencintai
anak-anaknya termasuk saya. Ketika pulang sekolah saya bermain dengan kakak
saya. Kadang-kadang kakak memarahi saya, dan saat itulah saya berlindung kepada
ibu. Begitu juga ketika bapak marah, ibu selalu menjadi tempat perlindungan.
Apakah ibu pernah marah? Tentu saja. Tetapi marah bukan karena benci, tetapi
karena cinta. Cinta ibu untuk anaknya. Saya pernah dimarahi gara-gara tidak
mengerjakan tugas yang dipercayakan kepada saya. Hal-hal sederhana, sesuai
kemampuan saya waktu itu. Mencuci piring, memasak, atau memberi makan kepada peliharaan
kami. Dari marah ini, saya sadar, betapa ibu mencintai saya.
Ibu juga yang
menyemangati saya dalam pendidikan. Sebelum sekolah,
saya belajar bersama ibu, setiap malam. Kami membuka buku gambar, lalu ibu
menjelaskan tulisan yang ada di gambar itu. Di tempat belajar itu, ada poster
besar berisi huruf abjad berukuran besar dan angka-angka dari 1-100. Ada juga
perkalian, pembagian, penjumlahan, dan pengurangan. Poster itulah sarana
pembelajaran kami. Sesekali ketika saya bosan, ibu membuka buku gambar, atau
bercerita. Tujuannya sederhana, untuk menyemangati saya. Kadang-kadang saya
tertidur karena cerita yang terlalu lama. Kebiasaan belajar bersama ibu,
berkembang terus hingga saya selesai SD. Pekerjaan rumah selalu dikerjakan
bersama. Sesekali dengan bapak dan kakak. Namun, seringkali bersama ibu. Ibu
juga yang menguatkan saya untuk belajar menyelesaikan sekolah dasar.
Kedekatan ini begitu kuat sampai-sampai ibu merasa sepi ketika, saya
tinggal jauh darinya. Ibu meneteskan air mata ketika saya dan bapak pergi ke
kota kecamatan untuk melanjutkan pendidikan menengah, SMP. Saya memandangnya
sebentar sebelum mobil kami berjalan. Ibu menangis sambil memeluk adik saya dan
melambaikan tangan, merelakan saya pergi. Saya tahu, ia dengan berat hati
melepas kepergian saya. Namun, bagaimana pun saya mesti bersekolah. Air mata
itu menetes lagi ketika saya melanjutkan pendidikan ke kota kabupaten yang
letaknya semakin jauh dari rumah. Ibu hanya berpesan, “Nak, belajarlah dengan
rajin dan berbuat baiklah dengan sesama.” Pesan itu begitu menggema hingga saya
ingat sampai sekarang.
Selama pendidikan menengah, saya jarang pulang ke rumah. Hanya 2 kali setahun,
pada saat liburan panjang. Ibu tidak marah. Saya selalu mengirim surat minimal
sekali dalam dua bulan. Komunikasi kami waktu itu hanya melalui surat. Ibu
senang membaca surat saya. Tiap kali teman sekolah saya berkunjung ke rumah,
ibu tersenyum sebelum mempersilakan teman untuk duduk. Ibu tahu, pasti ada
surat dari saya. Kegembiraan ibu lebih besar ketika saya kembali saat liburan.
Saat itu biasanya, ibu berlama-lama bercerita dengan saya. Kebiasaan ibu ini
berlaku untuk semua kami, anak-anaknya. Kami berasal dari desa dan harus
melanjutkan pendidikan menengah ke kota.
Waktu liburan adalah
kesempatan emas untuk mengobati rasa rindu ibu. Saat
hendak kembali ke sekolah, selesai liburan, air mata ibu jatuh lagi. Ini
pertanda dia mencintai anak-anaknya. Dengan sabar, dia menyiapkan bekal
secukupnya berupa makanan ringan, dan menyelipkan uang saku secukupnya. Ibu
lalu berpesan, “Nak apa saja yang kalian minta-asal itu demi pendidikan-kami
akan memenuhinya. Kalian harus sekolah dengan baik. Jangan khawatir dengan
hidup kami di rumah. Kami mempunyai banyak makanan untuk kebutuhan
sehari-hari.” Pesan ini menguatkan saya untuk terus belajar hingga akhir masa
SMA.
Ibu merasa berat sekali
ketika saya harus melanjutkan pendidikan ke tempat yang lebih jauh lagi. Namun,
ia tetap mendukung. “Asal itu kemauan kamu, silakan pergi, kami akan
mendukungmu,” kata ibu waktu itu. Saya mengarungi lautan untuk pertama kalinya.
Saya dan ibu tinggal di pulau yang berbeda. Lagi-lagi
air mata ibu menetes lagi. Saya juga meneteskan air mata. Saya tak tahan
melihat air mata ibu kesekian kalinya. Kami berpelukan sebelum saya
meninggalkan rumah. Seminggu kemudian, ibu menelepon saya, menanyakan keadaan
saya di tempat yang baru. Saya bahagia dan ibu senang mendengar cerita saya. Dia sempat
tertawa karena saya bercerita membuat lelucon layaknya di rumah . Sebelum
menutup pembicaraan ibu menangis lagi, sambil menyerahkan gagang telepon kepada
bapak.
Ibu merupakan sosok yang besar bagi saya. Apa yang dibuatnya murni untuk
kebaikan kami anak-anaknya. Saat kami sakit, ibu yang huru-hara mencari bantuan
ke tetangga. Saya ingat ketika saya sakit, ibu pergi ke rumah bidan pagi-pagi
buta. Untung saja adik saya yang paling kecil tidak menangis mencarinya. Adik
masih terlelap ketika ibu berangkat. Hebat! Perjuangan ibu sungguh luar biasa.
Terlalu indah mengenang kebersamaan bersama ibu. Sekian tahun kami hidup
berjauhan. Namun,
kami sering berbagi cerita. Saat yang dinanti adalah masa liburan. Terima kasih
ibu, kasihmu selalu kukenang, cintamu begitu besar, dan jasamu luar biasa.
Tetes air matamu menguatkan saya dalam hal apa pun termasuk dalam menghadapi
tantangan. Terima kasih ibu….
CPR, 17/12/2011
Gordi Afri
Gordi Afri
*Dimuat di blog kompasiana pada 17/12/11
Post a Comment