Bincang-bincang
soal asap. Asap yang terkenal beberapa hari belakangan adalah asap di Riau.
Asap itu terbang sampai ke Singapura dan Malaysia. Asap itu dibawa angin. Angin
itu rupanya bukan saja bertiup begitu saja. Angin yang membawa asap itu justru
merugikan Singapura dan Malaysia. Rakyat di sana terkena penyakit gangguan
pernapasan. Beberapa tempat bahkan sama sekali tidak layak untuk kehidupan.
Masyarakat di sini tidak bisa bernapas dengan baik. Oleh sebab itu, pemimpin di
sana melarang warganya keluar rumah.
Asap
memang bisa berbahaya. Asap bisa membuatakan mata manusia. Cara kerjanya
membabi-buta. Tidak kenal orang. Siapa saja yang terkena asap akan menjadi
buta. Entah buta selamanya atau buta sesaat. Yang jelas mata sama sekali tidak
berdaya kala asap menyelimutinya. Asap membuat manusia tak berdaya.
Ketakberdayaan
itulah yang dialami warga Singapura dan malaysia. Ada analisis dari Riau 24.com
bahwa kerugian akibat asap ini diperkirakan US$ 1 miliar. Angka ini besar.
Maka, tak heran jika Singapura merasa tak berdaya dengan kerugian ini. Asap
memang membuat Singapura dan malaysia menjadi tempat yang tidak aman untuk
bekerja. Pekerja tidak nyaman beraktivitas. Bukan saja pekerja, pendatang pun
diperkirakan akan menurun. Situasi ini ternyata membuat pendatang juga tak
berdaya. Meski mereka sebenarnya bisa berkunjung ke dua negara ini. Tetapi,
situasi di sana membuat mereka tak berdaya. Seolah-olah biaya besar yang mereka
siapkan tak mampu menghadapi tantangan asap ini. Asap memang membuat segalanya
menjadi kabur.
Asap
bagi masyarakat tradisional menjadi sebuah berkat. Ada asap berarti ada api.
Ada api berarti ada yang dibakar. Di kampung-kampung api menjadi sesuatu yang
dirindukan. Api bisa mengusir kedinginan di pagi hari. Anak sekolah sebelum
berangkat ke sekolah biasayanya menghangatkan tubuh mereka di dekat tungku api.
Sementara itu, ibu-ibu memasak, entah air, nasi, sayur, dan lauk. Api menjadi
sumber kehidupan. Dari sana muncul bekal hidup di pagi hari. Api juga menjadi
penghangat badan dikala diselimuti suhu dingin. Api beserta asapnya juga
menjadi tempat memanggang sate dan jenis daging lainnya. Api di sini menjadi
sumber penghidupan.
Asap
bagi para petani juga menjadi tanda dimulai pembukaan kebun baru. Kayu-kayu dan
rumput yang sudah dipotong dimasukkan dalam api. Dari sini muncul asap. Api ini
membakar semua dedaunan dan kayu yang ada. Daun-daun mentah yang berwarna hijau
biasanya menjadi sumber asap. Asap ini kadang menjulang tinggi ke awan. Dari jauh
tampak asap ini. Dan, semua yang melihatnya tahu, di sana ada pembukaan kebun
baru.
Kebun
baru biasanya bertanah subur. Itulah sebabnya tanah itu ditanami benih yang
bermanfaat bagi petani. Entah sayur-sayuran, kacang-kacangan, padi, jagung,
kedelai, dan sebagainya. Menurut cerita para petani, abu hasil bakaran
rerumputan akan menjadi sumber kesuburan tanah. Jadi, abu itu membawa pupuk
untuk kesburan tanah. Asap bagi petani menjadi tanda dimulainya sebuah
perjuangan. Berjuang untuk menanam dan membesarkan tanamannya.
Asap
bagi petani emmang beda dengan asap yang ada di Riau. Asap di Riau merupakan
hasil bakaran hutan. Semua tahu, asap ini membawa sial. Sial bagi Indonesia
karena hutannya berkurang. Lingkungan alamnya rusak. Habitat makhluk hidup
rusak. Bahkan boleh jadi beberapa satwa hutan juga ikut menjadi asap. Asap yang
sama membawa kerugian bagi Singapura dan Malaysia.
Asap
dari Riau-Indonesia ini pun bukan lagi seperti asap para petani. Asap ini
membuat nama Indonesia menjadi bahan ejekan. Dan memang ada yang emngejek kalau
orang indonesia tidak bisa menjaga alamnya. Hampir setiap tahun indonesia
mengirim asap kepada negeri tetangga. Seharusnya Indonesia malu dengan ejekan
ini. Tetapi Indonesia malah diam saja. Bahkan hanya bisa meminta maaf. Padahal
semua tahu, minta maaf tidak akan menyelesaikan persoalan secara memadai. Minta
maaf hanya meredakan kemarahan sesaat. Dan, Indonesia gemar meminta maaf pada
negeri tetangga.
Asap
ini semestinya membuat Indonesia giat berjuang seperti para petani mengelola
alamnya. Tetapi, indonesia rupanya tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan
baik. Alam tetap dibiarkan merana bahkan bila perlu dihabiskan saja dengan cara
membakar. Padahal membakar hutan meruapakan awal kehancuran habitat hutan.
Indonesia dituding mendiamkan saja perusahaan asing yang turut menjadi penyebab
kebakaran hutan ini. Bukankah seharusnya jika ada kasus itu, perusahaan itu
diberi sanksi yang tegas? Lagi-lagi Indonesia suka mengulur waktu, tidak tegas
dalam memberi sanksi. Jangan heran jika beberapa tahun belakangan persoalan
asap dibiarkan saja. Dari tahun ke tahun muncul bahaya asap tetapi tidak ada
penanggulangan berjangka panjang. Menyemprotkan air atau hujan buatan hanyalah
solusi jangka pendek. Untuk jangka panjang mesti ada peraturan yang tegas,
jelas, dan ketat sehingga kasus pembakaran hutan tidak akan terulang lagi.
Ah
ini hanya obrolan soal asap. Ada asap berarti ada api. Sekarang asapnya sudah
jelas, mengarah ke Singapura dan Malaysia. Betapa masyarakat di sana menderita
karena asap ini. Tetapi, Indonesia belum juga menemukan sumber apinya. Apinya
sudah terlihat tetapi yang membesarkan apinya tidak jelas. Ada yang ditangkap
dan diduga sebagai penyebar api tetapi bukankah tahun sebelumnya juga ada yang
ditangkap? Menangkap oknum tidak menjamin tidak terulangnya kasus pembakaran
hutan. Jadi, masihkah Indonesia mempertahankan tradisi meminta maaf pada negeri
tetangga tanpa menanggulangi kasus pembakaran hutan dalam jangka panjang?
Jangan-jangan Indonesia suka diejek sehingga berbagai ejekan tentang buruknya
penyelesaian kasus asap tidak membuat Indonesia menuntaskan kasus ini.
PA,
26/6/13
Gordi
Post a Comment