Halloween party ideas 2015

foto oleh fauzi 1999
Beberapa hari belakangan beberapa kompasioners mengeluh soal kompasiana. Loadingnya lama dan kadang-kadang tidak bisa dibuka. Saya juga mengalami hal yang sama.

Kejadian seperti ini bukan hal baru. Selama saya bergabung di kompasiana, saya mengalami kejadian serupa lebih dari satu kali. Mau tidak mau sebagai kompasioner yang tidak membayar sesen pun, saya ikut mengalami ‘kemacetan’ itu. Inilah suka-dukanya bergabung dengan kompasiana. Suka karena mau tidak mau saya ikut dan mesti menyukainya. Kalau tidak suka lebih baik jangan bertahan di kompasiana. Dukanya tentu saja jelas. Saya tidak bisa memasukan tulisan, membaca dan mengomentasri tulisan kompasioners.

Setelah semuanya ini berlalu muncul tampilan baru di kompasiana. Kompasiana mempunyai konten baru yang tentunya membuat kompasioners merasa betah di blog keroyokan ini. Beberapa waktu lalu sebelum tampilan headline menjadi seperti sekarang ini, kompasiana juga sempat macet. Saya tidak tahu peristiwa pembaruan sebelumnya, apakah mengalami hal serupa juga atau tidak. Dari persitiwa ini saya menyimpulkan bahwa untuk melahirkan yang baru perlu usaha keras. Boleh jadi kompasiana macet karena pengurusnya sedang menyiapkan konten baru tersebut. Kompasiana bagaikan ibu hamil yang sedang lahir. Sakit…sakit…tetapi begitu lahir…munculah rasa senang.

Saya kurang setuju dengan reaksi kompasioners yang berlebihan tentang macetnya kompasiana dalam beberapa hari belakangan. Tetapi saya menghormati kalau itu sebagai reaksi manusiawi. Hanya saja caranya kurang enak jika caranya dengan membuat tulisan yang seolah-olah kita menjadi raja atas admin. Menuntut ini-itu padahal ini blog gratisan. Untung saja admin tidak menanggapi dengan reaksi keras serupa. Padahal kalau admin mau, dia bisa mengeluarkan kita dari komunitas ini. Kekerasan memang tidak perlu dilawan dengan kekerasan.

Saya salut dan berterima kasih kepada admin dan segenap pengelola kompasiana yang sudah memberikan tampilan baru di blog ini. Ini sebuah kerja keras dari admin plus disertai hujatan dan kritikan dari kompasioners yang tidak tahu seluk-beluk kinerja blog ini. Saya tahu ini pekerjaan sulit. Oleh karena itu, dalam setiap perubahan yang dibuat oleh kompasiana, saya mencoba untuk mengikutinya dengan senang hati. Kalau pun ada reasksi marah-marah, itu hanya reaksi manusiwi saya sebagai manusia normal. Saya tak perlu menghujat dan mengkritik kinerja admin karena saya tahu perubahan ini akan melahirkan sesutu yang baru. Terima kasih untuk admin kompasiana.

CPR, 8/6/2012
Gordi Afri

foto oleh dream_fanther
Pencopet datang tak disangka. Semua orang diharapkan untuk waspada dengan aksinya. Dia bisa saja datang melalui teman kita. Teman yang sok kenal begitu saja. Teman yang pura-pura mengajak kita berbiara. Ada beragam cara yang digunakan pencopet untuk meraih barang bawaan kita.

Bagaimana dengan Gramedia Matraman? Adakah pencopet di sana? Bukankah sudah ada petugas keamanan yang lalu lalang di sana? Bukankah di sana pengunjung sebagian besarnya datang untuk membaca dan membeli buku?

Tentu saja ia. Tidak salah. Tetapi namanya pencopet bisa beraksi di mana-mana. Sulit mengatakan di sana tidak ada pencopet. Sulit juga mengatakan di sana ada pencopet. Tunggu bukti fisik pencopet baru diketahui. Kalau tidak ada berarti Gramedia Matraman sudah aman. Pengunjung pun nayaman. Namun, jika ada, pengunjung mesti berhati-hati.

Daripada berhenti pada penilaian ada atau tidak adanya pencopet di sana lebih baik kita tetap waspada. Itu tempat ramai, tempat banyak orang berlalu lalang. Bukan tidak mungkin ada pencopet. Kita andaikan saja sebab pencopet kadang-kadang beraksi di tempat yang ramai. Memang di sana bisa saja sudah ada kamera CCTV yang mengintai pengunjung di segala sudut ruangan. Namun, pencopet kadang-kadang lebih hebat dari jangkauan kamera CCTV itu.

Pihak Gramedia Matraman tak jemu-jemunya mengimbau pengunjung untuk waspada terhadap barang bawaannya. Setiap 30 menitan atau 1 jam selalu ada peringatan melalui pengeras suara agar pengunjung waspada. Himbauan ini adalah peringatan dini sekaligus pencegahan. Pengunjung diharaplan untuk memperhatikan himbauan ini. Gramedia tentu tidak bertanggung jawab jika dompet kita hilang di dalam toko buku.

Paling-paling petugas keamanan membantu mencari bantuan polisi untuk melacaknya. Kalau tidak mau berurusan dengan polisi, lebih baik kita sendiri yang menjaga barang bawaan kita, khusunya dompet, handphone, kartu kredit/ATM, dan kartu penting lainnya.

Kita sendiri tentu yang paling bertanggung jawab atas barang milik kita. Maka, jagalah barang-barang itu agar tidak diintai pencopet.

CPR, 18/6/2012
Gordi Afri

foto oleh iwid25
Jakarta-jakarta, banyak orang merindukanmu. Dari daerah, dari kota sekitar, dan dari luar negeri. Engkau didamba juga dicaci maki. Banyak orang mengeluh tentangmu. Kamu memang bagai pisau bermata dua. Engkau bagai bidadari yang dilirik banyak orang daerah. Engkau juga bagai monster yang memakan warga kecil di metropolitan.

Aku juga warga Jakarta. Memang tidak lahir di sini. Tetapi, aku punya KTP Jakarta. Berarti aku terdaftar sebagai warga Jakarta. Dengan KTP ini aku bisa ikut pemilu yang sebentar lagi akan diadakan. Aku bebas memilih pasangan Fauzi, Joko, Alex, dan lain-lain. Pilihan itu adalah pilihan pribadi. Tak ada yang memaksa.

Ya, karena kau Jakarta bagai monster maka aku menjauh sejenak darimu. Bukan karena aku membencimu, bukan. Aku mencintaimu. Karena cinta ini juga maka aku menjauh darimu. Aku mau menikmati suasana hening sejenak, sepekan, di kota pelajar.

Kota pelajar. Ada yang menyebutnya kota budaya, kota pendidikan. Pelajar memang dituntut untuk belajar budaya, budaya nusantara yang menjunjung tinggi harkat manusia. Bukan menginjak-nginjak hak kaum lemah. Dengan itu mereka akan menjadi orang berpendidikan. Berpendidikan tak mutlak dengan duduk di bangku kelas, kampus. Pendidikan di alam juga bisa. Begitulah para mahaguru di India. Belajar di alam bebas.

Aku butuh suasana hening, sepi. Di sana aku akan merasakan hirup napasku. Di sana aku bisa merenungkan perjalanan hidupku setahun ini. Di sana aku bisa memutar film kehidupanku. Di sana aku bias menikmati suasana yang jauh dari keramaian. Jauh dari klakson mobil/sepeda motor/suara bajai di metropolitan ini. Jauh…jauh dari bunyi itu. Aku muak dengan suara bising itu. Biar gak stress aku menyepi, menjauh dari Jakarta.

Jakarta, aku akan kembali pecan depan. Aku mau menjauh darimu. Aku ingin menarik diri sebentar dari keriuhan ini. Aku ingin menimba inspirasi dari keheningan di kota pelajar. Selamat tinggal Jakartaku…aku akan kembali untukmu.
————————-
*Sesaat menjelang keberangkatan ke Yogya

CPR, 20/6/2012
Gordi Afri

Powered by Blogger.