Halloween party ideas 2015

foto oleh Antok Hermawan
Baru-baru ini kita heran dan sedih mendengar seorang bocah 8 tahun meronta-ronta meminta rokok kepada bapak dan ibunya. Diberitakan bahwa dia bisa menghabiskan 2 bungkus rokok sehari. Kalau dihitung-hitung, seminggu dia bisa menghabiskan 14 bungkus rokok. Saya yakin orangtuanya tidak sanggup memenuhi permintaan anak ini.

Hari Sabtu, 27/4/2012, saya dan beberapa teman singgah di salah satu tempat pengisian bahan bakar berminyak (pombensin) di daerah Sukabumi. Sementara teman saya mengisi solar, saya mampir di toilet. Toiletnya bersih dan wangi. Di depan pintu, ada kotak derma, bertuliskan Rp. 1000, 00. Saya tahu ini artinya bahwa kita membayar sejumlah itu jika menggunakan toilet itu. Uniknya, di situ tidak ada penjaga. Pengguna diberi kebebasan untuk bertindak jujur. Bisa saja tidak membayar sesuai harga yang tertera, toh tidak ada yang lihat. Tetapi, model (tanpa penjaga) seperti ini justru mendidik orang untuk bertindak lebih dewasa.

Alangkah terkejutnya saya, ketika melihat sepuntung rokok tergeletak di saluran pembuangan air. Batang rokok itu masih panjang. Kira-kira ¼ bagiannya sudah diisap. Betapa cerobohnya orang ini. Boleh jadi dia tidak sadar membuang puntung itu. Tetapi, kebersihan toilet terganggu, kenyamanan pengguna toilet juga demikian. Ulah perokok ini merugikan banyak orang. Kalau saja dia sadar dan tahu dampaknya, dia akan membuang puntung rokok itu di tempat sampah.

Saya pikir-pikir, ternyata menjadi perokok itu bisa sombong juga. Dia bisa saja membuang puntung di mana dia mau. Kalau diperhatikan, di tempat-tempat umum, banyak puntung rokok dibuang begitu saja. Di terminal, stasiun, pasar, dan sebagainya. Benar kata-kata dalam lagu lama, bagaikan rokok, kau isap lalu kau buang. Memang untuk membuang puntung itu mudah sekali. Banyak perokok aktif mempunyai kecenderungan untuk membuang puntung rokoknya di sembarang tempat.

Merokok memang justru banyak ruginya. Bukan hanya perokok pasif-yang setiap saat mengisap asap yang keluar dari mulut dan hidung perokok aktif-mengalami kerugian. Pengguna toilet-seperti kasus yang saya temui di atas-juga mengalami kerugian. Tak beda jauh dengan itu, merokok juga mengisap kekayaan. Tak terhitung uang yang dibuang begitu saja demi asap yang diisap lalu dibuang itu. Bahkan ada juga yang menggunakan argumen demi gengsi untuk membeli asap itu. Tak macho, tak gengsi, kalau tidak merokok. Apa memang demikian? Bagaimana dengan binaragawan dan olahragawan yang macho tetapi dilarang merokok??

Hati-hati, merokok bisa memupuk sifat sombong.

CPR, 28/4/2012
Gordi Afri

foto oleh sks_sts
Ada hal yang menarik tiap kali saya bertemu dengan penganut agama lain. Yang paling menonjol adalah ketika bertemu teman-teman Muslim. Sempat ada rasa malu ketika pertama kali berjabatan tangan dengan teman cewek Muslim. Dia hanya membalas dengan menganggukkan kepala sambil mendekatkan tangannya ke dada.

Saya tidak tahu, apa maksudnya dia berbuat demikian. Mungkin dia melihat saya seperti orang asing. Tetapi justru setelahnya kami bisa bercerita dengan akrab. Lama sekali saya tinggal dalam keadaan bingung dengan kebiasaan seperti ini. Beberapa teman cewek Muslim melakukan hal yang sama. Saya merasa tidak enak bila keadaan semacam ini berlangsung lama. Sampai suatu waktu saya meminta izin kepada seorang teman untuk menjelaskan hal ini. Dia mengatakan bahwa memang seperti itulah keadaan biasanya. Maksudnya, teman cewek Muslim tidak boleh atau mungkin tidak diperkenankan untuk berjabatan tangan dengan teman cowok yang bukan muhrimnya.

Dari penjelasan ini, saya bisa memahami perilaku teman-teman saya ini. Tetapi ternyata ini tidak berlaku umum. Ada juga teman cewek Muslim yang menerima jabatan tangan saya ketika bertemu. Semula, saya hanya menganggukkan kepala tetapi ternyata mereka mengizinkan untuk berjabatan tangan. Makin bingung lagi saya. Menurut seorang teman, peraturan ini tidak berlaku mutlak. Sehingga, dia sendiri bisa dan boleh menerima jabatan tangan pria yang dikenalnya baik.

Ini hanya kejutan awal bagi saya dalam menjalin relasi dengan teman-teman berbeda agama. Ada lagi peristiwa yang membuat saya hanya mampu mendengar saja sambil mencoba memahami apa yang ada dalam pikirannya. Seorang teman mengunjungi blog saya dan membaca tulisan di sana. Dia tertarik dengan pengalaman saya. Lalu dia menghubungi saya melalui email yang tertera di sana. Dari situ komunikasi kami lancar. Dia pun bertanya banyak hal. Saya menjelaskan semua yang ia tanyakan. Sebagian tentu saya tidak bisa jawab. Jika saya tidak tahu saya akan mengatakan dengan terus terang, tidak tahu. Daripada saya membuat jawaban baru yang saya karang sendiri alias berbohong, lebih baik mengatakan dengan jujur.

Pada saat yang sama, saya juga bertanya banyak hal tentang agama Islam. Lumayan dapat pengetahuan baru, gratis lagi. Saya memang gemar bertanya kepada teman-teman Muslim yang bisa diajak berdiskusi. Ada banyak yang sampai sekarang masih bertukar informasi dengan saya. Kami menghargai perbedaan yang ada sehingga kami tidak mudah jatuh dalam godaan menuduh tanpa tahu masalah nyatanya seperti apa.

Suatu ketika, saya kaget ketika teman Muslim (2 orang) mengatakan dengan terus terang, Aku Mau Kamu Jadi Muslim. Saya mendengar saja waktu itu karena kebetulan dia sedang bercerita. Lalu, saya bertanya kepadanya, mengapa kamu berkata demikian. Ia menjawab, saya cocok menjadi Muslim. Jawaban singkat ini membuat saya terus mencari kesempatan untuk bertanya lebih lanjut padanya. Apa benar saya cocok jadi Muslim? Saya ini Katolik sejak kecil, kok tiba-tiba cocok jadi Muslim.

Rupanya dia menganggap Muslim sebagai agama yang menawarkan nilai-nilai kebaikan sehingga dia ingin agar saya mengetahui nilai-nilai seperti itu. Saya menyanggah dengan kata-kata yang sopan bahwa saya tidak mesti menjadi Muslim untuk mengetahui nilai-nilai itu. Dia tetap berpegang pada kata-katanya bahwa dia mau agar saya jadi Muslim. Saya hanya mengucapkan terima kasih sambil menjelaskan bahwa, kalau Tuhan menghendaki, suatu saat saya akan menjadi Muslim.

Mungkin dia masih menunggu, kapan kata-kata saya itu menjadi nyata. Buktinya sampai sekarang saya belum menjadi Muslim. Saya hanya merefleksikan bahwa, masih ada umat beragama yang memandang ajaran agamanya sebagai nilai-nilai yang baik, yang pantas ditawarkan kepada orang lain. Agama masih menjadi sumber nilai yang baik bagi hidup manusia.

Tidak salah dia menawarkan nilai itu kepada saya sampai-sampai dia mau supaya saya jadi Muslim. Saya menyambutnya dengan senang hati. Tetapi saya mengharapkan agar dia menghormati keputusan saya jika saya memutuskan untuk tidak menjadi Muslim. Hormat terhadap umat beragama lain menjadi semakin besar jika ada banyak orang yang berpikiran seperti ini. Kami pun sampai sekarang masih menghormati nilai-nilai agama lain.

Saya mengimpikan juga bahwa nilai-nilai Katolik yang baik juga bisa ditawarkan kepada setiap orang. Tawaran ini dilandaskan pada keyakinan bahwa nilai ini baik pada dirinya sendiri. Maka, pantas dibagikan. Persoalan muncul ketika nilai itu ditawarkan dengan cara kekerasan. Di sinilah citra agama menjadi buruk. Agama pada dirinya sendiri baik, yang keliru adalah orang yang menafsirkan nilai agama itu sesuka hatinya. Fundamentalisme boleh jadi berakar dalam cara pandang seperti ini.

Terima kasih untuk teman-teman diskusi saya yang memberikan pemahaman baru tentang relasi antara umat beragama di Indonesia. Semoga dengan tulisan ini semakin banyak orang terbuka pikirannya. Bahwa menawarkan nilai sebuah agama itu baik. Yang tidak baik adalah menawarkan dengan kekerasan atau juga memaksa orang untuk masuk dalam agama kita sendiri.

CPR, 4/5/2012
Gordi Afri

Be the Light for Others


photo by Moline
On love Sunday 3, I mentioned the great light. The greatest light is the title of my article. Now, in Love Sunday 4, I want to write about the light. Yes, the light again. Maybe light is always with us. Yes, the light always with us, every moment. Every day we see the sun that is the great light. 

But, for us that live in Europa, we can’t see the sun every day. Not like them live in Asia or maybe in Africa. In my country, Indonesia, I almost see the sun every day except in the rain season.

Today (Sunday, 2 February 2014), in Saint Christina Parish, I see the candles on the altar. There are two candle’s baskets. When I entered this church, I don’t know what for these candles. I think, it means for the people that follow the mass today. Just, Father Luciano put the candles on the altar with certain intend.

We discuss the same candles at teaching in the sacristy. My friend, Miss Angela explains it. She said that the candle is a symbol of light. I agree with him and maybe you, the readers, agree. The candle is a symbol of light. The light appears in the reading today. Simeon in the Temple in Jerusalem and Anna see this light. The light in this contest is Jesus’s baby that was brought in the Temple by his parents, Marry and Joseph.

Before, someone has promised to Simeon that he should not see death before he had seen this light. Simeon and Anna are the prayers. They always pray at the Temple. The end of their prayer is they see the light. They certainly were happy to see it.

Before the end of the mass, father Luciano blessed the candles and then share it for all people. He said that these candles are symbolic of the light. We carry this light in our home. I think not also at our home, but in our heart, our activity, our daily, and so on. This is the beauty of life. Let us our heart, our time, full of this light. Be the light for others.

Gordi
Powered by Blogger.