Halloween party ideas 2015

foto dari Dahlan Iskand Picture
Berapa jam para menteri di negeri ini bekerja? Adakah pembatasan jam dinas/kantor yang mengatur mereka?

Menteri BUMN Dahlan Iskan adalah salah satu sosok yang bekerja siang-malam. Bekerja siang kiranya sesuai jam dinas di kementriannya. Namun, bekerja malam kiranya menjadi komitmen pribadinya. Kalau boleh dibilang, aktivitas Pak Dahlan ini merupakan bentuk pelayanan yang total.

Seperti dilaporkan kompas.com, Dahlan menumpang KRL dari Stasiun Dukuh Atas, Jakarta Pusat, menuju Stasiun Cakung, pada Senin (2/4/2012) malam. Dia juga meninjau beberapa stasiun lainnya seperti Manggarai di Jakarta Selatan dan Bekasi. Tidak berhenti di situ, Dahlan juga memutuskan untuk bermalam di Perumnas Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur.

Sosok pejabat negara seperti ini menjadi harapan rakyat banyak. Dahlan adalah sosok yang mau mendengar keluhan dan sapaan rakyat. Tak jarang dia sering berada di dekat tempat-tempat kerumunan warga, seperti stasiun, kereta, bahkan mau menumpang ojek.

Kini, saatnya para pejabat negara lainnya belajar dari Pak Dahlan Iskan, berani dan mau turun ke tengah rakyat. Rakyat butuh didengarkan. Di tengah mahalnya biaya hidup di negeri ini, rakyat membutuhkan sosok pemimpin yang ‘dekat’ dengan kehidupan rakyat kecil.

Seorang pemimpin menjadi mulia bukan ketika dia bisa memimpin dari atas kantornya tetapi ketika dia berada di tengah kesuksesan dan kegagalan rakyatnya.

CPR, 3/4/2012

foto oleh Johanes Christian
Ada rasa bangga mendengar nama “Jakarta”. Ibu kota negara, tempat bertugas para menteri dan presiden, tempat bekerja dari para wakil rakyat, tempat tinggal orang-orang kaya di Indonesia, tempat beredarnya sebagian besar uang di negeri ini. Di balik deretan sebutan itu, ternyata Jakarta memiliki potret yang menyeramkan. Apakah itu?

Jakarta menjadi tempat tinggal orang terkaya dan termiskin di Indonesia. Untuk sebutan terkaya, bukan hal baru dan aneh lagi. Orang kaya memang pada umumnya memilih tempat tinggal yang nyaman. Salah satunya adalah Jakarta.

Sebutan termiskin kiranya tidak salah dialamatkan kepada para pemulung dan pengemis di negeri ini. Lihat saja beberapa foto hasil jepretan teman saya beberapa waktu lalu. Ini hanya beberapa potret yang kiranya mewakili penderitaan di negeri ini.

Pemulung di Stasiun Senen pada umumnya bertempat tinggal di sekitar rel kereta api. Mereka mendirikan lapak ala kadarnya yang kadang-kadang, dalam waktu tak terduga digusur oleh petugas pol PP.

Tempat ini dipilih demi efektivitas bekerja. Sebagian besar dari mereka adalah pencari rezeki di gerbong kereta. Kereta yang datang dari daerah Jawa Tengah seperti Solo, juga Yogyakarta, dan Malang, Jawa Timur menjadi target pemulung. Di kereta-kereta ini, mereka biasanya memungut botol mimunan ringan seperti aqua, mizon, dan sebagainya. Botol-botol ini dijual lagi untuk memperoleh uang.

Selain botol, mereka juga biasanya memungut koran bekas dan gardus yang digunakan sebagai alas tidur di kereta. Gardus bekas dijual dengan harga mulai Rp. 5000 per kilo gram. Sedangkan koran bekas biasanya dilipat lagi dengan rapi dan kemudian dijual dengan harga sekitar Rp. 1000 sampai Rp. 2000 untuk dijadikan kipas angin. Selain itu, kadang-kadang mereka mengambil makanan dan minuman sisa untuk sarapan. Kereta biasanya datang mulai pukul 2 sampai 5/6 pagi.

Penulis pernah tinggal dengan mereka pada awal tahun 2007 yang lalu. Rasanya jijik dan muak melihat pekerjaan dan tempat tinggal mereka. Tetapi, beginilah kalau mau merasakan kehidupan mereka secara langsung mesti tinggal dengan mereka.

Waktu 2 minggu menjadi waktu yang menyenangkan pada saat itu. Meski kami bekerja cukup sulit, kami mendapatkan uang yang cukup untuk membeli makanan sehari-hari. Penulis bersama beberapa teman menginap di rumah salah seorang pemulung senior. Praktisnya, kami bekerja sesuai ritme kehidupan mereka. Bangun  pagi-pagi, mulung, mandi, sarapan, istirahat, jual koran, nonton TV, tidur lagi pada malam harinya.

Kelihatannya hidup kami (saya dan para pemulung) amat menderita karena tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tetapi, dalam penderitaan itu, kami menemukan kebahagiaan. Kami menjalin relasi antar-pemulung. Kalau seorang mendapat rezeki, yang lainnya kekurangan, kami biasanya bersolider dengan membagi rezeki itu. Solidaritas inilah yang mengenang dalam benak saya.

Kami tidak hanya memulung, kalau siang hari, kami menonton TV sambil membersihkan botol dan gelas aqua untuk dijual lagi. Atau juga sambil merapikan kertas koran untuk dijual kembali. Kalau ada rezeki banyak, kami juga membeli makanan spesial dari rumah makan terdekat, lalu bergembira bersama dalam pesta kecil-kecilan.

Pemulung sebenarnya mempunyai cukup rezeki dibandingkan para pengemis yang hanya meminta. Hanya saja-yang saya lihat-pemulung di Stasiun Senen pada umumnya, tidak mempunyai budaya menabung. Kalau hari ini dapat uang banyak, uang itu dihabiskan pada hari itu juga. Prinsip mereka praktis sekali, hidup untuk hari ini. Besok, akan ada rezeki lagi.***

CPR, 5/4/2012

foto oleh Jari Cerdas Aritmatika Indonesia
Biasanya anak-anak kelas VI paling aktif mengikuti pelajaran tiap hari Sabtu. Tetapi beberapa minggu belakangan mereka tidak tampak lagi. Ke mana kah mereka?

“Kelas enam kok tidak datang lagi?” tanyaku pada anak-anak yang kami dampingi.
“Ya kak, mereka gak datang lagi, katanya mau siap ujian sekolah,” jawab beberapa anak kelas IV.

Mereka bisa hilang begitu saja gara-gara UN. UN itu mengganggu kegiatan belajar kami. Kami hanya berjumpa sekali seminggu tetapi kami sekarang berpisah gara-gara UN itu.

Saya sudah akrab dengan mereka (kelas VI) karena sering mendampingi mereka menyelesaikan soal ujian atau tugas dari sekolah. Kini, saya haruskehilangan mereka. UN yang dibuat pemerintah itu justru memisahkan kami, kelompok belajar tiap hari Sabtu.

Mungkin, banyak teman-teman kami, anak-anak SD di daerah yang harus berpisah dari rumah orang tua dan bermalam di rumah guru atau di sekolah demi menyiapkan UN ini. Mereka rela menghilangkan waktu bermain dan diganti dengan belajar mengerjakan soal ujian. UN merebut hak kami, anak-anak, untuk menikmati masa kecil yang paling indah melalui permainan dan bersosialisai bersama teman-teman.

Dunia pendidikan ini seolah-olah segalanya sehingga sebagian besar waktu kami dicurahkan untuk itu. Bagaimana dengan dunia kami yang lainnya? Kami punya bakat yang harusdikembangkan. Tetapi kami dikondisikan untuk mendiamkan bakatkami itu sehingga kami tak bisa mengembangkannya lagi. Sungguh UN itu membelenggu kebebasan kami, anak-anak.

Pemerintah harus bertanggung jawa jika kami, anak-anak SD tak mempunyai masa depan cerah gara-gara dikondisikan untuk mengerjakan soal UN. Selamat berjuang adik-adikku yang besok akan mengadakan UN.

Pintar itu banyak seginya bukan hanya sisi kognitif saja. UN mengukur kepintaran dari satu sisi saja.

CPR, 15/4/2012

Powered by Blogger.