Halloween party ideas 2015


Tak terbayangkan jika manusia bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang tampak indah dan unik saat ini. Agar bisa melihat apa yang ada di balik penampakan wajah manusia, kita mesti melampaui penampakan itu sendiri. Yang ada di baliknya adalah situasi sebelum menjadi penampakan itu. Situasi itu adalah proses pertemuan sel telur dan sel jantan (sperma). Inilah awal yang akhirnya akan membentuk janin sebagai bakal tubuh (penampakan) manusia. Di situ akan diperlihatkan proses yang panjang dalam membentuk bagian-bagian tubuh manusia. Bagian-bagian itulah yang membuat tubuh manusia begitu kompkleks.
Beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman sempat melihat dua film pendek yang memperlihatkan awal mula (proses) manusia. Begitu rumit. Satunya memperlihatkan proses mulai dari pertemuan, perkembangan, pembentukan hingga kelahiran. Satunya lagi, memperlihatkan bagaimana janin itu beraktivitas; merasakan kesenangan, kesedihan, dan bahkan pemberontakan. Dia bahkan berontak ketika dirinya akan diambil (aborsi). Singkatnya, janin itu mengalami apa yang dialami ibunya. Dia bisa memberi reaksi atas perlakuan dan kejadian yang dialami ibunya.
Film pertama amat menarik. Dua sel bertemu membentuk satu sel. Sel itu bertumbuh dan berkembang dengan segala kerumitan prosesnya. Bagian-bagian selnya menyatu dengan sel induk sang ibu. Pernapasan misalnya dihubungkan dengan pernapasan ibunya. Begitu juga dengan sel lain. Sel-sel yang menyangkut organ tubuh menjadi satu dengan ibunya. Ada bagian yang bersifat “mandiri” dari ibunya. Mandiri karena dia bisa bereaksi terhadap peristiwa yang dialami ibunya. Dia memberi respons yang unik. Saat ibunya bahagia dia juga merasakan bahagia. Begitu juga ketika sedih ia ikut sedih. Dia tahu apa yang dirasakan ibunya. Kadang-kadang dia menungkapkan kegembiraannya dengan menendang tubuh ibunya. Kalau dia sedih akan tampak bahwa dia kurang bergerak. Inilah warna-warni kehidupan sang bakal tubuh (apa yang tampak) manusia. Rumit bukan?
Film kedua amat menarik namun menakutkan. Menarik untuk disimak pesan yang ada di baliknya. Menakutkan untuk dilihat jika tidak siap. Film itu menampilkan bagaimana proses aborsi. Aborsi dimaksudkan sebagai pembunuhan terhadap janin. Di sini bukan diuraikan jenis-jenis aborsi. Cukup mengetahui apa yang dimaksud dengan aborsi. Janin yang sudah hidup dalam jangka waktu tertentu. Beberapa bagian selnya sudah terbentuk dan yang lain dalam proses pembentukan. Dia akan diambil dari keberadaannya. Beberapa petugas siap mengambilnya dari rahim ibu. Begitu sadis. Janin itu dihancurkan bagian per bagiannya. Bagian kepala yang belum sempurna, bakal tubuh, kaki, tangan, dan bagian lain. Menarik bahwa janin itu tidak begitu saja menerima perlakuan yang ditujukan kepadanya. Dia masih bisa berontak. Dia mencoba menghindar ketika jarum yang akan mengambil kepalanya masuk. Dengan berbagai cara yang bisa dilakukannya ia memberontak. Ini menandakan bahwa dia hidup dengan “sadar”. Sadar akan apa akan dialaminya. Dia melangkah sebelum menyerah. Di lain pihak, sang ibu begitu menderita. Dia dibius sehingga kurang merasakan sakitnya. Tetapi, ibu itu masih bisa berontak saking sakitnya proses itu. Singkatnya, janin dan ibunya sama-sama menderita.
Dua film ini pantas dan mesti dianjurkan ditonton oleh calon bapak dan ibu keluarga. Hal yang bisa dipetik adalah calon bapak dan ibu bisa mengetahui seluk-beluk kehidupan sang janin (bakal manusia secara fisik). Proses yang rumit dari pertemuan dua sel, pembentukan organ sel hingga terbentuk janin yang bakal menjadi tubuh manusia. Calon bapak dan ibu harus mengetahui bagaimana proses aborsi, yang adalah tindakan menghilangkan dan membunuh eksistensi bay/janin itu. Begitu sakit dan amat menderita. Bagi sang ibu ini tidak mudah. Penderitaan fisik dan psikologis setelah bay itu berhasil dihancurkan. Dia akan merasa kehilangan untuk selamanya. Dia juga akan mengalami penderitaan fisik dalam jangka waktu tertentu. Kehilangan dalam arti bahwa keberadaan manusia janin itu dicabut. Bukankah dia itu manusia juga? Jika dibiarkan bertumbuh dan berkembang dia bakal menjadi seperti penampakan bapak dan ibunya. Ada tubuh dan perasaan yang melekat dalam keberadaannya. Untuk tujuan apa pun, bay itu harus dihilangkan dari keberadaannya. Dan apakah itu pantas? Itu sama dengan membunuh seorang manusia. Silakan melihat pesan di balik dua kisah dalam film pendek yang diceritakan tadi. Silakan menilai sendiri……….
Jakarta, 6 November 2010
Gordy Afri


Beberapa waktu lalu saya sempat diikutsertakan dalam pameran kain Kafan di sebuah tempat di Jakarta. Waktu ditawarkan dalam kegiatan ini, saya senang karena rasa ingin tahu saya akan terealisasi. Seperti manusia pada umumnya sebagai makhluk ingin tahu, saya pun ingin tahu apa itu kain Kafan. Saya sudah lama mendengar nama ini namun hingga saat itu masih banyak pertanyaan. Saya pernah melihat gambar kain Kafan itu di buku tetapi tidak lama saya melihatnya karena takut. Kok, gambarnya kayak gini, emang ga ada yang lebih baik? Serem!!!
Tanda tanya besar yang menempel di dahi saya ketika hampir tiba di lokasi pameran adalah, “Betulkah kain Kafan itu penutup jenazah Yesus?” Saya mengiyakan saja apa yang sudah lama diyakini umat Katolik bahwa kain Kafan adalah kain penutup jenazah Yesus. Satu motivasi saya mengikuti kegiatan pameran kain Kafan ini adalah mencari jawaban dari pertanyaan saya tadi. Akankah jawaban itu memuaskan saya? Tidak tahu, intinya saya mencoba mencari jawaban dan kalau boleh meminta jawaban dari pemandu acara pameran ini.
Teman-teman serombongan saya rupanya sama dengan saya, masih asing dengan istilah ini. Beruntung saya sudah mendengarnya lebih dahulu. Para pemandu hilir mudik di sekitar ruang tunggu. Merekalah yang melayani dengan memberi penjelasan tentang kain Kafan pada tiap rute yang disediakan panitia. Ini membantu pengunjung karena disuguhkan stand-stand sebagai manivestasi dari kain itu. Stand-stand itu berisi gambar mulai dari proses penemuan kain kafan itu, proses penelitian terhadap kain itu, sejarah tempat penyimpanannya hingga dimuseumkan. Menarik tentu saja.
Tibalah giliran kami masuk. Saya berdiri paling depan untuk mendengarkan penjelasan pemandu dan melihat dari dekat gambar-gamabar seputar kain Kafan. Penjelasannya cukup memuaskan, menarik, tidak tergesa-gesa, hanya saja tidak ada kesempatan bertanya. Kesempatan bertanya sedikit saja mengingat rombongan lain masih antri di belakang kami. Gambar-gambarnya cukup seram. Gambar-gambar ini adalah semacam replika dari kain Kafan asli yang disimpan di museum di Turin, Italia. Pada kain ada gambar jejak seorang manusia yang kelihatan seperti dianiaya hingga tetes darah terakhir. Mungki itu yang diyakini sebagai Yesus. Tentu itu tidak mudah mengidentifikasi orang itu atau sedikitnya ciri-ciri orang itu. Di sinilah para ahli berkecimpung. Ratusan ahli dengan berbagai keahliannya meneliti kain misterius ini. Ada yang meneliti dari sudut pandang bahan asli kain itu, umurnya kain itu, kekuatan kain itu ketika berhadapan dengan suhu dan cuaca yang berbeda, dan sebagainya. Singkatnya, kain itu diteliti oleh para ahli ilmiah. Menarik di sini karena para peneliti bukan hanya berlatar belakang agama yang berbeda tetapi juga kaum ateis (tidak beragama atau tidak percaya akan adanya Tuhan). Variasi latar belakang keahlian dan kepercayaan tidak menyurutkan niat mereka untuk bersatu meneliti kain Kafan itu.
Hasil akhir penelitian mereka ternyata agak mirip. Ada yang menemukan bahwa kain itu memang merupakan kain pembungkus jenazah seorang pemuda yang dianiaya, disiksa dengan beberapa pukulan, cambukan, dll. Pemuda itu berambut panjang dan ada beberapa bagian tubuhnya yang kena tusukan. Identifikasi ini agak mirip dengan ciri-ciri manusia yang bernama Yesus. Agak mirip belum tentu berarti itu Yesus dan belum tentu itu bukan Yesus. Siapa tahu ada pemuda yang mirip Yesus. Singkatnya ada kesulitan dalam mengklaim bahwa itu wajah Yesus. Kalau demikian, mengapa umat Katolik meyakini bahwa kain Kafan adalah kain pembungkus jenazah Yesus?
Saya tertarik dengan kata-kata almarhum Paus Yohanes Paulus II pada suatu kesempatan melihat kain kafan ini, “Gereja Katolik tidak berhak untuk mengatakan bahwa kain Kafan itu adalah kain yang betul-betul digunakan untuk membungkus jenazah Yesus, biarlah para ahli (yang berasal dari berbagai keahlian dan berbagai latar belakang agama-tmbhan pen.) yang membuktikan dengan penelitiannya.” Jawaban ini cukup berarti bagi saya sebagai sang pencari jawaban. Jawaban ini mengandung sikap rendah hati yang tulus dari seorang pemimpin agama Katolik. Akhirnya, saya sebagai orang Katolik hingga saat ini meyakini bahwa pertanyaan itu memang tidak mudah dijawab. Apa yang kelihatan kadang tidak kelihatan. Dalam artian dalam apa yang kelihatan tampak pula misteri yang tidak mudah dikuakkan. Terima kasih untuk pemandu dan teman-teman yang mengikutsertakan saya dalam pameran kain Kafan ini.
Jakarta, 29 Oktober 2010
Gordy Afri


gambar di sini
Perjalanan ke mana pun akan selalu terkenang jika ada peristiwa yang menyentuh hati. Ini efek dari peristiwa itu. Satu lagi hal yang menguntungkan yakni suasana ketika peristiwa itu berlangsung. Perjalanan menyenangkan, tidak membosankan, dan waktu tak terasa. Tiap saat akan diisi dengan hal yang menarik perhatian.

Beberapa waktu lalu saya mengalami hal ini. Sampai sekarang saya masih mengenang dan mengingat peristiwa itu. Lima belas menit sebelum kramat djati berangkat, saya dan seorang bapak duduk di dalam bis. Teman-teman penumpang lain mendahului kami dalam bis. Kursi yang tersisa pas buat kami berdua. Kami mulai menyapa dan memperkenalkan diri. Saya seorang mahasiswa dan dia seorang wiraswasta, katakanlah demikian. Dia bekerja sebagai penghubung antara pengrajin barang antik dari wilayah Jawa Timur dan para penjual di Bali. Pembicaraan kami berkisar seputar profesi masing-masing. Saya yang muda ini mulai bertanya tentang pekerjaan yang digelutinya. Dari kata-katanya tersirat makna mendalam tentang nilai kehidupan. Dia mengatakan, “Hidup ini membutuhkan perjuangan sekuat tenaga. Terkadang harapan kita tidak menjadi kenyataan. Di sinilah peran kita untuk selalu berjuang dalam menjalankan pekerjaan macam apa pun.”

Saya amat tersentuh dengan kata-kata ini. Menjadi manusia memang harus berjuang. Manusia yang tidak berjuang adalah manusia yang mudah jatuh dalam dunia putus asa. Perjuangan seperti apakah yang bapak ini geluti? Saya menanyakan perihal barang antik yang dia sebut. Barang-barang itu adalah lemari dengan berbagai model, kursi, meja, asbak, dan sebagainya. Barang antik itu ialah barang biasa yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampak begitu indah. Antik yang bapak sebutkan tadi adalah indah sehingga muncul istilah barang antik.

Giliran saya menjawab pertanyaan. Dia heran ketika saya mengatakan, “Saya dari pulau bunga dan sedang mencari ilmu (kuliah) di Jakarta.”
“Jauh amat dik.”
“Ya, begitulah pak….”

Dia tambah heran mendengar jurusan yang saya ambil, Filsafat. Dia sama sekali belum begitu akrab dengan istilah Filsafat. Ternyata masih ada masyarakat yang belum mengenal istilah ini. Dia berpesan supaya saya belajar dengan baik dan berusaha untuk berhasil. Pesan ini disampaikan karena dia melihat realitas yang ada di sekitar tempat ia hidup. “Sekarang ini banyak penganggur. Mendapatkan pekerjaan sangat sulit. Banyak sarjana menjadi penganggur. Jangan sampai adik menjadi penganggur setelah selesai belajar Filsafat.”
Saya paham dan setuju dengan pendapat bapak. Banyak penganggur di negeri ini. Sorotan tajam kaum tua kepada kaum muda yang diwakili oleh para sarjana adalah masalah mencari dan mendapatkan pekerjaan. Dia tentu kecewa jika kaum muda yang nota bene berpendidikan, menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi, tidak mendapat pekerjaan. Padahal generasi seangkatannya mendapat pekerjaan tanpa melalui pendidikan yang tinggi. Menurut hemat saya masalah ini bisa diselesaikan. Perlu kacamata yang tajam dan seimbang untuk melihat persoalan semacam ini. Perbedaan pendapat (atau mungkin penilaian) tentang pekerjaan perlu dijembatani dengan dialog yang hidup. Dua catatan yang menurut hemat saya amat membantu melihat persoalan seperti ini.

Pertama, tidak salah kaum tua mengatakan demikian. Tetapi, alasannya tidak melulu pada pendidikan. Alasan berpendidikan formal atau tidak bukan menjadi alasan dasar untuk membangun argumen. Kaum muda yang tamat SMA pun bisa mendapat pekerjaan yang layak dalam masyarakat. Saya kira persoalan utama adalah kemauan untuk bekerja. Banyak orang berpendidikan yang tidak mau bekerja di luar bidang keahliannya. Padahal tidak semua jurusan yang diambil memiliki lapangan kerja yang memadai. Kondisi ini seharusnya menumbuhkan semangat kaum muda untuk menciptakan lapangan kerja baru yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Kedua, ketiadaan lapangan kerja seharusnya menyadarkan orang untuk belajar berkreativitas dan meraba semua jenis pekerjaan. Orang yang kreatif bisa bekerja di sektor mana pun. Modalnya adalah kemauan untuk bekerja. Jangan terus mengharapkan untuk bekerja di bidang yang dikuasai, di bidang yang sesuai dengan jurusan di perguruan tinggi. Ada orang yang berhasil bukan karena ahli dalam bidangnya tetapi karena mau bekerja dalam bidang yang ditawarkan kepadanya. Kreativitas dalam bekerja muncul jika orang setia bergelut dengan pekerjaannya. Keahlian muncul setelah bergelut dalam jenis pekerjaan tertentu. Maka, jangan menganggap diri ahli karena telah menamatkan studi dalam bidang tertentu. Berhasil dalam studi tidak sepenuhnya membuat seorang sarjana menjadi ahli. Gelar sarjana yang didapatkan menjadi langkah awal untuk terjun dalam dunia lapangan kerja. Di situlah dia akan mendapat keahliannya. Seperti seorang yang terpelajar atau doktor belum bisa dikatakan ahli kalau dia belum mengajar atau membuat penelitian. Pergumulannya dalam dua bentuk kegiatan ini menentukan dan membuat dia menjadi ahli dalam bidang yang digelutinya. Petani tidak menjadi ahli kalau dia belum turun ke sawah, membasahi jari tangannya dengan air dan lumpur.

Pembicaraan kami sudah terlalu lama. Bis yang kami tumpangi mendekati bibir dermaga Gilimanuk. Kami pun keluar menikmati suasana baru di luar bis. Penyeberangan dengan kapal feri berlangsung selama 45 menit. Ketika masuk kembali dalam bis di pelabuhan Ketapang, Surabaya, saya mulai kantuk. Bapak itu ingin mlanjutkan perbincangan. Saya mengajukan satu pertanyaan kepadanya,
“Tiba jam berapa di Situbondo pak?”
“Dua jam lagi.”

Dia mengambil nasi bungkusnya ketika mata saya mulai redup. Saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Saya terlelap di alam peraduan tanpa mimpi. Saya capek apalagi siangnya tidak istirahat. Sepanjang sore hari kami berdiskusi. Tubuh saya begitu lelah. Saya kaget ketika sadar dan tidak melihat bapak itu lagi. Saya tidak bisa berdiskusi lagi dengannya. Padahal masih banyak bahan yang bisa disikusikan. Teman di samping kanan saya menyampaikan pesan bapak itu ketika dia mau turun tadi, “Bapak bilang selamat menempuh perjalanan selanjutnya, semoga tiba dengan selamat di tempat tujuan.” Ini pesan terakhir darinya yang tidak langsung saya dengar karena tertidur. Terima kasih pak, selamat jalan juga…….. Perjumpaan sesaat yang berharga buat saya. Hidup ini memang selalu membutuhkan perjuangan. Tiap hari harus diisi dengan perjuangan, apa pun bentuknya………

Jakarta, 4 September 2010
Gordi Afri



Powered by Blogger.