Halloween party ideas 2015


Google.images
Dalam sebuah perjalanan dari Sunter, Jakarta Utara, ke Bintaro, Jakarta Selatan, saya merasa lelah sekali. Tumit, betis, dan lutut terasa sakit. Belum lagi kalau kami tersesat. Cemas, tidak percaya dengan teman saya mulai muncul.“Masih berapa lama kita sampai di Bintaro?”

Teman saya menunjukkan peta perjalanan. Saking sakitnya, pertanyaan muncul lagi. “Apakah kamu yakin kita tidak tersesat?”

Teman saya menjawab, “Percayalah pada saya, kita akan tiba dengan selamat.”
Setelah seharian menyusuri Jakarta, kami tiba di tempat tujuan. Teman saya senang dan bangga. Peta perjalanan yang dia buat membantu kami dalam perjalanan ini.

Para murid bingung, cemas, dan gelisah menghadapi situasi baru. Yesus yang selama ini selalu bersama mereka akan pergi dan berpisah dengan mereka. Mereka harus buat apa? Mereka tidak tahu, Kemana Yesus akan pergi, dan di mana Bapa itu tinggal.

Sebelumnya, Yesus menjelaskan demikian. Ia pergi kepada Bapa-Nya. Di sana, Ia menyiapkan tempat untuk kita, manusia dan para murid. Setelah semuanya siap, Yesus datang kembali membawa kita untuk tinggal selamanya dengan Dia di tempat itu.Tinggal bersama Yesus berarti tinggal bersama Bapa. Sebab “Bapa dan Yesus adalah satu.”  

Sebelum sampai ke tempat itu kiranya dua hal perlu dipersiapkan. Pertama, tahu jalan ke sana. Jalan itu melalui Yesus sendiri. Melalui Dia sama dengan dekat dengan Dia, akrab dengan Dia, meniru sikap-Nya, dan sebagainya. Kelak kita akan tinggal bersama Dia sebab Yesus berkata, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.” Kebenaran tak lain adalah “pengalaman hidup yang meliputi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia”.

Kedua, yakin akan jalan yang kita lalui itu. Keyakinan berarti masuk lebih jauh dalam relasi dengan objek yang kita yakini itu. Jika Yesus adalah jalan (yang kita pilih) maka kita yakin akan Yesus. Yakin akan Yesus berarti yakin akan Bapa. Keyakinan ini yang Yesus berikan kepada para murid-Nya sebelum Ia berpisah dengan mereka.

Kita—sama dengan para murid—sering merasa bingung, cemas, dan gelisah dalam hidup. Situasi sosial berubah sedikit saja, kita sudah cemas. Kadang-kadang keyakinan sampai dikorbankan. Kita tidak percaya diri lagi bahkan tak percaya dengan hal yang kita yakini selama bertahun-tahun.

Lepas dari situasi ini, kita tetap mempunyai keyakinan dalam diri masing-masing. Kita akan sampai pada tempat idaman kita, Rumah Bapa. Di sana, Yesus menyiapkan tempat untuk kita dan hidup selamanya dengan kita. Dialah jalan, kebenaran, dan hidup. (Dimuat di http://www.xaverindo.org)

Cempaka Putih, 20 Mei 2011
Gordi Afri

Google images
Pengalaman tinggal bersama keluarga petani sekaligus peternak membekas dalam ingatan saya. Pengalaman itu menjadi segar kembali dalam otak setelah mendengar kisah Gembala yang Baik.  Ada kemiripan yang begitu dekat.

Waktu itu saya masih di sekolah dasar. Tiap bangun pagi, saya selalu berpapasan muka dengan seorang bapak. Mula-mula heran, pagi-pagi begini kok sudah siap ke ladang. Apakah salah kalau tunggu agak siang setelah matahari terbit?Ternyata dia hendak ke ladang, memberi rumput kepada kerbaunya. Biasanya, dia memindahkan kerbaunya ke tempat yang ditumbuhi rumput segar.

Saya tahu sekarang. Dia tak ingin kerbaunya kelaparan. Semalaman, kerbaunya menempati daerah yang ada rumputnya. Paginya, kerbau itu harus dibawa ke tempat baru sehingga dia tetap mendapat rumput. Kadang-kadang bapak itu memotong sendiri rumput lalu dibawa ke tempat kerbau itu.

Menjelang siang, biasanya sekitar jam 10-11, dia pergi lagi. Dia akan memindahkan kerbaunya ke dekat air sungai. Kerbau tidak tahan panas dan cepat haus. Kalau siang, kerbau biasanya merendam di sungai sehingga tubuhnya tidak kepanasan.

Sorenya, bapak itu pergi lagi. Dia menggunakan waktu ini untuk berlama-lama berada di dekat kerbaunya. Ketika kerbau makan rumput, bapak itu berada di dekatnya. Kadang-kadang, saat seperti inilah, dia memberi garam untuk menjinakkan kerbaunya. Sebelum kembali ke rumahnya, bapak ini menempatkan kerbaunya di daerah yang berumput segar. Minimal cukup untuk makanan sepanjang malam sebelum esok pagi dipindahkan.

Dalam relasinya dengan ternak peliharaannya, bapak ini digolongkan sebagai gembala yang baik. Kisah Gembala yang Baik menampilkan hal serupa. Dalam relasi manusia dan Bapa, Yesus adalah perantara. Manusia ibarat domba (ternak peliharaan) dan Yesus adalah gembala (Sang pemilik rumput).

Yesus tahu domba-dombanya (manusia). Seperti bapak mengenal dan dekat dengan ternak peliharaannya. Domba-domba mendengar suara gembala. Mendengar juga kapan sang gembala mendekatinya. Entah pagi-pagi buta seperti bapak tadi maupun saat lain. Hanya domba yang tahu.


Lebih dari itu, gembala memanggil domba-dombanya dengan nama mereka masing-masing. Nama adalah sebuah tanda identitas. Memanggil orang dengan namanya merupakan sebuah penghormatan. Saya selalu bangga tiap kali orang yang lebih besar (kedudukan sosial) dan lebih tua (usia dan pengalaman) memanggil saya dengan nama saya. Ini pertanda dia memperhatikan saya dan sekaligus juga menunjukkan bahwa ia menghormati saya.
Google images

Memanggil dengan nama menurut hemat saya tidak saja merupakan bentuk penghormatan tetapi di situ terjalin relasi. Antara kerbau dan bapak yang tiap sore menemaninya makan rumput dan memberinya rumput ada relasi. Demikian juga dengan Yesus yang mengenal manusia. Ada relasi yang intim entah manusia sadar atau tidak.

Kisah ini menampilkan sosok pemimpin (gembala) yang baik. Gembala yang baik diringkas dengan satu kalimat. Gembala yang mengenal domba-dombanya, pemimpin yang memperhatikan rakyatnya. Dari mengenal, seorang pemimpin menjadi tahu dan dari tahu dia menjadi pelayan. Kita semua adalah pemimpin di suatu tempat, suatu instansi, suatu kesempatan. Bapak tadi adalah seorang pemimpin yang memperhatikan bawahannya (ternak peliharaannya). Dia menjadi pelayan total, dari pagi hingga sore. Dalam dialah ternaknya mencapai kepuasan dalam makanan. Dalam Yesus juga manusia memperoleh hidup abadi, hidup penuh kebahagiaan. Hidup yang selalu ceria meski ditimpa kesusahan dan masalah besar.
Cempaka Putih, 13 Mei 2011
Gordy Afri 


foto ilustrasi dari internet
Berbaring di tempat tidur saat sakit kadang dilihat sebagai tindakan pasif. Tak banyak yang bisa dilakukan selain tidur, berbaring, dan menunggu kunjungan. Sebetulnya, tindakan itu bukan melulu pasif. Tampaknya pasif tetapi bisa juga aktif. Ide cemerlang kadang muncul dari tempat tidur. Meskipun oleh sebagian penulis novel atau cerita pendek, ide itu muncul di toilet.

Beberapa teman menceritakan pengalamannya saat  sakit. Kerinduan akan kunjungan dari sesama adalah kerinduan terbesar saat sakit. Menyendiri di kamar membuka tabir kesepian. Tak ada yang bisa diajak bicara. Sendiri, hanya bisa memandang apa yang bisa dipandang dalam kamar.

Selebihnya ide liar melayang ke mana-mana, lamunan menembus tembok kamar. Ini pertanda si sakit juga berpikir. Selain itu, pergulatan dengan penyakit menjadi menu setiap saat. Di atas semua ini ada pengalaman terdalam yakni kerinduan akan kehadiran orang lain di kamar.

Kadang orang enggan membantu si sakit. Macam-macam alasan bisa diajukan. Bukan mantri/bidan/perawat/dokter, takut terjangkit, tidak ada yang bisa diberikan buat si sakit, takut mengganggu, bukan jam besuk, dan sebagainya. Yang dibutuhkan si sakit sebenarnya hanya satu, yakni kehadiran kita. Syukur kalau bisa menyapanya, bisa berbagi cerita dengannya. Yang lain tidak terlalu mendesak baginya.

 Seorang kakek yang bergulat dengan penyakit AIDS yang dideritanya tidak mengharapkan kesembuhan dari pengunjungnya. Ia tahu penyakitnya tidak mudah disembuhkan. Harapan untuk sembuh kecil. Namun, ia mengharapkan kehadiran orang lain di sampingnya. Memberinya senyum saja sudah merupakan kebahagiaan baginya.

Beberapa teman membenarkan hal ini. Ketika sakit, kerinduan terbesar adalah dikunjungi teman. Betapa sepinya berada di kamar pada siang hari. Saat-saat itulah muncul kerinduan untuk dijenguk. Teman yang sekadar menyapa dari pintu saja merupakan sebuah penghiburan bagi si sakit. Beberapa teman mengakui kalau sapaan semacam itu mengusir kesepian yang menghinggapinya selama sakit.

Penulis salut dengan sepasang suami istri yang dengan berani mengajak berbicara kepada pasien di sebuah rumah sakit. Mulai dengan perbincangan hangat. Rupanya mereka tahu, bercerita adalah hal yang dibutuhkan si sakit. Lama-lama mereka berdoa untuk kesembuhan si sakit. Meski tidak seiman dengan mereka, penulis yang waktu itu sedang sakit  menghargai usaha mereka untuk berdoa. Kehadiran mereka menciptakan suasana baru.

Lebih mudah mengalami Tuhan yang mencintai manusia saat sakit ketimbang saat sehat. Secara fisik, si sakit lebih banyak diam dan pasif. Saat itulah disadari betapa ia rindu akan Tuhan yang bisa menguatkan dan menyembuhkannya. Kesadaran ini agak beda ketika sehat di mana manusia lebih berperan aktif dalam aktivitasnya. Tuhan pun disingkirkan jauh dan sama sekali hampir tidak mendapat tempat di hatinya.

Sebenarnya Tuhan itu ada di mana-mana. Dia melampaui ruang dan waktu. Dia ada baik waktu sakit maupun sehat. Dia ada di mana-mana. Dia bukan melulu ada di Bait Allah, Gereja, Masjid, Kuil, Vihara, Pura, Pohon, Batu, dan tempat tinggal Tuhan lainnya. Ia ada di mana-mana. Dan yang paling sederhana kehadirannya adalah Dia ada dalam hati setiap manusia. Manusia pun berhak untuk “menyadari” dan “tidak menyadari” kehadirannya.

Di sini teruji keyakinannya. Atau memilih yakin “Tuhan ada di hati” atau memilih “Tuhan tidak ada di hati”. Dua-duanya merupakan keyakinan yang paling dalam dari manusia. Bagi yang yakin akan mengatakan bahwa pernapasan adalah bukti bahwa Dia hadir. Dia memutuskan sesuatu setelah mengalami kebimbangan adalah bukti Dia hadir.

Namun, bagi yang tidak pun akan mengatakn bahwa keputusan itu melulu merupakan tindakan saya tanpa intervensi pihak lain. Begitu juga pernapasan adalah pemberian alam. Memang manusia mengalami pernapasan sebagaimana adanya makhluk lain di bumi.

Bagi si sakit, kehadiran dan kunjungan dari orang sekitarnya merupakan bukti cinta Tuhan. Tuhan hadir lewat pengunjung. Bukti cinta paling nyata yang bisa dirasakan oleh si sakit. Dia kiini tahu Tuhan hadri dan mendampinginya selama sakit. Tuhan bukan lagi Dia yang jauh tetapi Dia yang dekat yakni di sampingnya.

Cempaka Putih, 6 Mei 2011
Gordy Afri  
Powered by Blogger.