Halloween party ideas 2015

Hai...para pembaca sekalian, saya mohon maaf karena bulan Desember ini hanya ada 1 tulisan. Kalau kalian memperhatikan, biasanya saya membuat 4 tulisan. Praktisnya sekali seminggu. Namun, bulan ini tidak. Ada beberapa kendala, pertama saya terlalu sibuk pada bulan Desember ini. Alasan ini mungkin agak aneh. Toh, namanya penulis biasanya sesibuk apa pun selalu ada waktu untuk membuat tulisan. Entahlah, ada juga alasan lain yakni saya membuat tulisan untuk blog yang lain. Ada beberapa tulisan saya di situ. Kalau pembaca mau, silakan klik di sini, ada 2 tulisan tentang Natal tahun ini. Sisi Lain di Balik Perayaan Natal 2011 dan Beragam Versi Ucapan Selamat Natal tahun 2011

Sambil menunggu waktu pergantian tahun, saya berkomitmen untuk kembali ke kebiasaan semula, membuat tulisan setiap bulannya di blog ini. Apa pun kesibukannya, 4 tulisan mesti jadi. Tak lupa saya mengucapkan, Selamat Natal dan Tahun Baru untuk pembaca sekalian.

CPR, 29/12/2011
Gordi Afri


Sumber gambar di sini

Bulan Desember identik dengan masa adven. Masa penantian akan datangnya sesuatu. Penantian sama dengan menunggu. Kata “menunggu” biasanya punya kesan negatif di telinga kita. Di Jakarta, menunggu selalu menjadi rutinitas yang mau tak mau mesti dialami. Menunggu bis, menunggu kereta, menunggu angkot, menunggu teman, menunggu pesanan, dan sebagainya. Menunggu menjadi berkesan negatif ketika yang ditunggu itu tidak datang-datang. Apakah kita tahu, siapa yang kita tunggu di masa adven ini?

Saya mulai dengan cerita kecil. Setiap hari Sabtu, saya dan seorang teman mengajar anak-anak SD di Warakas, Jakarta Utara. Kami mengajar di rumah susteran. Koordinator kelas mengajar ini adalah para suster di sana. Kami hanya membantu sebagai pengajar. Para suster selalu menunggu kami setiap hari Sabtu. Seringkali, kami datang lebih awal, sebelum pelajaran dimulai. Memang pernah beberapa kali, kelas sudah mulai ketika kami masuk. Tak apa-apa, toh kehadiran kami masih diharapkan. Kami bisa mengisi kekosongan di kelompok yang digabung.

Suatu ketika, kami lupa memberi tahu suster kalau kami berhalangan. Kami mempunyai agenda pagi hari yakni mengungunjungi pesantern dan biara Budha di Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. Suster menunggu kami namun tidak muncul juga. Mereka akhirnya mengajar anak-anak dengan menggabungkan beberapa kelompok. Pengajar tak cukup. Kelas masih bisa berjalan dengan kekurangan tenaga pengajar.

Dari kisah kecil ini, kiranya kita tahu beberapa hal. Menunggu selalu diikuti harapan akan objek yang ditunggu. Harapan yang kuat menanamkan rasa percaya diri. Kita menunggu dengan sabar. Kita, rakyat Indonesia biasanya kurang dari sisi ini. Banyak masyarakat kecewa menunggu perubahan di bangsa ini.

Memang perubahan bukanlah hal mudah. Pemerintah dan jajarannya bekerja mewujudkan perubahan demi kebaikan bersama. Reformasi sebagai slogan bersama berjalan beberapa tahun, namun fakta yang ada belum banyak berubah. Kita kehilangan harapan. Lantas, tak ada lagi semangat untuk berubah. Padahal “hidup tanpa perubahan akan membosankan”.

Kita menunggu berarti kita tahu siapa yang datang. Dia yang datang itu menyemangati kita untuk sabar menunggumya. Kalau kita tidak tahu, belum pernah mendengarnya, bahkan tidak bisa membayangkannya, bisa jadi kita membodohi diri sendiri. Pernah menjemput tamu di bandara?

Saya dan beberapa teman pernah menjemput tamu yang belum pernah kami lihat. Meski demikian, kami sudah diberitahu tentang ciri-ciri orang tersebut. Kami pun berhasil menemuinya meski didahului dengan reka-rekaan.

Dalam masa adven ini, kiranya kita tidak menunggu sesuatu yang kosong. Kita tidak menunggu orang yang kita tidak kenal. Kita tahu siapa yang kita tunggu. Dialah Yesus Kristus sang Juru Selamat. Dari tahun ke tahun kita melewati masa ini. Masa seperti ini bisa jatuh dalam godaan seremonial belaka. Jika kita tidak bisa mengambil makna dari masa ini, kita hanya menjalankan ritual adven.

Kita semua dipanggil untuk mengisi masa ini dengan penuh harapan. Harapan yang besar akan datangnya Dia yang kita tunggu. Dalam masa penantian ini, kiranya kita menyiapkan segala sesuatu. Lihatlah keluarga muda yang menyiapkan pakaian bayi pada masa kehamilannya bertambah. Perlu persiapan panjang sehingga Yang Ditunggu akan diterima dengan baik. Yesus kiranya tidak membutuhkan pakaian fisik. Yesus juga kiranya tidak mengharapkan pakaian kita yang bagus saat menyambutnya. Yesus hanya ingin hati kita—yang adalah tempat kediaman-Nya—dipersiapkan dengan baik. Persiapan hati kiranya menjadi modal utama. Tentu saja kehidupan jasmani kita, sosial-ekonomi-keamanan mesti menjamin ketentraman hati kita. Akhirnya, kita pun tahu Yesus-lah yang kita tunggu. Sudah siapkah hati kita?

CPR, 13/12/2011
Gordi Afri


Kota Jakarta makin gencar didatangi dan dikunjungi orang. Berbagai alasan pun muncul ketika orang atau rombongan terrtentu hendak datang ke Jakarta. Ada alasan yang memang betul-betul mendukung orang atau rombongan untuk datang ke Jakarta. Mendukung karena memang orang tidak bisa menemukan apa yang ia cari di tempat lain misalnya mengunjungi monumen nasional (Monas) atau mencari dokumen sejarah di museum Sumpah Pemuda atau juga meneliti teks sejarah yang ada di museum Sumpah Pemuda. Namun, ada juga alasan-alasan yang dangkal, yang sebenarnya tidak terlalu mendesak untuk datang ke Jakarta. Misalnya saja untuk bersenang-senang atau mencari gengsi dengan cara tinggal sementara di Jakarta. Dia kembali ke kampung halaman membawa kebiasaan jelek yang ia lihat di Jakarta lalu memprovokasi orang kampung yang tidak tahu apa-apa tentang kota Jakata. Orang akan segan dengan dia karena baru saja pulang dari Jakarta. Banyak orang kampung mengira bahwa orang yang tinggal atau pernah tinggal di Jakarta itu orang hebat dan baik padahal tidak semuanya seperti anggapan itu. Apa sebenarnya yang terjadi dengan orang yang ramai-ramai berkunjung ke Jakarta tiap tahun?

Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia tentu saja wajar kalau dikunjungi banyak wisatawan dari luar negeri. Orang yang datang ke Indonesia akan membayangkan kota Jakarta karena di situlah pusat negara Indonesia. Tentu saja mereka menganggap ada yang kurang kalau berkunjung ke Indonesia tetapi tidak melihat kota Jakarta. Begitu juga dengan para pejabat yang berkunjung ke Indonesia entah untuk urusan kenegaraan atau hanya untuk rekreasi saja atau juga untuk keperluan pribadi. Kalau ada urusan kenegaraan pasti mereka akan melihat Jakarta sebagai pusat negara Indonesia. Mereka ini wajar dan pantas berkunjung ke Jakarta karena urusan penting seperti urusan kenegaraan. Tentu saja alasan itu menjadi pendukung kedatangan mereka.

Tiap tahun banyak orang dari seluruh penjuru Indonesia datang dan mau tinggal di Jakarta. Mereka ini tidak hanya mau melihat Jakarta tetapi mau tinggal di Jakarta untuk mencari pekerjaan. Bekerja di Jakarta memang kadang menjanjikan dari segi keuangan atau ekonomi tetapi kadang juga tidak menjanjikan sama sekali. Bekerja atau menjadi pekerja di kampung halaman masing-masing juga menjanjikan dari segi keuangan atau ekonomi asalkan saja orang harus setia pada pekerjaan mulia itu. Kalau begitu mengapa masih banyak orang yang memilih Jakarta sebagai tempat kerja ketimbang kampung halaman mereka?

Dalam hal inilah Jakarta punya kelebihan. Bekerja di Jakarta itu selain menjanjikan dari segi ekonomi juga punya citra lain yakni gengsi dan juga jaminan lainnya misalnya rumah sakit dekat, bahan-bahan kebutuhan pokok mudah didapat. Bekerja di kampung halaman tentu saja menjanjikan dari segi ekonomi namun tidak sebanding dengan yang ada di Jakarta. Bayangkan sebagian besar uang di negeri ini dialirkan di Jakarta. Banyak lapangan kerja misalkan di kantor-kantor, pabrik-pabrik, kantor perusahaan multinasional  ada di Jakarta.

Namun, sebetulnya kalau dilihat lebih jauh persoalan bekerja di Jakarta dan di kampung halaman itu sama saja nilainya. Bekerja di Jakarta terjamin dari segi ekonomi namun hal ini dibayar mahal dengan jaminan lainnya yakni keamanan. Jakarta paling rawan dengan masalah yang berkaitan dengan tindakan kriminal. Harga bahan pokok dan produk lainnya juga mahal sebanding dengan upah karyawan/wati. Upahnya besar pasti harga bahan pokoknya juga mahal. Sementara, di kampung halaman keamanannya terjamin, harga bahan pokoknya juga tidak mahal bahkan ada yang tidak perlu dibeli karena bisa diproduksi sendiri. Dalam hal ini juga orang kampung bisa menjadi teladan dalam menciptakan lapangan kerja. Mereka bisa saja menanam padi, buah-buahan, sayur-sayuran, dan bahan pokok lainnya. Pekerjaan ini tentu saja membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga orang kampung tidak perlu lagi ke Jakarta untuk mencari kerja.

Bekerja di Jakarta kadang lebih banyak pengorbanannya. Mereka yang menjadi pembantu rumah tangga siap menerima perlakuan kasar dari majikan. Memang perlu diketahui juga bahwa tidak semua majikan berlaku demikian tetapi pasti ada yang melakukan hal ini. Mereka yang tidak mendapat pekerjaan layak terpaksa lari ke klub-klub malam dan di bar-bar untuk menjual harga diri alias menjadi pekerja seks komersial untuk mendapat uang. Belum lagi ada kejadian yang menakut-nakuti orang kaya atau orang yang diduga punya banyak uang. Kejadian itu misalnya kasus pencurian dan hipnotis. Ada juga kasus penculikan anak yang kemudian meminta tebusan dari orangtuanya. Masih banyak masalah lainnya. Sudah siap menghadapi hal ini? Di sinilah warga Jakarta dituntut untuk berkorban dan mengatasi semua masalah ini.

Kelompok ketiga yang mengunjungi dan juga menetap sementara di Jakarta adalah para mahasiswa/i yang belajar di Jakarta. Saya rasa wajar kalau mereka ini tinggal sementara di Jakarta asalkan untuk belajar atau belajar sambil bekerja. Sebaiknya setelah selesai kuliah, mereka harus kembali ke kampung halaman dan menciptakan lapangan kerja, mengajak orang kampung untuk bersama-sama mendirikan lapangan kerja baru dan tidak perlu lagi ke Jakarta untuk bekerja. Hal ini kerapkali sulit dilakukan oleh mereka yang belajar di perguruan tinggi padahal sudah mendapat ilmu. Kalau mereka bisa menerapkan ilmu itu pasti banyak lapangan kerja baru di daerah. Kalau lapangan kerja sudah ada, orang tidak lagi ke Jakarta, dan juga peredaran uang tidak hanya di Jakarta saja tetapi ada di seluruh daerah. Memang hal ini membutuhkan pengorbanan besar khususnya untuk orang yang pertama kali membuka lapangan kerja di daerah-daerah. Untuk selanjutnya, keadaan pasti berubah. Pertanyaannya, apakah orang mau berkorban demi kebaikan sesama?

Uang yang beredar di Jakarta saja tentu membawa dampak kurang baik bagi seluruh masyarakat Indonesia. Banyak orang yang datang ke Jakarta menjadi pengemis karena mereka pikir orang Jakarta itu punya banyak uang. Namun, kadang yang terjadi justru sebaliknya, mereka diusir dari Jakarta. Orang Jakarta mau supaya yang tinggal di Jakarta hanya orang kaya saja yang miskin ditolak. Para pengemis akan mengalami kesulitan. Di kampung, mereka sulit mendapatkan uang, di kota mereka diusir.

Melihat kondisi ini penulis menganjurkan kepada seluruh calon pengunjung kota Jakarta untuk mempertimbangkan baik-baik sebelum datang ke Jakarta. Perlu dipikirkan apa alasan datang ke Jakarta. Alasan itu pun harus betul-betul mendukung orang untuk datang dan tinggal di Jakarta. kalau alasan itu belum ada lebih baik tidak usah datang ke Jakarta.  Kalau punya alasan dangkal alias belum mendesak lebih baik jangan dulu datang ke Jakarta. Kalau masih ada peluang untuk menjadi pekerja di kampung halaman lebih baik bekerja di situ saja dan tidak perlu datang ke Jakarta. Lebih bagus lagi kalau orang kampung menciptakan lapangan kerja baru yang membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga orang kampung sendiri yang menjadi pekerjanya. Kalau demikian orang kampung tidak lagi datang mengemis atau menjadi pekerja tidak layak di Jakarta. Sistem yang berlaku selama ini—di mana banyak perusahaan atau pabrik yang hanya beroperasi di Jakarta—tentu saja kurang baik. Sistem ini membuat Jakarta sebagai kota tempat tinggal bagi semua orang. *Gambar dari google.

Jakarta, 02 Desember 2008
Gordi Afri


Powered by Blogger.