Halloween party ideas 2015


Pajak, kata yang sering terdengar di telinga kita akhir-akhir ini. Sebenarnya mulai tahun lalu, sejak kasus Gayus Tambunan, kata pajak ini sering terdengar.

Kata itu kiranya bukan mampir begitu saja di telinga kita. Kata itu membawa pesan penting bagi kita. Kata pajak mengingatkan kita akan orang-orang terkait. Ya, itu tadi, mulai dari Gayus yang diduga mengorupsi uang pajak. Dia, yang adalah pegawai di kantor pajak, ternyata mengambil uang rakyat. Uang hasil pajak yang disetorkan rakyat kepada negara.

Malang sekali nasib rakyat, sudah bersusah-susah mencari uang, membayar ke negara, ternyata uang itu hilang tanpa jejak. Begitulah Gayus berkiprah.

Tahun ini, ‘gayus-gayus’ lain mulai muncul. Ada Dhana Widyatmika, pegawai pajak juga, yang akhir-akhir ini namanya muncul di media massa. Kiprah Dhana hampir sama dengan Gayus, mengorupsi uang rakyat. Jika kasus ini berantai, maka, masih ada giliran berikutnya lagi. Ibarat rantai-bulat, jika salah satu pengaitnya putus, pengait yang lain akan terlepas.

Begitulah kiprah dua pegawai pajak akhir-akhir ini. Ada penyidik yang menangkap aksi mereka. Gayus kini ditahan dengan hukuman penjara (dengan 4 tuduhan) lebih kurang 28 tahun. Bukan hanya itu, hartanya yang diduga terkait dengan uang pajak akan ditarik ke kas negara. Tak heran jika ada komentar, ini model pemiskinan koruptor.

*Semua gambar dari google
Kita tunggu giliran ‘gayus-gayus’ berikutnya (termasuk Dhana yang kini sedang diselidiki) diteliti dan diadili dengan hukuman setimpal. Ide pemiskinan koruptor kiranya tidak salah untuk memberi efek jera bagi para koruptor. Bukan berarti menguras semua hartanya, tentu saja, toh koruptor juga punya penghasilan yang wajar. Hanya saja tampaknya juga tidak boleh dihalang jika negara menyita semua aset yang terbukti berasal dari uang korupsi.

Dari rakyat untuk rakyat
Slogan pajak “dari rakyat untuk rakyat” kiranya kurang bergema untuk saat ini. Rakyat tentu saja kecewa melihat kiprah pegawai pajak kita. Bisa jadi, slogan ini diubah jadi, “dari rakyat untuk pegawai pajak”. Tidak salah memang! Rakyat lelah dengan perjuangan mencari nafkah masih juga dibebani dengan praktik kotor aparatur pajak.

Dampak tidak langsung dari kasus ini adalah pemiskinan rakyat. Mana yang dipilih sekarang, pemiskinan koruptor atau pemiskinan rakyat? Rasanya kurang cocok untuk pilihan kedua. Namun, bagaimana pun, kiprah pegawai pajak ‘model gayus’ ini justru memiskinkan rakyat. Seolah-olah negara tidak memerhatikan rakyatnya. Alih-alih kekurangan dana padahal dananya dicuri sang koruptor. Wahai koruptor berhentilah!! Ingat perjuangan kami rakyat kecil. Rakyat menabung untuk dikembalikan bukan untuk dijadiakn milik pegawai pajak.

CPR, 8/3/2012

Gordi Afri


Sumber gambar sini

Saya tidak mau banyak berkomentar tentang pendidikan khususnya pendidikan dasar di Indonesia. Selain karena saya bukan pengamat pendidikan, saya juga tidak ahli dalam bidang pendidikan. Hanya saja saya begitu tertarik dengan dunia pendidikan. Ketertarikan ini juga yang mendorong saya untuk ‘mengintip’ perkembangan pendidikan di Indonesia.

Saya memilih memerhatikan pendidikan dasar. Bukan berarti yang lainnya tidak diperhatikan. Pendidikan itu kan merupakan proses berkelanjutan sehingga tidak bisa dilepaskan satu sama lainnya. Pendidikan dasar menurut saya merupakan pendidikan yang luput dari perhatian banyak orang. Untuk pendidikan menengah, media cukup banyak mengulas, mulai dari kasus kriminal yang melibatkan siswa (tawuran) sampai kisah sukses siswa di kancah internasional.

Media tentu mengangkat pendidikan dasar (SD), hanya saja yang muncul adalah gedung sekolah rusak, kekurangan guru, sengketa lahan, dan sebagainya. Padahal pendidikan dasar merupakan pijakan untuk pendidikan lainnya. Kalau dasarnya kuat maka ke atasnya akan lebih baik. Kuncinya adalah pendidikan dasar.

Dalam tulisan ini, saya hanya menyampaikan selamat berjuang untuk para siswi/a yang masih mau sekolah meski jembatan sudah ambruk. Beberapa kali di media belakangan ini diangkat tulisan dan foto anak sekolah yang berjuang agar bisa ke sekolah. Ada yang berjalan sampai berapa kilometer, melewati jalan berliku-liku, menuruni lembah menaiki lereng, ada juga yang merayap di jembatan tua, bahkan ada yang rela menyeberangi sungai dengan konsekuensi pakaian sekolah basah kuyup.

Betapa besar perjuangan anak-anak Indonesia. Saya ingat teman-teman SD saya dari 2 kampung yang harus menyeberangi sungai ke sekolah. Sayangnya, pemerintah seolah-olah menutup mata terhadap perjuangan anak-anak ini. Bagaimana mungkin pemerintah tidak bisa membangun sarana transportasi yang baik untuk warga termasuk untuk anak-anak sekolah di negeri ini. Dalil yang sering muncul adalah medannya sulit. Memang topografi Indonesia seperti itu. Itulah alam Indonesia. Alam tidak bisa berubah. Yang berubah adalah manusia yang menghuninya. Maka, pemerintah semestinya wajib menyediakan infrastruktur yang baik bagi rakyatnya.

Saya tidak menyalahkan pemerintah pusat atau daerah. Karena urusan ini bukan urusan yang bisa dilempar-tanggungjawabkan. Urusan ini dicapai dengan kerja sama antara pemangku jabatan yang dalam hal ini adalah pemerintah dari pusat hingga daerah.

Akhirnya, selamat dan tetap semangat untuk adik-adik saya yang berjuang memperoleh ilmu. Saya juga berterima kasih untuk pemerintah dan semua pihak yang masih memiliki hati untuk memperjuangkan pendidikan dasar di negara ini. Harapannya mata kita semakin lebar melihat dan ikut berjuang bersama anak-anak. Perjuangan saat ini adalah perjuangan membangun infrastruktur. Jangan sampai kita ikut ambruk bersama jembatan yang dibawa sungai. Pendidikan dasar mesti diperhatikan semaksimal mungkin. Ini hanya opini dari seorang anak bangsa. Mungkin terlalu ideal tetapi inilah wujud cinta saya kepada bangsa ini.

CPR, 24/2/2012
Gordi Afri

ABU DI DAHI: TANDA PERTOBATAN

Gambar dari google

Tiap tahun umat Katolik menerima abu. Abu itu ditandai di dahi. Berbentuk salib. Ungkapan yang keluar dari mulut Pastor dan pembantunya yang memberi abu demikian, “Bertobatlah dan Percaya kepada Injil”.

Ungkapan ini mengandung dua makna menurut hemat saya. Pertama unsur pertobatan. Ada waktu 40 hari bagi kita untuk bertobat. Bertobat menuntut perubahan dalam hidup. Perubahan mulai dari diri sendiri. Sangat bijak Gereja menyediakan waktu untuk merenung selama 40 hari. Meniru kebiasaan Yesus berpuasa 40 hari di Padang Gurun. Mampukah kita berpuasa di padang gurun sekarang ini?

Ada banyak godaan di sekitar. Di situlah diri kita diuji. Masih kuat atau tidak. Bukan sekadar tahan dari ujian tetapi mesti mampu untuk berubah. Dalam masa puasa ini kita mesti kembali kepada diri sendiri. Dalam kesendirian kita menmukan diri. Dari situlah kita bisa berubah.

Unsur kedua adalah percaya pada Injil. Rasanya kita sudah percaya pada Injil sejak kita dibaptis. Tetapi semudah itukah kita percaya pada Injil? Percaya pada Injil menuntut keyakinan yang kuat. Injil bukan lagi dimaknai sebagai sebuah buku yang bisa dibaca di mana saja. Lebih dari sebuah buku, injil adalah Sabda Yesus. Petuah yang keluar dari mulut Yesus.

Dan, sekarang ini, Sabda itu bukan saja untuk dibaca dan dihayati tetapi mesti menjadi bagian dari diri kita. Oleh sebab itu, Injil mesti dihidupi. Percaya pada Injil menurut hemat saya berarti menjadikan Injil itu sebagai bagian dari diri kita. Orang lain mestinya mampu melihat diri kita sebagai sebuah Injil, sebagai kabar sukacita bagi sesama. Apakah kita sudah menjadi kabar yang menggembirakan bagi sesama kita?

Mari bersama-sama dalam masa puasa ini kita kembali kepada diri kita, melihat ke kedalaman hati. Selamat bepantang dan berpuasa.

CPR, 24/2/2012
Gordi Afri

BACA JUGA: RABU ABU DI ITALIA
Powered by Blogger.