Halloween party ideas 2015

foto oleh Bambang Subaktyo
Membantu sesama tak harus dengan modal uang. Memiliki uang banyak tidak otomatis bisa membantu sesama. Banyak orang mencari uang. Namun, banyak orang memiliki uang banyak yang hatinya haus akan ketenangan. Modal utama membantu sesama adalah kemauan yang kuat.

Di sekitar jalan ke kampus kami, ada banyak gang kecil. Tak ada angkutan kota yang melewati jalanan ini. Yang bisa masuk hanya bajai dan mobil pribadi. Kami yang sering menggunakan sepeda, bisa dengan leluasa melewati daerah ini. Hanya saja ada dua hal yang membuat kami ekstra hati-hati. Pertama, banyaknya polisi tidur. Kedua, banyak anak kecil berkeliaran.

Di setiap gang pasti ada sekelompok tukang ojek. Ada yang tiga orang, dua orang, dan empat orang. Yang paling ramai ketika pagi hari. Mereka berjasa mengantar anak sekolah atau juga orang dewasa yang berangkat pagi ke tempat kerja. Mereka biasanya mengantar ke halte trans-jakarta terdekat atau ke jalan utama di mana angkot lewat.

Menjadi tukang ojek itu tidak selalu dipandang rendah. Beberapa teman tukang ojek pernah bercerita, kalau sebagian dari mereka itu adalah penganggur. Ada yang baru saja dipecat dari kantor karena perusahaannya bangkrut. Ada juga yang memang tidak punya pekerjaan tetap. Ada yang memang ‘panggilan’ hidupnya di situ. Ada yang sudah belasan tahun menjadi tukang ojek. Mau tidak mau untuk menghidupi keluarga, mereka jadi tukang ojek. Apa pun pekerjaannya asal menghasilkan duit. Begitu filosofi mereka setelah tidak punya pekerjaan tetap.

Beberapa kali saya bersama tukang ojek membantu korban tabrak-lari di jalanan. Kebanyakan korban kecelakaan di jalanan mendapat pertolongan pertama dari tukang ojek. Sebelum warga sekitar datang, tukang ojek menjadi kelompok pertama yang memberi pertolongan. Mereka membantu tanpa mengharap imbalan. Mengantar ke rumah sakit, menyelamatkan dompet dan handphone korban, membantu menghubungi keluarga korban, dan sebagainya.

Menjadi tukang ojek memang tak melulu mencari uang. Mereka turut membantu memperlancar perekonomian bangsa dengan mengantar pekerja ke kantornya. Mereka juga membantu dalam bidang pendidikan dengan membantu para orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah. Mereka juga membantu dalm bidang sosial dengan memelopori solidaritas warga untuk korban kecelakaan di jalanan.

Sudah saatnya bangsa ini kembali ke filosofi tukang ojek. Jangan melulu mencari keuntungan yang malah menyengsarakan sesama. Kalau orientasinya uang melulu, banyak rakyat yang tidak mendapat bagian. Uang negara disedot ke kantong sekelompok orang tertentu. Jurang antara kaum berada dan kaum tak berada semakin lebar. Dari sini muncul kecemburuan sosial.

Tukang ojek pun tidak ada yang ego. Kalau seorang baru saja selesai mengantar penumpang, dia tidak mengantar lagi jika masih ada teman yang belum mendapat giliran. Dalam hal ini tukang ojek beda dengan sekelompok kaum berpunya yang merebut diskon 100 pembeli ipone terkemuka di negeri ini. Tak heran jika tukang ojek itu memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

CPR,16/2/2012

foto oleh hukum97
Pernahkah para sahabat sekalian melihat anak kecil mencium tangan orang tuanya sebelum bepergian? Jika tidak dengarlah cerita saya berikut ini. 

Setiap hari Sabtu, saya mendampingi anak-anak di daerah Warakas, Jakarta Utara. Mereka biasanya berkumpul di satu rumah dan belajar bersama. Saya dan beberapa teman di sana membimbing mereka. Berbagai mata pelajaran di sekolah kami pelajari bersama. Sebelum mulai pelajaran-yang biasanya berlangsung jam 8-9-anak-anak dilatih untuk membaca buku bacaan yang ada di rak buku. Tidak semua anak mengikuti kegiatan membaca ini. Tetapi, untuk mereka yang datang lebih awal, diwajibkan untuk membaca.

Sebelum anak-anak meninggalkan ruang belajar, mereka dibiasakan mengucapkan terima kasih kepada para pengajar. Selain ucapan, mereka biasanya mencium tangan para pengajar. Kami berjabatan tangan lalu anak-anak mengangkat tangan kami ke kepala atau ke pipi mereka. Tentu saja mencium tangan di sini jangan diartikan sebagai ungkapan kesombongan. Mosok kami menyuruh anak-anak mencium tangan kami supaya dilihat sebagai orang yang berkuasa. Tidak!

Saya tidak tahu, siapa yang melatih mereka seperti itu. Pertama kali membantu di sana, saya kaget ketika anak-anak mencium tangan saya. Untung saja, setelah selesai mengajar, saya selalu mencuci tangan, membersihkan bekas kapur atau spidol di jari. Kebiasaan ini pun sudah menjadi tradisi di sana. Anak-anak juga sudah tahu, beginilah mereka mengungkapkan tanda terima kasih mereka kepada orang yang dituakan, termasuk orang tua sendiri.

Ungkapan semacam ini pernah saya lihat sebelumnya di sebuah panti asuhan di daerah Jakarta Selatan. Lagi-lagi tangan saya dicium atau diletakkan di atas kepala mereka sebelum bepergian, misalnya ke sekolah. Saya geli tetapi lama-kelamaan jadi biasa.

Ada yang mengartikan ungkapan seperti ini sebagai tanda minta restu (berkat) dari orang tua. Ketika anak mencium tangan bapak dan ibu di pagi hari, di situlah anak meminta restu orang tuanya sekaligus minta berkat atas kegiatannya pada hari itu. Kalau begitu saya pun jadi bangga karena saya ini menjadi sumber berkat bagi anak-anak itu.

Tampaknya anak-anak yang terbiasa dengan hal ini patuh pada orang tua. Saya melihat anak-anak di Warakas berbeda dengan anak-anak lainnya yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ini. Saya tidak sedang mengadili mereka yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ini. Masing-masing orang tua mempunyai cara mendidik yang berbeda terhadap anak-anaknya. Tentu saja masih ada anak-anak yang baik yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ini.
Yang mau saya katakan adalah anak yang terbiasa dengan hal ini mempunyai sikap patuh kepada orang tuanya. Sebelum bepergian dia meminta izin kepada orang tua. Ini merupakan sikap bertanggung jawab, lebih tepatnya patuh kepada orang tua. Beberapa orang tua di Warakas mengakui hal ini. Mereka jarang cemas dengan anak-anak mereka yang sedang berada di sekolah karena mereka yakin anaknya selalu minta restu sebelum bepergian. Anak-anak tidak mau pulang kalau orang tuanya belum menjemput. Anak-anak juga jarang keluar rumah tanpa sepengetahuan orang tua.

Gordi Afri
17/2/2012


The Mother and the Children
the picture by John Dalkin

I write again in this post, the Love Sunday. I want to continue this post. I like to write in this post.  But, days ago I spent much of my time to remove my articles on the blog gordyafri-indonesian.blogspot.com to this blog gordyafri.blogspot.com. I have removed many articles like the love Sunday series but not remove all. Gradually I will remove all.

Today, in Italy we celebrated the feast of The Ascension of the Lord. This feast falls on 40 days after the Easter. So, this feast falls on Thursday ago. In Indonesia and in America this feast is celebrated on Thursday like in the Roman Catholic calendar. But, here, the Italians celebrate it today. This is a habit here. No one can cancel this difference. The Catholic Church gives respect for local culture.

I am interested in the gospel Mt 28:16-20. Briefly, this reading tells the relation between Jesus and his disciples. Jesus will be always them, “I am with you always until the end of the age.” But, in another time Jesus also said that He will leave them. This is the contrary. Yes.

Our rector, Father Ulisse SX gives us a brief comment about this reading. He said that the relation between Jesus and his disciples like the relation between the mother and the children. A child need the mother, but when he is the younger, the mother must leave him. May he grew up and have the independent.

Listen this comment, I remember the children at St Christina Church that have received the sacrament of Holy Eucharist (the first communion) two Sunday ago and the other group that have received the sacrament of Confirmation on Saturday three weeks ago.

They are the children, but in the next ten years, they are the younger. Gradually they will go out and don’t live with their parents.
Gordi

Powered by Blogger.