Halloween party ideas 2015

foto ilustrasi oleh feiranauzder
Selasa, 24 Oktober 2011. Jalan Dewi Sartika, Bogor, hampir digenangi air hujan. Hujan sore itu cukup deras. Saya bersama beberapa teman kebetulan tidak sengaja lewat di jalan ini.
Pemandangan memilukan. Jalan ini dijadikan pasar. Tempat jual beli. Jualan yang dominan adalah kebutuhan rumah tangga. Sayur-sayuran dan buah-buahan segar. Sore itu, sekitar pukul 4. Sayur dan buah-buahan itu terlihat segar. Boleh jadi karena kena air hujan sehingga tidak layu dan kering. Sebagian masih tergeletak di atas aspal. Sebagian lagi, ada di atas tenda.

Para pemiliknya terlihat huru-hara. Antara menyelamatkan diri dari air hujan atau menyelamatkan jualannya dari arus air. Kalau mau lebih berharga, boleh jadi mereka menyelamatkan diri dulu. Kena air hujan berarti siap sakit. Sakit berarti membutuhkan obat. Ini pengeluaran yang cukup besar.

Sebaliknya, menyelamatkan jualan berarti siap diguyur hujan dan basah. Kalau jualan dibawa air, apalagi yang diharapkan? Jualan itu menjadi sumber pemasukan mereka. Mereka menjual untuk mencari nafkah. Pertanyaannya adalah mengapa mereka mencari nafkah di tempat ini? Ini kan jalan dan bukan pasar. Siapa yang memperhatikan mereka?

Indonesia identik dengan kesemrawutan. Jakarta sebagai ibu kota negara saja sudah semrawut lalu lintas dan pemukimannya. Kesemrawutan ini rupanya menjalar ke luar kota. Pemandangan di jalanan di Bogor ini menjadi cerminan kesemrawutan itu. Kalau ada bangunan pasar yang layak, para penjual ini bisa menikmati teduhan yang layak saat hujan seperti ini. dan, lalu lintas menjadi lancar. Mereka tak perlu lagi menjual di jalan.

Boleh jadi ada bangunan pasar. Sebab, hampir di tiap kota di Indonesia mempunyai pasar daerah. Bisa jadi kejadian sore ini mencerminkan membeludaknya penjual di pasar resmi. Kalau demikian, animo masyarakat menjadi penjual tinggi. Bisa jadi profesi itu saja yang berhasil mereka raih. Namun, tak mudah membuat rekaan seperti ini. Bisa jadi masalahnya kompleks. Kadang-kadang keinginan untuk cepat laku membuat penjual mencari jalan pintas. Apakah menjual di jalan merupakan jalan pintas?

Bisa jadi di jalan ada banyak pembeli sehingga cepat laku. Namun, cara yang menguntungkan penjual ini merugikan pengguna jalan.

@@@@@

Kondisi serupa juga terjadi malam hari. Jalan Surya Kencana, pukul 10 malam. Sebagian jalan digunakan oleh penjual sayur-sayuran. Jualan ini tidak untuk dijual malam ini. Meskipun ada juga yang melakukan transaksi jual-beli kecil-kecilan. Sebagian jualan itu masih terbungkus rapi dalam karung. Hanya sebagian kecil yang sudah dibuka dan digelar di atas aspal. Pemiliknya berselimutkan kain tebal duduk di samping jualannya. Malam ini, Bogor memang amat dingin.

Boleh jadi, jualan ini baru dijual esok pagi. Sayuran segar biasanya didapatkan ketika pagi-pagi ke pasar. Lebih segar lagi, kalau sayur itu baru saja diambil dari semaiannya pagi itu juga. Namun, di Bogor rupanya agak sulit. Sebab, lahan sayur ada di kawasan puncak. Bisa jadi, sayur-sayur yang diletakkan di jalan ini baru saja didatangkan dari kawasan puncak. Di manakah mereka menjual sayur-sayur itu?

Boleh jadi, sayur itu dijual di jalan ini juga. Penjualnya tak mau repot memindahkan lagi jualannya yang cukup banyak. Kalau saja ada tempat yang aman, mengapa para penjual ini menurunkan jualannya di jalan seperti ini? Mereka memang kelihatan nekat. Menjual di jalan. Namun, terlalu dini untuk menilai kenekatan ini semata-mata salah mereka. Bisa jadi, di sini saja mereka dapat menjual dagannganya dengan laris. Posisinya strategis untuk pembeli. Pengguna jalan bisa langsung membeli dari mobil. Jalan itu memang tidak ditutup semuanya. Sebagian masih bisa digunakan untuk mobil searah. Sebagiannya untuk pasar. Namun, tetap saja kondisi ini merugikan pengguna jalan. Beginilah nasib jalan dan kondisi pasar di kota hujan.

Cempaka Putih, 11/11/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh Charles Jeffrey Danoff
Baru-baru ini ada survei tentang jumlah publikasi ilmiah tiap negara di jurnal internasional. Publikasi itu merupakan hasil penelitian para ahli. Ternyata dari Indonesia amat sedikit. Kalau pun jumlah peneliti Indonesia banyak, itu masih dirasa kurang kalau dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia. Selain itu bisa juga terjadi bahwa belum banyak peneliti Indonesia yang memublikaskan hasil penelitiannya di jurnal berskala internasional. Ini berarti bahwa Indonesia masih kekurangan penulis dan peneliti.

Harapan ke depannya peneliti Indonesia mesti bertambah sehingga publikasi bertambah. Peneliti dituntut untuk memublikasikan hasil penelitiannya di jurnal internasional.

Saya sebagai mahasiswa amat sedih membaca tulisan itu. Menjadi penulis memang tidak gampang. Padahal pelajaran menulis diajarkan sejak sekolah dasar. Pelajaran itu dikembangkan selama belasan tahun bagi mereka yang menamatkan pendidikan sekolah menengah. Idealnya tamat dari sekolah menengah siswa Indonesia harus bisa menulis. Waktu yang cukup sebenarnya untuk berlatih menulis.

Menulis untuk jurnal internasional membutuhkan perhatian yang cukup besar. Kalau orang sering menulis tugas itu bisa tercapai. Jadi, kuncinya adalah pernah dan sering menulis. Menulis dari hal yang kecil. Lama-lama akan terasah. Banyak penulis berkaliber mengakui kalau tulisan yang bagus muncul dari latihan yang berkelanjutan. Menurut mereka, tidak perlu khawatir dengan hasil tulisan pertama di media massa. Lebih baik dinilai tulisannya jelek daripada tidak pernah menulis sama sekali.

Saya bersyukur bisa bergabung di blog keroyokan kompasiana ini. Kalau dihitung, jumlah penulis di blog ini bertambah. Dengan demikian jumlah tulisan juga bertambah tiap hari. Kompasiana menjadi media untuk berlatih menulis bagi masyarakat Indonesia. Kita patut berterima kasih kepada Kompas Gramedia yang menyediakan fasilitas ini. Bayangkan kalau blog ini bisa dijangkau oleh setengah penduduk Indonesia. Kalau jumlah penduduk sekitar 200 juta maka pengguna blog ini 100 juta. Itu berarti bahwa jumlah penulis di Indonesai 100 juta. Dari 100 juta ini katakanlah 50%-nya bisa menulis di jurnal internasional. Maka, jumlah publikasi Indonesia bertambah. Jadi, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan penulis.

Cempaka Putih, 26/11/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh konyeel
Dengan bergabung di blog kompasiana, rutinitas saya bertambah. Biasanya kalau membuka internet hanya facebook-an, mengecek email, mencari sumber tambahan untuk bahan kuliah, dan sebagainya. Untuk tugas ini, saya hanya perlu waktu 1-2 kali dalam seminggu. Sebelum membuka internet, saya mencatat keperluan yang akan dicari di internet. Atau juga bahan-bahan yang akan dikirim lewat email ke teman-teman dan dosen. Namun, kalau ada tugas mendadak bisa lebih dari 2 kali. Biasanya, saya mengecek email di kampus, kebetulan ada internet gratis.

Sekarang, tugas itu bertambah. Saya membuat tulisan dan memasukannya ke blog kompasiana. Lumayan untuk mengembangkan hobi dan juga menimba pengalaman baru. Selain itu, kesibukan yang bermanfaat bagi masa depan saya bertambah. Kegiatan yang sekadar membuang waktu berkurang.

Saya teringat akan kata-kata seorang dosen. Dia tinggal di Depok dan harus naik kereta ke Jakarta setiap hari Jumat pagi. Katanya, dia sering membaca dalam kereta. Namun, bukan membaca koran. Biasanya membaca koran di kereta mengasyikkan bagi mereka yang haus informasi dan berita. Koran dalam kereta bagi dia adalah tulisan mahasiwa. Dia mengecek tugas mahasiswa di kereta.

Tidak salah kalau tulisan teman-teman di blog kompasiana menjadi bahan bacaan saya. Ada banyak pilihan. Misalnya, Berita, Politik, Humaniora, Ekonomi, Hiburan, Olahraga, Lifestyle, Wisata, Kesehatan, Tekno, Media, Green, Lipsus, fiksiana, dan Freez.Biasanya sekali membuka kompasana, saya membaca 4-5 tulisan. Di tiap kolom yang diberikan, ada tulisan yang menarik. Tulisan itu menjadi pilihan saya. Selain menarik, tulisan itu bisa menjadi sumber tulisan, sumber tambahan makalah kuliah, dan sebagainya.

Tentu tidak semua tulisan bisa dijadikan sumber tambahan untuk makalah. Tetapi, saya yakin banyak di antara kompasioner yang menulis dengan runut, jujur, lengkap dengan sumber akurat jika itu tulisan ilmiah,  dan bermotif berbagi pengalaman dan pengetahuan. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang menyumbangkan tulisannya di blog ini. Saya mendapat banyak pelajaran berharga dari blog ini. Selamat untuk para kompasioner.

Cempaka Putih, 26/11/2011
Gordi Afri

Powered by Blogger.