Halloween party ideas 2015

FOTO, zujava.com
Buku itu adalah guruku. Dari buku itu kukenal pendidikan. Mungkin agak mustahil. Bagaimana mungkin? Tetapi bagiku itu mungkin dan tidak mustahil. Buku itu mengajarku tentang arti pendidikan.

Tak sengaja kutemukan suatu sore. Kala itu, ibuku bekerja di dapur. Aku sibuk sendiri. Ibuku memberikan begitu saja buku itu padaku. Mungkin, pikirnya, biar aku juga sibuk sendiri. Dia juga mungkin berpikir, dia tak mau sibuk denganku. Dia bekerja sehingga tidak boleh diganggu.

Kubuka buku itu. Belum tahu membacanya. Maklum, belum sekolah. Belum tahu menerjemahkan gambar. Tetapi, aku senang melihat gambar-gambar. Mungkin indra melihatku waktu itu mulai berfungsi dengan baik. Dengan indra itulah aku bisa merasa tertarik dengan gambar itu.

Gambar seorang anak kecil—sepertiku waktu itu—menyusuri jalan setapak ke sekolahnya. Di tangannya ada beberapa buku. Dia sendirian. Entah kakak dan adiknya di mana. Atau mungkin dia seorang diri. Tidak ada yang menemaninya. Ibu tidak. Bapak juga tidak. Kakek juga tidak. Nenek juga tidak. Tidak ada sopir atau tukang ojek yang mengantarnya. Ceritanya lain kalau dia diantar sama bapak atau ibunya atau sopir pribadinya. Tidak. Dia sendiri.

Dia sendiri ke sekolah membawa bukunya. Entaha apa isi buku itu. Tidak dijelaskan. Aku hanya berhenti dan terharu dengan buku yang dibawanya itu. Hanya dia dan buku itu. Bagi dia, dia dan buku sudah cukup menjadi media untuk memperoleh pendidikan. Mungkin perlu juga didikan guru dan orang tua. Itu perkara kemudian. Di gambar itu, hanya dia dan buku itu.

Aku pun menebak, gambar itu adalah seorang siswa. Lengkap dengan bukunya. Sebab, tidak ada anak yang sedang memancing dan membawa buku. Anak yang sedang membawa buku tentu anak sekolah.

Buku itu diberikan begitu saja sama ibuku. Tidak berpikir kalau buku itu menjadi guruku. Guru yang mengajarku melihat sesuatu dengan kacamata pendidikan. Guru yang mengajarku tidak saja dengan membaca dan menulis tetapi juga dengan melihat. Melihat gambar. Gambar anak sekolah. Buku itu guruku. Buku yang aku kenang selalu.

PRM, 28/5/15

Gordi

FOTO, salawaku.com
Aku senang dirimu sudah pamit
Betapa aku tak bahagia denganmu
Dirimu betul-betul pengganggu bagiku
Tidak ada kenyamanan dalam dirimu
*
Kehadiranmu membuatku tak nyaman
Untuk bekerja saja susah
Betapa susahnya aku menyelesaikan pekerjaanku
Hadirmu membuatku susah
*
Aku sejak tahu dirimu begini
Berusaha mencari jalan keluar
Aku ingin kamu jauh dariku
Dan itulah yang aku cari
*
Bukan tanpa alasan
Aku hanya ingin bebas darimu
Aku mau kamu minggat
Kamu datang membawa sial
*
Dan, aku temukan jalan itu
Beruntung jalan tanpa alamat itu ditemukan
Dan dengan senang hati kulalui jalan itu
Di situ kutemukan senjata pemusnah
*
Aku pun berhasil membuatmu minggat
Entah kamu senang atau susah
Yang jelas aku senang
Betapa aku bebas dari cengkeramanmu
*
Aku kini ingin bekerja lagi
Menyelesaikan pekerjaan yang tertunda
Yang aku tumpuk selama ini
Betapa pekerjaanku nanti lancar
*
Komputerku tidak macet lagi
Tidak seperti saat dirimu nginap di situ
Betapa kehadiranmu membuat komputerku tak berdaya
Menulis saja leletnya minta ampun
*
Aku tak mau mengampunimu virus
Aku benci denganmu
Lebih benci dengan penciptamu
Aku memang salah telah memasukkanmu ke komputerku
*
Ah betapa leganya bisa menulis lagi
Setelah tiga hari tak berdaya dikuasai virus akut di komputer
Betapa teknologi bisa menguasai manusia
Tapi manusia masih lebih hebat dari teknologi

Salam fiksiana

PRM, 28/5/15
Gordi


FOTO, iodonna.it 
Seorang perempuan mungkin melupakan bayinya tetapi aku tidak akan meluapakanmu (Isaia, abad VIII SM).

Saya kira tidak ada seorang perempuan yang melupakan bayinya. Jika ia yakin itu bayi dari kandungannya, ia pasti menyanyanginya. Jika tidak, ia mungkin enggan menyanyanginya dan mudah melupakannya. Tetapi, pada dasarnya seorang ibu menyanyangi anaknya dan juga anak-anak lainnya. Di sinilah seorang ibu menampilkan naluri mengasuhnya.

Beberapa waktu lalu, kami makan malam bersama teman-teman. Bersama kami, anak muda, orang tua, juga anak-anak, dan beberapa yang masuk kategori tua (60-70 an). Tetapi yang tua ini datang dengan jiwa muda. Saat itu, setelah membereskan semua perlengkapan kamar makan, menata meja-kursi, dan menata jenis makanan yang ada, saya bermain-main dengan beberapa anak kecil usia 8-12 tahun. Satu di antara mereka suka main sulap dan tebak-tebakan. Saking sukanya, dia mengajak saya menyaksikan sulapnya. Saya tidak berhasil menjawab semua pertanyaannya dari tebakan itu. Kadang-kadang saya sengaja tidak menjawabnya supaya dia juga tetap semangat menunjukkan tebakan berikutnya. Saya juga mengajak seorang teman saya yang suka menyulap dan suka main tebak. Jadilah mereka dua ramai sekali dalam permainan ini. Saya malah jadi penonton saja sejak keikutsertaan teman saya. Tidak apa-apa. Saya hanya mengawasi saja biar ada pekerjaan juga.

Di dalam ruangan suasananya ramai sekali. Makin banyak orang yang datang. Kami menyingkir ke luar. Kami bermain sulap di dekat salah satu pintu masuk. Saya menjadi jembatan antara mereka yang di dalam dan kami yang di luar. Anak kecil ini makin asyik bermain sulap sampai-sampai dia tidak mau meninggalkan begitu saja para penontonnya. Lama-lama, kami keasyikkan bermain sulap ini.

Sesekali ibunya melihat kami. Ibunya yakin anaknya tidak terjadi apa-apa karena dia sedang bermain dengan kami. Ibunya pun tidak mengkhawatirkan anaknya. Dia asyik bercerita dengan teman-temannya di meja makan. Kami juga lanjut bermain. Meski ibu ini yakin sekali, dia tetap memerhatikan anaknya. Sesekali dia bangkit dari kursinya dan memastikan bahwa anaknya sedang dalam pengawasannya. Dia rupanya kurang yakin jika kami memberitahukan bahwa anaknya sedang bermain dengan kami. Dia datang langsung dan menyaksikan permainan kami. Kemudian, dia kembali ke tempat duduknya.

Anaknya lalu pergi ke toilet yang jaraknya kira-kira 80 meter dari tempat kami bermain. Entah apa yang dirasakan ibu ini, dia datang kembali. Dengan senyum manisnya dia seperti yakin sekali akan melihat anaknya. Padahal, anaknya sedang tidak bersama kami. Lalu, dia bertanya pada saya, “Di mana Daniela (nama samaran) ?”
Karena dengan senyum dia bertanya, maka saya juga menjawabnya dengan senyum dan dengan nada meyakinkan.
“Daniela sedang ke toilet bu. Jangan khawatir dia sedang bermain bersama kami.”

Ibu ini menganggukkan kepala sambil tersenyum, “Okelah, saya percaya dia baik-baik saja bersama kalian di sini,”katanya sebelum kembali ke tempat duduknya. Kami pun senang mendengarnya dan juga lega.

Tindakan ibu ini kiranya didasarkan pada naluri mengasuh. Ya, seorang ibu tidak akan pernah melupakan anaknya sekalipun anaknya berbuat jahat. Seorang Ibu dari dalam hatinya sudah memancarkan naluri mengasuh ini. Isaia dalam kutipan awal tulisan ini melukiskan naluri mengasuh seorang ibu. Isaia dalam hal ini sedang menggambarkan betapa naluri mengasih seorang ibu begitu kuat. Isaia mengatakan mungkin seorang ibu melupakan bayinya. Ini tentu hanya sebuah perbandingan. Kenyataannya, tidak ada seorang ibu pun yang melupakan anaknya. Kalau pun kita pernah mendengar seorang ibu membunuh dan melupakan anaknya, ibu itu bertindak melawan naluri mengasuhnya. Dalam bahasa filsafat moral, ibu itu bertindak melawan hati nuraninya. Hati nuraninya tetap mempunyai naluri mengasuh dan menyanyangi anaknya. Maka, jika ia melupakan, ia sebenarnya bertindak melawan nuraninya. Dan, boleh jadi, dia bertindak demikian karena desakan dari pihak luar apa pun bentuknya. Sebagai konsekuensi lanjutnya, ibu ini pasti akan selalu diganggu oleh bayang-bayang gelap tindakan melawan hati nuraninya ini.

Maka, saya paham mengapa ibu ini tidak puas melihat anaknya dari tempat duduknya. Dia mesti melihat langsung. Dia mesti meyakinkan dirinya dan memastikan bahwa, anaknya sedang dalam pengawasannya dan bukan pengawasan orang lain. Dia yakin, tak cukup jika kami saja yang mengawasi anaknya.

Ah betapa ibu ini menyangangi anaknya. Terima kasih bu untuk tindakan konkretmu ini. Semoga banyak ibu yang konsisten mengasuh anaknya dan tidak tergoda untuk memberikan tugas ini pada pengasuh. Ibu ini kiranya mengkritik para ibu modern yang lebih asyik kelihatan tak beranak daripada mengasuh anaknya secara langsung. Ibu ini juga mengkritik para wanita modern yang enggan mengasuh anak karena merepotkan. Ibu ini sudah menunjukkan senyumnya saat mengasuh anak. Ia seolah-olah mengatakan, mengasuh anak itu mengasyikkan lhoo. Buktinya dia mengasuh sambil tersenyum.

Ah ibu senyummu memang menawan. Dan, sambil mengingat senyummu ini, saya selalu mengingat tindakanmu, mengasuh dengan senyum.

PRM, 26/5/15
Gordi


Powered by Blogger.