foto oleh Alit Apriyana |
Aku berjalan kembali ke rumah. Jalanan masih basah. Telapak kakiku basah
hingga terasa amat dingin. Ujung bawah sandal tertempel tanah cokelat. Langkah kaki terasa berat
gara-gara sandal itu melengket kuat di jalan. Di pinggir jalan berdiri seorang
gadis. Tampaknya dia baru saja pulang dari kantornya. Dia berdiri tepat di
pinggir jalan tak bertrotoar. Di tangannya ada ponsel yang digenggamnya amat
erat. Tas kecil berwarna hijau kusam dijinjingnya. Entah dia sedang menunggu
teman cowoknya yang menjemputnya dengan sepeda motor suzuki ninja. Atau juga
sedang menunggu bis metromini nomor 47.
Di seberang jalan berdiri juga seorang cewek
ber-rok mini dan sepatu hak tinggi. Dia menyeberang jalan sambil melambaikan
tangannya pertanda isyarat untuk berjalan pelan kepada pengemudi mobil dan
sepeda motor. Di telinganya melekat earphone besar berwarna hitam. Hampir saja
tidak terlihat daun telinganya. Dia juga berdiri entah sedang menunggu taksi
atau mobil jemputan khusus. Sesekali tangannya memencet tombol di layar
ponsel-nya. Entah mengatur volume musik atau mencari lagu favorit atau juga membalas
pesan singkat dari pacarnya.
Aku melangkah pelan melewati dua cewek cantik
ini. Senja makin mendekat. Jalanan mulai padat dengan kendaraan roda 2, 3, dan
4. Selokan di depan rumah hampir penuh. Kubuka pintu gerbang dan sekali lagi
melihat kedua gadis itu. Mereka masih berdiri di pinggir jalan itu. Kapankah
mereka akan pergi?
*****
Aku pamit hendak mandi kepada dua sahabatku.
Mereka membaca pesan singkat itu lalu memberi komentar sebagai jawaban.
“Mandi……”, demikian bunyi pesan yang dibuat dalam
waktu kurang dari satu menit itu. Entah mereka mengertinya seperti apa. Aku
hanya bermaksud untuk pamit. Mungkin mereka akan mengabaikannya atau malah
menanggapinya. Mungkin mereka sudah mandi atau belum, aku tak tahu. Aku hanya
ingin mandi sekarang. Sebentar lagi senja berakhir.
“Gak, aku mau keluar sebentar, membeli makanan cemilan. Lagian, aku gak seperti
kamu, mandi gak mandi tetap wangi…..” demikian balasan seorang temanku.
Aku tertawa membacanya. Aku dan dia sama-sama
manusia. Aku dan dia sama-sama berkeringat. Aku dan dia sama-sama bekerja,
mengeluarkan energi. Aku dan dia sama-sama wangi sekaligus bau setelah keringat
mengucur. Mengapa dia tetap wangi? Bukankah dia juga bisa berkeringat? Ataukah
dia menyiram tubuhnya dengan parfum wangi, cairan deodorant di ketiaknya, dan
polesan bodylotion di kulitnya???? Kalau pun demikian, dia tetaplah akan bau
setelah semuanya ini dikalahkan oleh kucuran keringat yang mengguyur seluruh
tubuhnya, dari ujung rambut sampai ujung kakinya.
Ahh… dia hanya mengejekku. Aku tak yakin dia tetap wangi. Memang dia
cantik dan memesona. Namun itu hanya tampilan luar yang kadang menipu. Hatinya
bisa saja ceroboh, bobrok, kotor, dan penuh daya tipu muslihat. Aku ingin membalas pesan
pendek itu.
“Kamu memang wangi tetapi tetap harus mandi
supaya tubuhmu tetap wangi dan penampilanmu tetap memesona banyak cowok
termasuk bapak-bapak. Ataukah kamu mau mandi malam-malam supaya menghabiskan
waktu senja ini dengan bermain-main di dunia maya????” Kalimat itu kubuat dengan penuh hati-hati. Aku
tak ingin melukai perasaannya.
Entah dia membalasnya bagaimana, aku tak peduli. Kalau dia bisa membuat
kalimat seindah kalimat pesan pendek itu aku pun bisa. Aku dan dia sama-sama
makhluk rasional yang kadang-kadang menerima sesuatu setelah ditelisik dengan
rasio. Kami bukan orang yang menurut begitu saja atau mengiyakan saja kalimat
yang terbaca. Kami mencernanya dengan otak kami.
“Gak kok, aku gak mandi malam-malam. Aku mau
mandi juga. Kamu jangan intip ya…..????
Kalimat itu datang begitu saja.
Pikiranku melayang ke langit-langit. Andai aku ada di langit-langit kamar
mandinya, apa yang akan aku lakukan?? Bagian mana yang ingin aku lihat? Apakah
aku berdosa kalau melihatnya? Akankah aku ‘menginginkannya’ setelah bagian itu
berhasil aku lihat? Apakah dia sadar kalau aku mengintipnya? Bagaimana
reaksinya ketika tahu bahwa aku telah mengintipny? Akankah dia berteriak?
“Kalau pun aku mengintipmu, aku tak bisa melihat
bagian yang aku inginkan darimu sahabat……” Aku membalasnya demikian. Jangan-jangan dia juga
membayangkan hal-hal yang bukan-bukan di seberang sana.
“Aku tahu, jempol kakiku….” Katanya dalam pesan singkat yang datang belum
satu menit itu.
“Bukan….,” jawabku sambil memikirkan kata-kata yang bisa melukiskan
perasaanku saat ini.
“Ahh….itu jempol kakiku karena kamu gak bisa
melihatnya. Jempolku tertutup kaus dan sepatu setiap hari sewaktu kuliah….”,
balasnya. Kalimat ini amat panjang.
Dia membawaku ke bagian yang hampir mirip dengan pikiranku.
“Bukan….sudah kubilang, aku gak akan bisa melihat bagian (tubuh) yang
tersenbunyi darimu….,”
“Apakah itu? Itu hakikatnya tersembunyi mas. Kamu tidak boleh melihatnya.
Kamu akan tahu nanti ketika kamu sudah saatnya mengetahui dan pantas
melihatnya.”
Kaget. Aku tidak ingin melihat bagian yang dia maksudkan itu. Aku juga
masih bingung dengan bagian yang dia tunjukkan itu. Aku sudah dewasa dan
berkepala tiga. Apalagi yang belum pantas aku lihat???
“Kawan….aku ingin melihat telapak kakimu dan bukan jempolmu,” Surga ada
di telapak kaki ibu. Kata
orang seperti itu.
Bagiku telapak kaki adalah perasa paling
sensitif. Namun, menjadi tidak sensitif lagi karena setiap saat dia tidak lagi
bersentuhan langsung dengan tanah. Dia tidak bisa merasakan lagi runcingnya
batu-batu di jalanan, dia tidak bisa lagi merasakan dinginnya lantai rumah, dia
tidak lagi merasakan penderitaan yang dialami pemulung jalanan yang setiap saat
menginjak lumpur dan sampah. Telapak itu tidak bisa lagi menjadi perasa untuk
penderitaan manusia zaman ini. Setiap saat telapak itu menjadi tempat
tersembunyi karena selalu dibalut kaus kaki pendek dan sok (kaus kaki panjang).
Telapak kaki juga bisa menyembunyikan kesombongan, keserakahan, kedegilan hati
manusia. Telapak kaki menjadi tempat akrab bagi penyelundupan narkoba……..Aku
ingin melihat telapak kaki yang bersih dan murni, tidak tercemar antek-antek
tipuan manusia zaman ini.
CPR, 17/4/2012
Gordi Afri
*Dimuat di blogkompasiana pada 19/4/12
Post a Comment