foto oleh Lentera Merah |
Baru beberapa hari di kota gudeg ini. Baru beberapa jalanan yang
dilintas. Belum bisa dan belum sempat keliling kota yang menurut beberapa teman
cukup dengan mengikuti empat ring road (jalan lingkar luar). RR Utara-Barat-Selatan-dan
Timur. Empat ruas jalan ini menjadi semacam batas luar kota Yogyakarta. Tentu
di luar itu tetap dinamakan Yogya. Empat ruas itu hanya sebatas pembatas yang
kiranya memudahkan pendatang untuk memetakan kota ini.
Kembali ke topik tentang sabar di jalanan. Di Jakarta, kota sebelumnya
saya tinggal/kuliah banyak ditemukan orang sabar di jalanan. Mereka yang
selamat dan tidak terserempet metro mini atau berbentur sang raja jalanan alias
bajai adalah kelompok orang sabar di jalanan Jakarta. Betapa tidak setiap
pengendara, di Jakarta, ingin menjadi nomor satu, ingin menjadi terdepan. Jika
tidak konsekuensinya besar. Terlambat ke kantor, terlambat ke kelas, terlambat
ke ruang pertemuan, terlambat menjumpai klien bisnis, terlambat kencan, dan
sebagainya.
Di tengah perjuangan menjadi nomor satu itu pengendara mesti
berhati-hati. Lebih tepatnya bersabar. Kalau tidak tabrakan, benturan,
senggolan tidak bisa dihindari. Kebanyakan pengendara tidak mau mengalah.
Padahal mengalah untuk menang itu amat mulia, mengalah untuk menang itu bisa
selamat (dalam perjalanan). Kesabaran untuk mendahulukan yang lain itu sebuah
sikap rendah hati. Namun, ngomong-ngomong tentang semuanya itu sudah basi di
jalanan Jakarta. Toh, roh “menjadi nomor satu” sudah merasuki pengguna jalan.
Jakarta memang banyak orang yang (dipaksa) sabar tetapi lebih banyak
orang tidak sabar.
Di Yogya ceritanya lain. Ini kesan sepintas setelah beberapa kali
melewati jalanan besar dan ramai di Yogya seperti ring road utara dan timur,
jalan monjali, jalanan sekitar terminal Jombor, jalanan Gejayan/Affandi, dan
sebagainya. Di beberapa perempatan dan pertigaan jalan, pengendara tidak
kebut-kebutan seperti di jalanan Jakarta. Begitu lampu hijau menyala pengendara
melaju dengan tertib. Begitu lampu merah menyala pengendara berhenti dengan
tertib. Tidak melanggar rambu penyeberangan. Di pertigaan jalan kalau mau belok
sebagian besar pengendara berlomba untuk berhenti atau mengurangi kecepatan
kendaraannya. Tidak ada yang ribut dengan menyembunyikan klakson seolah-olah
kalau mau belok kita melanggar sehingga harus diperingatkan dengan klakson.
Mungkin memang karakter orang Yogya dan orang yang tinggal di Yogya
kental dengan tradisi sabar sehingga hal ini menjadi sebuah kekhasan di jalanan
Yogyakarta. Atau boleh jadi juga karena kendaraan di Yogya tidak sebanyak di
JAkarta, atau juga karena jalanan di sini tidak seramai jalanan di JAkarta.
Boleh jadi semua kemungkinan ini benar adanya. Yang jelas berkendara di Yogya
itu nyaman karena pengendaranya sudah memiliki kebiasaan untuk sabar.
Saya kira semua orang memerlukan dan wajib menanamkan sikap SABAR dalam
perilakunya. Kehidupan bersama mesti dilandasi oleh sikap SABAR di samping
nilai universal lainnya. Ya..tak perlu lah menjadi orang nomor satu. Sabar
dengan diri sendiri saja sudah menjadi sebuah kebiasaan yang baik. Dari sendiri
kesabaran itu pelan-pelan akan menyebar ke orang lain. Saya sabar di jalan maka
yang lain ikut sabar. Saya sabar untuk antri di loket kereta api maka yang lain
akan sabar. Sebaliknya jika saya tidak mau sabar dan ceroboh maka yang lain
dengan mudah mengikuti saya ikut ceroboh.
Terima kasih untuk kebiasaan baik dari pengendara kota Yogya. Semoga
virus sabar ini cepat menyebar ke seluruh tubuh pengendara jalan di Jakarta, di
Yogya, di Medan, di Maluku, di Manado, di mana saja di seluruh penjuru tanah
air. Dengan itu, diharapkan angka kecelakaan di jalanan menurun.
Selamat sore dan salam SABAR.
PA, 19/7/2012
Gordi Afri
*Dimuat di blog kompasiana pada 19/7/12
Post a Comment