Halloween party ideas 2015

foto oleh Lentera Merah
Orang Jogya (paling) sabar di jalanan. Apa benar? tidak ada penelitian tentang itu. Boleh jadi memang tak perlu karena tidak mendesak meneliti kesabaran pengguna jalan. Maka, kesabaran yang saya maksudkan hanyalah sebatas kesan.

Baru beberapa hari di kota gudeg ini. Baru beberapa jalanan yang dilintas. Belum bisa dan belum sempat keliling kota yang menurut beberapa teman cukup dengan mengikuti empat ring road (jalan lingkar luar). RR Utara-Barat-Selatan-dan Timur. Empat ruas jalan ini menjadi semacam batas luar kota Yogyakarta. Tentu di luar itu tetap dinamakan Yogya. Empat ruas itu hanya sebatas pembatas yang kiranya memudahkan pendatang untuk memetakan kota ini.

Kembali ke topik tentang sabar di jalanan. Di Jakarta, kota sebelumnya saya tinggal/kuliah banyak ditemukan orang sabar di jalanan. Mereka yang selamat dan tidak terserempet metro mini atau berbentur sang raja jalanan alias bajai adalah kelompok orang sabar di jalanan Jakarta. Betapa tidak setiap pengendara, di Jakarta, ingin menjadi nomor satu, ingin menjadi terdepan. Jika tidak konsekuensinya besar. Terlambat ke kantor, terlambat ke kelas, terlambat ke ruang pertemuan, terlambat menjumpai klien bisnis, terlambat kencan, dan sebagainya.

Di tengah perjuangan menjadi nomor satu itu pengendara mesti berhati-hati. Lebih tepatnya bersabar. Kalau tidak tabrakan, benturan, senggolan tidak bisa dihindari. Kebanyakan pengendara tidak mau mengalah. Padahal mengalah untuk menang itu amat mulia, mengalah untuk menang itu bisa selamat (dalam perjalanan). Kesabaran untuk mendahulukan yang lain itu sebuah sikap rendah hati. Namun, ngomong-ngomong tentang semuanya itu sudah basi di jalanan Jakarta. Toh, roh “menjadi nomor satu” sudah merasuki pengguna jalan.

Jakarta memang banyak orang yang (dipaksa) sabar tetapi lebih banyak orang tidak sabar.

Di Yogya ceritanya lain. Ini kesan sepintas setelah beberapa kali melewati jalanan besar dan ramai di Yogya seperti ring road utara dan timur, jalan monjali, jalanan sekitar terminal Jombor, jalanan Gejayan/Affandi, dan sebagainya. Di beberapa perempatan dan pertigaan jalan, pengendara tidak kebut-kebutan seperti di jalanan Jakarta. Begitu lampu hijau menyala pengendara melaju dengan tertib. Begitu lampu merah menyala pengendara berhenti dengan tertib. Tidak melanggar rambu penyeberangan. Di pertigaan jalan kalau mau belok sebagian besar pengendara berlomba untuk berhenti atau mengurangi kecepatan kendaraannya. Tidak ada yang ribut dengan menyembunyikan klakson seolah-olah kalau mau belok kita melanggar sehingga harus diperingatkan dengan klakson.

Mungkin memang karakter orang Yogya dan orang yang tinggal di Yogya kental dengan tradisi sabar sehingga hal ini menjadi sebuah kekhasan di jalanan Yogyakarta. Atau boleh jadi juga karena kendaraan di Yogya tidak sebanyak di JAkarta, atau juga karena jalanan di sini tidak seramai jalanan di JAkarta. Boleh jadi semua kemungkinan ini benar adanya. Yang jelas berkendara di Yogya itu nyaman karena pengendaranya sudah memiliki kebiasaan untuk sabar.

Saya kira semua orang memerlukan dan wajib menanamkan sikap SABAR dalam perilakunya. Kehidupan bersama mesti dilandasi oleh sikap SABAR di samping nilai universal lainnya. Ya..tak perlu lah menjadi orang nomor satu. Sabar dengan diri sendiri saja sudah menjadi sebuah kebiasaan yang baik. Dari sendiri kesabaran itu pelan-pelan akan menyebar ke orang lain. Saya sabar di jalan maka yang lain ikut sabar. Saya sabar untuk antri di loket kereta api maka yang lain akan sabar. Sebaliknya jika saya tidak mau sabar dan ceroboh maka yang lain dengan mudah mengikuti saya ikut ceroboh.

Terima kasih untuk kebiasaan baik dari pengendara kota Yogya. Semoga virus sabar ini cepat menyebar ke seluruh tubuh pengendara jalan di Jakarta, di Yogya, di Medan, di Maluku, di Manado, di mana saja di seluruh penjuru tanah air. Dengan itu, diharapkan angka kecelakaan di jalanan menurun.

Selamat sore dan salam SABAR.

PA, 19/7/2012
Gordi Afri


Post a Comment

Powered by Blogger.