Halloween party ideas 2015

foto oleh Saleh Iskak
Aku hanya seorang tukang kebun
Tak patut jika engkau berbicara tentang ekonomi denganku
Aku hanya tahu, kebun, kebun, dan kebun
Tetapi kalau ekonomi yang berkaitan dengan kebun aku bisa
Katakanlah aku jual buah dan engkau membelinya
Laku….

Yang kayak gini aku tahu
Tetapi kalau kamu ngomong soal ekonomi kerakyatan, ekonomi Barat, dan sebagainya
Maaf aku tak paham
Tetapi aku tidak mau ditipu dengan istilah
Aku hanya seorang tukang kebun dan tidak mau dipusingkan dengan istilah-istilah
Aku tetap berusaha memahami istilah dalam dunia perkebunan

Ya… paling tidak berkaitan dengan kesuburan tanah dan pertumbuhan hasil kebunku
Kandungan humus dalam tanah misalnya
Musim berbuah tuk setiap jenis buah
Buah paling laku
Buah paling manis
Suhu yang cocok untuk setiap jenis buah

Aku memang hanya seorang tukang kebun
Tetapi aku mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebun
Ada juga ekonomi, sejarah, biologi, pertanahan, kimia, dan sebagainya
Jadi tukang kebun itu memang megasyikkan
Bukan hanya bergulat dengan kebun saja
Tetapi aku bergulat dengan segala yang berkaitan dengan kebun

Nah kalau berkaitan dengan korupsi?
Aku juga bisa masuk ke sana secara tidak langsung
Kalau orang menipu aku kan arahnya bisa ke korupsi
Tetapi ya itu terlalu jauh

Aku bisa menyentuh bidang korupsi tetapi bukan sebagai pelaku
Boleh jadi sebagai pelapor kasus korupsi
Tetapi sebelum itu terjadi
Lebih baik aku mengurus kebunku
Buah-buahan di kebunku membutuhkan air
Dan air itu harus saya berikan
Kalau tidak mereka tidak berbuah lagi

Baca juga:
————————
Obrolan pagi…..

PA, 3/10/2012
Gordi Afri

*Dimuat di blog kompasiana pada 3/10/2012



foto oleh Buruh Migran Indonesia
Negara tanpa buruh adalah negara tanpa industri
Siapa pun boleh jadi setuju dengan pernyataan ini. dengan itu mau dikatakan bahwa buruh adalah aset negara. Seperti profesi lainnya, buruh juga mempunyai sumbangan luar biasa bagi negara. Perkembangan industri tidak lepas dari peran buruh. Ilmuwan boleh saja menemukan hal baru. Selanjutnya temuan itu dilanjutkan oleh para buruh. Mereka bekerja demi mewujudnyatakan temuan itu. Bayangkan jika negara tanpa buruh. Industri akan macet. Masyarakat terkena imbasnya. Jangan harap ada kemajuan bagi amsyarakat luas.

Seorang kawan pernah berkomentar bahwa buruh di sebagian besar negara di Eropa dihargai dengan gaji tinggi. Mereka juga punya hak atas hari libur dan hari istirahat. Tak boleh mempekerjakan buruh semau kita. Pekerjaan buruh sudah diatur dalam undang-undang yang mengikat.

Jangan bandingkan dengan buruh Indonesia. Dia juga memaklumi, Indonesia belum semaju dengan negara Barat. Kata orang Indonesia memang maju. Ekonominya bagus. Mereka juga berbondong-bondong datang ke Indonesia. Berinvestasi di sini. Buka perusahaan di negeri ini. Ujung-ujungnya mereka mempekerjakan tenaga Indonesia.

Tenaga kerja Indonesia memang banyak. Katanya yang tamat kuliah pun akan jadi tenaga kerja kasar. Dalam negeri saja banyak. Bahkan sebagian lagi ke luar negeri. Dengan jumlah sebesar itu, negara ini sebenarnya sudah maju. Sumbangan para tenaga kerja besar. Tetapi mengapa sampai hari ini buruh kita masih belum sejahtera?

Itu karena kebijakan pemangku jabatan. Begitu komentar orang. Ya…ada benarnya. Buruhkan hanya pelaksana tugas. Apa yang diperintahkan atasan itulah yang mereka lakukan. Tak pernah atau jarang diajak berdialog, duduk bersama, membicarakan seuatu. Ya…buang-buang waktu saja. Jumlah buruh saja banyak. Mau bicara satu-satu?

Tak mungkin. Bisa kok bicaranya ringkas saja. Inti pembicaraan adalah menyejahterakan kehidupan mereka. hidup sejahtera menenteramkan hati. Kalau hati sudah tenteram pekerjaan pun jadi nyaman. Tak ada paksaan. Tak ada persaingan. Tak ada rasa diperas. Tak ada rasa ditipu. Tak ada rasa seperti kelinci percobaan, ditendang sana-sini. Kalau mau sejahtera, tempatkan kami, para buruh, di satu pos, dan bekerja di situ sampai menjadi mahir. Kami merasa diperas jika ditendang ke sana kemari. Hari ini di sini, bulan depan di sana, tahun depan tak tahu ke mana lagi. Kami punya anak-istri-suami yang harus kami hidupi. Kalau kami ditendang, bagaimana dengan kehidupan keluarga kami? Mereka butuh makan. Tak pantas kami diombang-ambingkan, diiming-iming, dibuai janji palsu. Kami juga manusia yang patut dihormati.

Wahai para penguasa dengarlah teriakan kami. Sampai kapan kami hidiup dalam situasi tidak emnentu? Jangan jadikan kami sebagai tenaga kontrakkan. Kontrak berarti tidak punya kebijakan. Sebentar-bentar kami dipuji, sebentar-bentar kami dihina. Biarkan kami bekerja dengan aman tanpa memikirkan akan di kemanakan lagi. Biarkan kami bekerja di tempat ini. jangan melempar kami ke perusahaan-perusahaan yang tidak jelas rimbanya. Nanti hidup kami terombang-ambing. Bagaimana jika kami mengombang-ambingkan hidup kalian, wahai para penguasa? Boleh jadi kalian tidak mau. Nah..ayo donk…hargailah kami.
——————-
Obrolan pagi dari seorang TUKANGKEBUN

PA, 3/10/2012
Gordi Afri



Foto oleh Craig A Rodway
Kali ini (Sabtu-Minggu, 29-30 Maret 2014) untuk kedua kalinya terjadi pergantian waktu. Ini menjadi aturan dasar, katakanlah demikian, di Eropa. Kala musim berganti, waktu juga berganti. Tadi malam, tepatnya jam 11 malam, waktu dimajukan satu jam, sehingga menjadi jam 12 malam. Waktu yang kemarin rupanya hanya berlaku di musim dingin sejak 26 Oktober lalu. Pembaca bisamembaca di sini, pengalaman saya waktu itu. Saat itu, waktu mundur 1 jam.

Semalam waktu berganti lagi. Dimajukan 1 jam. Beberapa bagian ritme hidup akan berganti juga. Saya mengatur kembali jam-jam saya. Jam weker yang ada di bawah bantal saya. Juga jam tangan, dan jam di atas meja, dan jam dinding. Keempat elemen inilah yang saya ganti. Namun persoalannya bukan sampai di sini saja.

Saya mengatur keempatnya. Kecuali 1, jam yang ada di atas meja yang sulit diatur karena alasan teknis. Namun, pagi ini kala bangun, saya bingung karena keempatnya menunjuk waktu yang berbeda. Jam weker hamper sama, hanya beda 1-2 menit saja. Sedangkan jam dinding dan jam di atas meja sama sekali beda. Perbedaan antara keduanya 30 menit. Sedangkan perbedaan keduanya dibandingkan dengan jam weker dan jam tangan 45 menit. Saya hamper tidak mau bangun karena ingin bermalas-malasan di atas ranjang.

Untunglah saya bias mengatasinya. Saya bangun dan memutuskan untuk mengikuti jam weker. Rupanya ini yang benar. Saya keluar kamar dan melihat jam lainnya. Saya kembali ke jalan yang benar. Saya harus mengatur kembali jam-jam yang belum benar ini.

Mengikuti perubahan memang membutuhkan pengorbanan. Kadang-kadang elemennya belum siap. Tetapi bersiap-siaplah untuk menghadapi ketidaksiapan ini lalu mengatasinya sehingga menjadi siap.

Selamat hari Minggu untuk para pembaca.

Parma, 30/3/2014
Powered by Blogger.