Halloween party ideas 2015

foto oleh aqilfithri
Dua bulan lebih, kami tidak bertemu. Kampus ditinggalkan begitu saja. Kami tak tahu, siapa saja yang menjaga kampus kami selama liburan. Pastinya ada pegawai sekretariat dan perpustakaan yang selalu mengawal kampus tercinta ini.

Selama liburan, kami, para mahasiswi/a tidak bertemu secara fisik. Interaksi tetap terjalin melalui jejaring sosial. Inilah mudahnya zaman sekarang, kami bisa bertemu di dunia maya. Ada cerita yang terpotong-potong selama liburan. Misalnya, teman-teman yang mengadakan kursus di bidang tertentu sesuai minatnya. Ada yang mengambil kursus menulis, public speaking, spiritualitas, bertani, bertukang, petugas listrik, dan sebagainya. Ini semua, kami tahu lewat dunia maya.

Hari ini, Rabu, 1/2/2012,kami bertemu secara fisik. Cerita liburan sudah dikisahkan sebagiannya. Namun, kami tetap membahas kegiatan liburan. Diawali dengan jabatan tangan sebagai tanda baru bertemu lalu berbincang mengenai kabar harian.Alhamdulilah, teman-teman saya sehat semua. Tak ada yang kurang. Yang tidak hadir hari ini adalah mereka yang mengambil mata kuliah yang berbeda dengan kami. Meski tidak kuliah, mereka sibuk menyelesaikan skripsi di rumah. Pekerjaan ini yang membuat kami huru-hara dalam tugas harian belakangan ini.

Kami rindu bertemu dan lebih dari bertemu, kami rindu dengan kampus kami. Kampus adalah tempat kami berjuang dengan susah payah mencari ilmu. Dalam kampus ini, kami bisa berkenalan dengan para dosen yang mencintai kami. Dalam interaksi itu, kami menjalin diskusi yang hangat tentang bidang yang kami geluti. Kami juga berkenalan dengan pemikiran para tokoh berkaliber di dunia melalui buku-buku di perpustakaan. Kampus memang menyediakan segalanya demi menunjang kegatan belajar kami. Makanya, kami rindu kembali ke kampus tercinta.

CPR, 1/2/2012
Gordi Afri

foto oleh comac70
Apakah Indonesia masih mempunyai hukum? Kalau masih, sudahkah hukum itu ditegakkan?

Begitu pertanyaan teman saya tadi pagi. Saya tak menyangka dia melontarkan pertanyaan setajam itu. Kami pun duduk di ruang kosong di sudut kampus. Teman saya ini tampaknya hobi mengumbar pertanyaan. Entah untuk apa dia bertanya, mungkin mencari tahu saja, mungkin mau mendapat jawaban, mungkin mau melihat reaksi kami, atau apa saja. Katanya, dia gerah melihat kondisi Indonesia sekarang ini. Saya salut dia memikirkan kondisi bangsa. Ini baru namanya nasionalisme. Nasionalisme tak harus bertumpah darah sampai mati. Nasionalisme juga mulai dari memikirkan nasib bangsa seperti ini.

Lima menit kemudian beberapa teman akrab mulai bermunculan. Rupanya mereka heran, ada apa kok pagi-pagi lampu ruang diskusi sudah menyala. Pasti ada orang di dalamnya. Beruntunglah, sesama hobi berdiskusi, mudah sekali tertarik membahas apa saja. Kami memang bukan para ahli atau pengamat. Kami hanya “pengamat kecil-kecilan” yang masih terkurung dalam tempurung akademik. Semoga suatu saat, suara kami bergema hingga luar sana. Bersama rakyat kecil yang menyuarakan kesejahteraan bersama. Kiranya ini impian rakyat Indonesia sekarang ini.

Kami mencoba mendiskusikan pertanyaan tadi. Ada apa sebenarnya dengan Indonesia? Pencurian marak di mana-mana, perampasan, perampokan, pembakaran kantor, demo, pemerkosaan, pencurian, dan pe-pe lainnya yang bersifat kriminal. Indonesia dengan pemandangan seperti ini serasa hutan belantara, tempat para binatang mencari mangsa seenaknya. Memang Indonesia masih ‘harum’ dengan predikatnya misalnya negara dengan pertumbuhan ekonomi yang lumayan. Betapa tidak, banyak negara terancam dari segi ekonomi sekarang. Beruntunglah Indonesia masih bisa bertahan.

Kami mencoba mulai dengan melihat hukum di Indonesia. Yang kami tahu, hukum itu berfungsi untuk mengatur kehidupan bersama. Hukum menjadi pilar yang membangun keutuhan negara Indonesia. Kalau begitu, mengapa bangsa ini terus saja terpuruk padahal sudah lama hukum ada di negeri ini? Ada banyak hukum di negeri ini. Tentunya sesuai kehadirannya, hukum dibuat untuk mengatur kehidupan bersama. Ini tugasnya teman-teman yang belajar hukum, benarkah demikian asal-usul munculnya hukum.

Diskusi berjalan lebih kurang 45 menit. Saatnya kami siap-siap masuk ruang kuliah. Kami mencoba merangkum diskusi kecil-kecilan kami. Kami sepakat bahwa negara ini tampak seperti ‘hutan rimba’. Hukum yang ada tidak ditegakkan. Bangsa ini seperti dikepung oleh pelaku-pelaku yang kuat, yang siap menerkam mangsa yang lemah. Siapa saja yang tidak kuat, dia akan dikuasai oleh kaum penguasa. Rasanya tidak berlebihan jika belajar dari kasus pemerkosaan dan pencurian yang merebak akhir-akhir ini. Hampir tiap pekan muncul kasus serupa. Bagaimana menguranginya?

Kami sepakat hukum ditegakkan. Kalau pemerkosa diganjar hukuman seberat-beratnya, ada kemungkinan pelaku berikutnya merasa was-was sebelum berbuat. Kalau gerombolan pencuri yang beraksi di dekat mesin ATM atau di minimarket diganjar hukuman berat, boleh jadi pelaku berikutnya mulai takut. Paling tidak, pelaku tindak kriminal seperti ini diberi hukuman seberat-beratnya dan jangan bertele-tele dalam penyelidikan. Sayangnya, negeri ini berjalan lamban. Menyelidiki satu kasus saja bisa bertahun-tahun. Kasus bank century bahkan belum ada ujungnya. Padahal bertahun-tahun berlalu.

Kami tetap yakin, kalaiu pelaku diganjar hukuman berat bila perlu hukuman mati, tindakan kriminal berkurang. Berlebihan kiranya kalau menerapkan hukuman mati. Masa pencuri sendal dihukum mati? Intinya bahwa, kami mau supaya pelaku kejahatan diganjar dengan hukuman yang membuatnya jera. Kami tahu latar belakng tindakan itu beragam sehingga hukumannya tidak bisa disamakan. Namun, kami yakin kalau penyelidikannya bertele-tele, kasus kriminal di negeri ini semakin bertambah. Akhirnya, tinggal menunggu waktu negeri ini benar-benar hutan rimba raya. Rakyat semakin beringas memangsa sesamanya. Rakyat Indonesia tentunya tidak ingin hal itu terjadi. Maka, mari kita mulai memulihkan negeri ini. Pemerintah dan DPR juga bekerja keras. Diskusi selesai dan selamat memulai kuliah lagi….

CPR, 7/2/2012
Gordi Afri

foto oleh chris" 1st account
Masalah banjir di Jakarta sudah menjadi tradisi tahunan. Ada teman yang menyebut banjir besar ini datang tiap lima tahunan. Muncullah istilah banjir besar lima tahunan. Sementara banjir kecil selalu menghantui warga Jakarta tiap tahun.

Salah satu penyebab banjir ini adalah kurang lancarnya peredaran air dibeberapa kali di Jakarta. Ada alur kali yang cukup jelas namun air tidak bisa mengalir lancar.

Kali penuh dengan sampah-sampah yang menghambat aliran air. Maka, tak heran kalau orang menyebut Kali Paling Kotor (KPK) di Indonesia adalah kali di Jakarta.

Tidak menutup kemungkinan kali di kota besar lainnya di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Hanya saja, Jakarta sudah terkenal dengan kalinya yang kotor. Di balik peranan Jakarta sebagai ibu kota negara, kota metropolitan ini  menjadi ‘buah bibir’ orang ketika dikaitkan dengan masalah banjir.

Ini adalah beberapa foto yang diambil pada tahun 2010 yang lalu. Pemandangan di sekitar selokan Jalan Gunung Sahari-Mangga Besar. Dalam keadaan normal ketinggian airnya seperti ini. Hanya tersisa ruang sekitar 30-40 senti meter di atas permukaan air. Tak heran jika hujan turun  sekitar satu jam saja, permukaannya naik sampai ke bibir jalan.

Sampai kapan kali ini bersih? Begitu pertanyaan yang sering muncul. Di beberapa kali, terus menerus dilakukan pengerukan pada dasar kali. Namun, cara ini tampaknya tidak menyelesaikan masalah dasarnya. Tidak lama kemudian, permukaan kali naik lagi. Sampah-sampah terbenam dan bertumpuk di dasarnya sehingga permukaan air naik.

Jawaban atas pertanyaan ini adalah sampai warga Jakarta tertib membuang sampah ke sungai. Jawaban sepele namun pelaksanaannya tidak sepele. Budaya tertib sampah belum mengakar. Mari menyayangi lingkungan hidup. Lingungan bersih, manusia pun sehat. Kali bersih, warga pun bangga.

CPR, 12/2/2012
Gordi Afri


Powered by Blogger.