Halloween party ideas 2015

FOTO, salawaku.com
Aku senang dirimu sudah pamit
Betapa aku tak bahagia denganmu
Dirimu betul-betul pengganggu bagiku
Tidak ada kenyamanan dalam dirimu
*
Kehadiranmu membuatku tak nyaman
Untuk bekerja saja susah
Betapa susahnya aku menyelesaikan pekerjaanku
Hadirmu membuatku susah
*
Aku sejak tahu dirimu begini
Berusaha mencari jalan keluar
Aku ingin kamu jauh dariku
Dan itulah yang aku cari
*
Bukan tanpa alasan
Aku hanya ingin bebas darimu
Aku mau kamu minggat
Kamu datang membawa sial
*
Dan, aku temukan jalan itu
Beruntung jalan tanpa alamat itu ditemukan
Dan dengan senang hati kulalui jalan itu
Di situ kutemukan senjata pemusnah
*
Aku pun berhasil membuatmu minggat
Entah kamu senang atau susah
Yang jelas aku senang
Betapa aku bebas dari cengkeramanmu
*
Aku kini ingin bekerja lagi
Menyelesaikan pekerjaan yang tertunda
Yang aku tumpuk selama ini
Betapa pekerjaanku nanti lancar
*
Komputerku tidak macet lagi
Tidak seperti saat dirimu nginap di situ
Betapa kehadiranmu membuat komputerku tak berdaya
Menulis saja leletnya minta ampun
*
Aku tak mau mengampunimu virus
Aku benci denganmu
Lebih benci dengan penciptamu
Aku memang salah telah memasukkanmu ke komputerku
*
Ah betapa leganya bisa menulis lagi
Setelah tiga hari tak berdaya dikuasai virus akut di komputer
Betapa teknologi bisa menguasai manusia
Tapi manusia masih lebih hebat dari teknologi

Salam fiksiana

PRM, 28/5/15
Gordi


FOTO, iodonna.it 
Seorang perempuan mungkin melupakan bayinya tetapi aku tidak akan meluapakanmu (Isaia, abad VIII SM).

Saya kira tidak ada seorang perempuan yang melupakan bayinya. Jika ia yakin itu bayi dari kandungannya, ia pasti menyanyanginya. Jika tidak, ia mungkin enggan menyanyanginya dan mudah melupakannya. Tetapi, pada dasarnya seorang ibu menyanyangi anaknya dan juga anak-anak lainnya. Di sinilah seorang ibu menampilkan naluri mengasuhnya.

Beberapa waktu lalu, kami makan malam bersama teman-teman. Bersama kami, anak muda, orang tua, juga anak-anak, dan beberapa yang masuk kategori tua (60-70 an). Tetapi yang tua ini datang dengan jiwa muda. Saat itu, setelah membereskan semua perlengkapan kamar makan, menata meja-kursi, dan menata jenis makanan yang ada, saya bermain-main dengan beberapa anak kecil usia 8-12 tahun. Satu di antara mereka suka main sulap dan tebak-tebakan. Saking sukanya, dia mengajak saya menyaksikan sulapnya. Saya tidak berhasil menjawab semua pertanyaannya dari tebakan itu. Kadang-kadang saya sengaja tidak menjawabnya supaya dia juga tetap semangat menunjukkan tebakan berikutnya. Saya juga mengajak seorang teman saya yang suka menyulap dan suka main tebak. Jadilah mereka dua ramai sekali dalam permainan ini. Saya malah jadi penonton saja sejak keikutsertaan teman saya. Tidak apa-apa. Saya hanya mengawasi saja biar ada pekerjaan juga.

Di dalam ruangan suasananya ramai sekali. Makin banyak orang yang datang. Kami menyingkir ke luar. Kami bermain sulap di dekat salah satu pintu masuk. Saya menjadi jembatan antara mereka yang di dalam dan kami yang di luar. Anak kecil ini makin asyik bermain sulap sampai-sampai dia tidak mau meninggalkan begitu saja para penontonnya. Lama-lama, kami keasyikkan bermain sulap ini.

Sesekali ibunya melihat kami. Ibunya yakin anaknya tidak terjadi apa-apa karena dia sedang bermain dengan kami. Ibunya pun tidak mengkhawatirkan anaknya. Dia asyik bercerita dengan teman-temannya di meja makan. Kami juga lanjut bermain. Meski ibu ini yakin sekali, dia tetap memerhatikan anaknya. Sesekali dia bangkit dari kursinya dan memastikan bahwa anaknya sedang dalam pengawasannya. Dia rupanya kurang yakin jika kami memberitahukan bahwa anaknya sedang bermain dengan kami. Dia datang langsung dan menyaksikan permainan kami. Kemudian, dia kembali ke tempat duduknya.

Anaknya lalu pergi ke toilet yang jaraknya kira-kira 80 meter dari tempat kami bermain. Entah apa yang dirasakan ibu ini, dia datang kembali. Dengan senyum manisnya dia seperti yakin sekali akan melihat anaknya. Padahal, anaknya sedang tidak bersama kami. Lalu, dia bertanya pada saya, “Di mana Daniela (nama samaran) ?”
Karena dengan senyum dia bertanya, maka saya juga menjawabnya dengan senyum dan dengan nada meyakinkan.
“Daniela sedang ke toilet bu. Jangan khawatir dia sedang bermain bersama kami.”

Ibu ini menganggukkan kepala sambil tersenyum, “Okelah, saya percaya dia baik-baik saja bersama kalian di sini,”katanya sebelum kembali ke tempat duduknya. Kami pun senang mendengarnya dan juga lega.

Tindakan ibu ini kiranya didasarkan pada naluri mengasuh. Ya, seorang ibu tidak akan pernah melupakan anaknya sekalipun anaknya berbuat jahat. Seorang Ibu dari dalam hatinya sudah memancarkan naluri mengasuh ini. Isaia dalam kutipan awal tulisan ini melukiskan naluri mengasuh seorang ibu. Isaia dalam hal ini sedang menggambarkan betapa naluri mengasih seorang ibu begitu kuat. Isaia mengatakan mungkin seorang ibu melupakan bayinya. Ini tentu hanya sebuah perbandingan. Kenyataannya, tidak ada seorang ibu pun yang melupakan anaknya. Kalau pun kita pernah mendengar seorang ibu membunuh dan melupakan anaknya, ibu itu bertindak melawan naluri mengasuhnya. Dalam bahasa filsafat moral, ibu itu bertindak melawan hati nuraninya. Hati nuraninya tetap mempunyai naluri mengasuh dan menyanyangi anaknya. Maka, jika ia melupakan, ia sebenarnya bertindak melawan nuraninya. Dan, boleh jadi, dia bertindak demikian karena desakan dari pihak luar apa pun bentuknya. Sebagai konsekuensi lanjutnya, ibu ini pasti akan selalu diganggu oleh bayang-bayang gelap tindakan melawan hati nuraninya ini.

Maka, saya paham mengapa ibu ini tidak puas melihat anaknya dari tempat duduknya. Dia mesti melihat langsung. Dia mesti meyakinkan dirinya dan memastikan bahwa, anaknya sedang dalam pengawasannya dan bukan pengawasan orang lain. Dia yakin, tak cukup jika kami saja yang mengawasi anaknya.

Ah betapa ibu ini menyangangi anaknya. Terima kasih bu untuk tindakan konkretmu ini. Semoga banyak ibu yang konsisten mengasuh anaknya dan tidak tergoda untuk memberikan tugas ini pada pengasuh. Ibu ini kiranya mengkritik para ibu modern yang lebih asyik kelihatan tak beranak daripada mengasuh anaknya secara langsung. Ibu ini juga mengkritik para wanita modern yang enggan mengasuh anak karena merepotkan. Ibu ini sudah menunjukkan senyumnya saat mengasuh anak. Ia seolah-olah mengatakan, mengasuh anak itu mengasyikkan lhoo. Buktinya dia mengasuh sambil tersenyum.

Ah ibu senyummu memang menawan. Dan, sambil mengingat senyummu ini, saya selalu mengingat tindakanmu, mengasuh dengan senyum.

PRM, 26/5/15
Gordi


FOTO, shutterstock
Di sudut gedung berlantai lima itu, kami bertemu. Dia menyelinap pelan di depan mataku. Aku baru saja masuk gedung ini. Melewati dua pintu utama. Satu berdinding kaca tembus pandang dan satu lagi pintu berkomando jarak jauh. Tepat di depan pintu itu kami bertemu. 

“Ke mana kok bawa buku segala,” kataku padanya.
“Biar tampak seorang akademikus, (sambil lalu dia tertawa).”

Ya, dari buku itu. Katanya biar kelihatan akademikus. Maksudnya, mereka yang berkecimpung dalam bidang akademik-pendidikan. Jadi, entah dia baca atau tidak buku itu, itu tidak diperdebatkan. Dia hanya menunjukkan bahwa dia membawa buku. Dengan membawa saja, dia beranggapan, dia akan dianggap seorang akademikus. Orang yang melihatnya akan segera tahu tentang ini. Orang juga tidak bertanya-tanya siapakah seorang akademikus. Mereka paham jika seorang akademikus adalah seorang berintelek. Dan, orang berintelek biasanya membaca banyak buku.

Dengan menunjukkan buku, dia merasa dirinya sudah jadi orang berintelek. Lalu, bagaimana dengan intelek muda? Maksudnya anak muda yang kemana-mana juga membawa buku. Yang di dalam kereta atau bis membaca buku. Apakah mereka juga berintelek dan bertitel kaum akademikus? Dari definisi ini memang bisa dimasukkan ke situ. Mereka toh membawa buku. Mereka mau menunjukkan bahwa mereka juga masuk kaum akademikus.

Demikian suatu pagi, kubertemu seorang gadis remaja. Dia duduk dekatku di kereta. Dia membawa buku. Kebetulan kulit buku itu menarik. Gambar pemandangan indah. Aku pikir mungkin buku tentang perjalanan. Aku penasaran ingin bertanya. Dan memang aku bertanya pada gadis itu. Rupanya tebakanku salah. Buku itu adalah novel. Menceritakan kisah cinta dua remaja di taman idaman. Ah rupanya cerita menarik yang terjadi di tempat menarik juga.

Dan dari novel menarik itu, kami bisa ngobrol asyik dalam waktu 45 menit dalam kereta itu. Rupanya dia suka baca novel. Seminggu bisa satu novel. Tergantung jumlah halaman dan kesempatan yang ia miliki. Waktu libur biasanya dia habiskan untuk membaca. Tentu pertama dia mengerjakan tugas sekolahnya. Baginya, membaca novel mesti dilakukan setelah mengerjakan tugas kuliah. Novel seperti dinomorduakan begitu. Meski dinomorduakan, novel itu membuatnya bisa berkenalan denganku. Hemmm sebenarnya akulah yang ingin berkenalan dengannya.

Dua orang ini membawaku ke alam buku. Aku memang suka baca buku. Juga sedikit memamerkan bahwa aku suka baca buku. Sesekali membawa buku di jalan, di kereta, di bis sekolah. Di pesawat tidak. Aku mau menikmati pemandagan saja kalau di pesawat. Atau sesekali membaca majalah. Dengan membawa buku—meski belum membacanya—aku dianggap berakademis. Padahal, belum tentu aku membaca buku itu. Tetapi paling tidak, aku telah menunjukkan bahwa aku juga suka buku. Sama-sama suka jadinya saling berkenalan. Ah gara-gara buku.

PRM, 31/5/15
Gordi

SEBELUMNYA: BUKU ITU GURUKU






FOTO ILUSTRASI dari sini
Tak butuh waktu lama
Hanya dalam lima menit
Waktu yang begitu singkat
Seperti serba instan

Memang butuh cepat
Dunia modern bekerja dalam kecepatan
Tentu dengan kualitas
Bukan kecepatan tanpa kualitas

Lima menit langsung hangat
Memang sedang butuh air hangat
Kulitku dingin sekali
Entah kenapa cuaca tiba-tiba berubah

Mungkin alam punya rencana lain
Hari-hari ini sedang hangat-hangat bahkan sedikit panas
Sudah senang-senang menikmati hangatnya dunia Eropa
Tapi semua berubah dalam dua hari

Dua hari yang dingin sekali
Dua hari yang seperti ke musim dingin lagi
Padahal sudah enggan kembali ke musim itu lagi
Sudah tak tahan menikmati musim berikutnya

Tapi ya tetap saja dua hari ini terasa dingin
Tak cukup satu baju penutup tubuh
Minimal dua atau tiga
Ini untuk bagian luar

Bagian dalam tentu butuh penghangat
Makanya butuh air hangat juga
Biar perut tetap hangat
Tidak masuk angin dan kedinginan

Air hangat itu didapat dalam lima menit
Sudah seratus derajat celcius
Tinggal diminum saja
Kelak perut ini jadi hangat

Air hangat selain menghangatkan tubuh
Juga membersihkan kototran dalam tubuh
Terutama kotoran yang masuk berupa minyak
Minyak dalam makanan seperti daging dan juga pada minuman beralkohol

Air hangat ini kiranya melepas semua sarang penyakit ini
Kelak tubuh juga akan hangat dengan sendirinya
Jika lepas dari lekatan minyak dalam tubuh
Betapa air hangat ini berguna bagi tubuh ini

PRM, 23/5/15
Gordi

FOTO, di sini
Pingin nulis puisi
Tapi kadang tidak bisa
Kata orang asal ada keinginan
Realisasinya pasti bisa

Untuk itu aku berusaha
Agar bisa menulis puisi
Tak perlu yang sulit-sulit
Mulai saja menggores satu dua baris

Ini sebagai langkah awal
Kalau sudah sering-sering membuatnya
Lama-lama pasti aku bisa
Ala bisa karena biasa

Supaya bisa berpuisi memang harus ada usaha
Usaha yang kadang sulit dibayangkan
Tapi kalau langsung dimulai
Alhasil pasti bisa

Ini juga jadi puisi
Goresan sederhana
Yang mungkin tak berarti
Tapi setiap orang bisa menilai

Salam fiksiana

PRM, 23/5/15
Gordi

FOTO, thefwa.com
Lihat-lihat rupanya bisa jadi sumber ide untuk menulis. Melihat memang bukan tugas berat. Cukup sederhana. Tidak butuh alat bantu. Asal punya mata terang. Kalau mata rusak pun bisa dibantu dengan kaca mata atau lensa mata. Melihat-lihat yang mudah itu rupanya bisa jadi bahan tulisan. Tulisan ini pun demikian. Lahir dari melihat-lihat. Tulisan ini memang tidak dimaksudkan untuk membahas hal yang sulit. Cukup membahas yang ringan saja. Toh melihat-lihat juga hanya tindakan sederhana dan cukup ringan.

Tulisan yang ringan ini bisa saja dibuat jadi rumit. Atau yang populer ini bisa jadi karya ilmiah. Bisa saja. Tapi, kali ini cukup yang ringan saja. Maklum, melihat-lihatnya juga tadi hanya melihat yang ringan-ringan. Dengan melihat-lihat saja sudah jadi dua paragraf. Apalagi kalau mau bahas apa yang dilihat. Berapa yang dilihat. Bagaimana Anda melihatnya. Tapi ya, tak usah panjang lebar. Pertanyaan ini memang bisa membuat tulisan jadi lebih panjang. Dan, ada saatnya jika membahas menjadi lebih panjang.

Melihat-lihat sejatinya adalah sebuah relasi. Antara dia dan aku. Antara aku dan objek yang saya lihat. Atau, antara aku dan kamu. Atau, antara aku dan foto, gambar, tulisan, koran, buku. Dalam melihat-lihat itulah ada relasi. Relasi yang tak mesti saling bereaksi. Relasi antara dua manusia memang tampak seperti bereaksi (timbal-balik). Maksudnya, relasi antara penanya dan penjawab. Tapi, relasi di sini, tidak mesti seperti itu. Katakanlah relasi pasif. Seperti saya yang melihat-lihat tulisan di kompasiana, di sini relasinya pasif. Saya hanya mengklik, membaca, atau bahkan melihat judulnya, lalu selesai. Tidak ada reaksi timbal balik. Sampai di sini tulisan jadi tiga paragraf. Saya mau tutup sampai paragraf terakhir. Paragraf penutup. Sesuai janji saya untuk membuat tulisan ringan.

Jadi, kalau mau menulis cukup melihat-lihat saja dulu. Untuk menulis, tidak ada kata terlambat atau keluhan ‘tidak ada ide’. Hal ini kiranya sudah dibahas oleh penulis hebat dan senior di mana pun. Di Indonesia bahkan di kompasiana, soal ini sudah dibahas berkali-kali. Jadi, jangan bilang ‘tidak ada ide’. Buat saja tulisan yang idenya dari ‘tidak ada ide’ itu. Sebab ‘tidak ada ide’ bisa jadi dasar sebuah tulisan. ‘Tidak ada ide’ juga adalah ide. Ide yang bisa jadi tulisan. Cukup bertanya mengapa tidak ada ide? Itu sudah jadi ide utama. Tinggal dikembangkan. Demikian dengan rentetan tulisan lainnya.

PRM, 22/5/15
Gordi

FOTO, indonesiaindonesia.com
Daun itu amat hijau
Tampak dari jendela kamarku
Hanya sejengkal saja dipandang mata
Padahal nyatanya masih jauh 

Itulah bunga-bunga mata
Yang jauh jadi dekat
Yang dekat jadi jauh
Semua bisa terjadi

Demikian dengan dedaunan itu
Mataku terpaku memandangnya
Beberapa bulan lalu belum tampak
Kini dedaunan itu memenuhi pohon itu

Pohon yang semuala kerontang
Tak berdaun sama sekali
Bahkan kulitnya tampak keriput
Seperti kayu mati

Tapi, rupanya alam memang bekerja sesuai hukumnya
Dari keriput jadi hidup lagi
Dari kerontang jadi berimbun lagi
Dari tampak mati jadi tampak segar

Daun itu lambang kesuburan
Daun itu hijau pertanda ada kehidupan
Bahkan kehidupan yang tampaknya mustahil
Bagaimana mungkin dari tak berdaun menjadi berdaun rimbun?
Itulah misteri alam
Kadang-kadang manusia berlagak sok tahu
Padahal dia tidak tahu atau minimal keliru
Alam punya hukumnya sendiri

Manusia, jangan berlagak menguasai alam
Sebab alam bisa menguasai manusia
Manusia boleh merusak alam
Tapi pada saatnya alam merusak manusia

Daripada saling merusak
Lebih baik kita berdamai
Marilah menjaga keharmonisan dengan alam
Maka alam pun akan beri kita kehidupan

Daun hijau pertanda alam mengundang kita
Untuk melihat keindahannya
Melihat keharmonisannya
Dan melihat misterinya yang begitu besar

Daun hijau
Terima kasih
Engkau tampak begitu segar
Kiranya jiwamu muda

Beriku jiwa muda
Untuk melihat kemudaan dirimu
Untuk melihat keindahanmu yang tiada tara
Sesungguhnya kita adalah makhluk-Nya

PRM, 21/5/15
Gordi 

FOTO, pman26.files.wordpress.com
Fisik tua, pikiran muda. Itulah gambaran yang kuberikan pada kakek itu. Saat kami menikmati eskrim di sebuah gelateria (tempat jual gelatto atau eskrim), dia masuk. Dia melihat kami dengan serius. Mungkin karena kami orang baru. Memang, kami baru masuk daerah pegunungan itu untuk pertama kalinya tahun ini. Tahun lalu, kami masuk daerah ini, tetapi tidak sampai di sini. Hari ini, kami sampai di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut, kali lalu hanya sampai 300 meter. 

Kami tak banyak bicara. Maklum, masing-masing sedang menikmati eskrim-nya. Pendakian tadi membuat kami ingin berhenti sejenak. Apalagi matahari sore di musim semi tampak cerah dan sedikit menyengat. Kami sebenarnya tidak terlalu haus dan capek. Tetapi, sopir sekaligus guide kami sengaja memarkir mobilnya. Ada gunanya juga. Kami turun dari mobil dan masuk ice-cream shop. Di sana, kami bertemu dua bapak. Keduanya tentu bekerja di gelateria ini. Satunya sebagai pelayan bar, satunya lagi bagian kasir. Kami berdialog sebentar lalu kami membeli eskrim.

Saya memilih untuk menikmati eskrim ini sambil melihat-lihat koran yang ada di atas meja. Kebetulan, di dekat saya ada seorang bapak yang sedang membaca koran juga. Mumpung belum ada pelanggan, dia manfaatkan waktu yang ada untuk melihat koran. Lalu, saya juga mulai melihat-lihat koran itu.

Membaca mungkin menjadi bagian dari kehidupan mereka. Di ruangan itu, ada banyak koran dan majalah. Bahkan, di tiga meja yang ada, masing-masing ada satu koran dan beberapa majalah. Saya salut. Mereka menyediakan koran lokal, koran setingkat provinsi, dan koran nasional. Padahal, daerah iini letaknya di pegunungan. Jauh dari pusat kota.

Mungkin itu juga yang membuat bapak tadi datang dan terheran-heran melihat kami. Fisiknya tua namun pikirannya muda. Entah dia masih heran dengan keberadaan kami. Mungkin dia bertanya, ada apa dengan orang asing ini. Orang Asia lagi. Apakah mereka nyasar di sini?

Setelahnya, dia mengambil kacamatanya lalu mulai membaca. Saya perhatikan cara dia melihat koran itu. Dia buka dari halaman pertama. Melihat dan membaca tanpa suara. Yang tidak menarik kiranya dia lewatkan atau hanya lihat judulnya. Dalam waktu sekitar 15 menit, dia sudah selesai melihat satu koran itu. Lalu, dia membolak-balik koran berikutnya. Tampak sekali bahwa dia sudah terbiasa membaca koran itu. Mungkin dia sudah tahu rubrik-rubriknya. Saya tidak heran dengan ini. Yang saya heran adalah kemampuannya untuk memerhatikan dengan cepat isi koran itu. Dialah gambaran orang yang fisiknya tua tetapi pikirannya muda.

Dari mana saya tahu kalau pikirannya muda? Dari cara membaca korannya. Orang muda biasanya membaca dengan cepat atau sepintas saja. Dan, dia yang umurnya tua ini juga melakukan hal sama. Saya perhatikan beberapa orang tua lainnya yang membuka kora pelan-pelan. Ah tentu orang tua tidak bisa disamakan. Semua punya cara untuk menyimak isi koran harian. Dan dia ini adalah salah satu di antara orang yang berfisik tua namun berpikiran muda.

Tiga puluh menit berlalu, kami pun beranjak pergi. Saya memberi salam pada mereka dengan bahasa Italia. Mereka kaget, “Rupanya bisa berbahasa Italia,”kata bapak tua yang dengan cepat menyimak koran tadi. Saya tersenyum lalu melambaikan tangan.

Terima kasih Pak. Hanya dengan gerakanmu yang tidak menggurui itu, kamu berhasil menularkan kebiasaan yang kami butuhkan yakni membaca. Semoga saya dan kami kaum muda bisa seperti kamu, rajin membaca dan tak pernah merasa puas. Fisik boleh tua, tapi pikiran tak boleh jadi tua.

PRM, 20/5/15
Gordi

FOTO, terangker.com
Untuk kedua kalinya kudengar burung itu bernyanyi. Malam ini baru kudengar dengan jelas. Entah karena suasananya sepi. Tidak ada bunyi lain yang kudengar. Di luar jendela kamarku ada beberapa pohon rimbun. Musim semi membuat pohon-pohon itu berimbun. Daun-daunnya lebat. Daun itu rupanya jadi rumah idaman bagi burung-burung. Entah karena dekat dengan jendela kamarku, nyanyian burung itu kudengar dengan jelas. Dua kali lagi. Padahal, selama ini, jarang kudengar nyanyiannya. Entah karena aku terlalu sibuk mendengar yang lain. 

Burung itu mungkin menegurku untuk mendengarnya. Betapa tidak, dua kali kudengar nyanyiannya. Bunyi mobil yang lewat di jalanan samping kamar malah tak kuhiraukan. Entahkah karena aku patuh dengan teguran burung ini?

Atau, mungkin burung itu memang mengajakku untuk mendengarnya? Sungguh jika demikian, dia berhasil mengajakku. Dia ibarat guru yang mendidik didikannya sampai berhasil. Guru yang mendidik anak didiknya seperti yang ia inginkan. Padahal, mendengarkan itu amat sulit. Anak sekolah tidak tahan tinggal tanpa bersuara selama 45 menit dalam kelas. Kalau pun bisa, itu karena dipaksa. Atau karena takut dimarahi guru. Di ruang sidang anggota DPR sulit mendengar satu sama lainnya.

Memang anggota DPR lebih cenderung untuk ribut, mempersoalkan korupsi, dana proyek, PSK dan mengabaikan suara rakyat yang memilih mereka. Anggota DPR memang kadang-kadang membohongi pemilihnya. Mereka menawarkan janji manis. Parahnya lagi rakyat kecil dengan mudahnya saja tergoda manisnya janji itu. Rakyat memang adalah pendegar ulung. Mungkin pendengar seperti burung beo juga. Mendengar begitu saja apa yang dikatakan pembicara. Tetapi, anggota DPR mestinya belajar mendengarkan dari rakyat kecil yang memilih mereka. Anggota DPR sebenarnya lebih parah lagi karena setelah berjanji, mereka abaikan suara rakyat. Mereka memang betul-betul tidak tahu mendengarkan suara rakyat.

Nyanyian burung itu kudengar kedua kalinya. Aku dengar dengan jelas. Suaranya nyaring memecah kesunyian malam. Malam adalah simbol ketakutan. Tapi, mengapa burung itu bernyanyi. Dan, burung itu bernyanyi seperti penyanyi di tengah konser. Burung itu mungkin tidak takut. Memang burung itu tidak takut. Burung itu mengajakku untuk tidak takut sekalipun dalam kegelapan. Burung itu seperti telah merayakan kemerdekaan. Dia bebas tanpa beban bernyanyi.

Nyanyiannya mungkin mengajakku untuk hidup bebas. Hidup merdeka tanpa tekanan, tanpa beban, tanpa ketergantungan dengan yang lain. Mungkin terlalu sulit untuk melepas ketergantungan itu. Tapi, burung itu kiranya sudah membuka jalan. Dia memberiku contoh. Bernyanyi di malam hari. Tanpa rasa takut. Seolah-olah ada terang dalam kegelapan. Hidup memang mestinya tanpa rasa takut, tanpa suasana gelap. Hidup mesti bersinar untuk sesama. Hidup mesti bebas tanpa ketergantungan.

Ah burung itu tak kudengar lagi. Mungkin dia hanya datang untuk memberiku isyarat bahwa hidup ini mesti dihidupi dengan bebas. Rasa bebas dari semua yang mengunkung kehidupan. Dengan hidup bebas, beban berat pun bisa dipikul. Malam pun bisa jadi siang. Ah betapa indahnya hidup dalam kebebasan. Betapa nyanyian burung itu adalah nyanyian kemerdekaan.

Terima kasih untuk nyanyianmu

PRM, 19/5/15
Gordi

FOTO, 21cineplex.com
Di masyarakat majemuk seperti Indonesia, perselisihan antara berbagai perbedaan menjadi isu hangat. Yang paling sering terdengar adalah perselisihan dalam perbedaan agama. Indonesia dengan kekayaan tradisi agamanya justru memiskinan keharmonisan hidup. Di sinilah Indonesia ditantang untuk mengelola dengan baik perbedaan ini. Perbedaan yang pada dasarnya membuat Indonesia menjadi kaya bukan saja dalam materi tetapi dalam budaya dan agama. 

Selain agama, perselisihan lain yang sering muncul adalah perbedaan budaya. Sudah banyak cerita pertengkaran antara dua budaya berbeda di Indonesia. Ambil contoh tentang perantau Madura di Kalimantan. Juga contoh lain yang sering terdengar. Betapa perbedaan ini tidak dikelola dengan baik oleh Indonesia yang kaya perbedaan ini. Padahal, jika dikelola dengan baik Indonesia menjadi rumah bersama. Rumah yang menaungi perbedaan.

Menuju Indonesia sebagai rumah bersama memang tidak mudah. Mesti melewati sejarah panjang dan menuai korban juga konflik tak berakhir. Apa pun alasannya inilah kondisi yang mesti dilewati Indonesia. Dan, Indonesia sebenarnya sudah dan sedang melewati kondisi-kondisi ini. Indonesia dalam sejarahnya mengalami kondisi sulit ini. Meski berkali-kali mengalaminya, Indonesia rupanya belum mau mengakhirinya. Indonesia masih bergeliat menyelsaikan konflik seperti ini. Kita berharap, Indonesia mau dan mampu melewati dan mengakhiri konflik perbedaan seperti ini. Indonesia mesti optimis dan jangan pesimis mencapainya.

Rasa optimis inilah yang juga menjadi gambaran dalam film Tabularasa (2014). Kami menonton film ini pada Minggu, 10 Mei yang lalu di kota Milan, Italia. Bersama rombongan dari Parma, kami berangkat siang hari. Di sana kami bertemu teman-teman Indonesia lainnya yang datang dari kota sekitar seperti Milan, Reggio Emilia, Ferrara, Rimini, dan sebagainya. Bagi kami, film ini menarik. Apalagi, menampilkan keanekaragaman Indonesia di hadapan orang asing, Italia. Film ini mau mengatakan pada mereka bahwa Indonesia itu kaya dengan tradisi budaya dan agama. Indonesia mau melestarikan ini. Pelestarian ini jauh melampaui konflik perbedaan yang ada. Di film itu memang dikisahkan perbedaan itu. Perbedaan yang membuat konflik. Namun, pada akhirnya mereka bisa bersatu membangun kehidupan bersama.

Film ini seolah-olah mau menyindir Indonesia. Betapa tidak, sampai saat ini Indonesia belum mampu mengatasi konflik agamanya. Indonesia yang besar malah kalah dengan kelompok yang menggunakan agama sebagai senjata untuk menguasai yang lain. Agama mana pun kiranya mendambakan perdamaian bukan saja bagi pemeluknya tetapi bagi orang lain juga. Namun, masih ada kelompok tertentu yang katanya demi agama rela menguasai bahkan merusak hubungan dengan yang lain. Ini tentu saja bukan demi agama. Kalau pun dia ngotot menjual ayat-ayat sucinya, itu hanya bohong belaka. Dia sebenarnya tidak tahu agamanya.

Dari agama, film ini juga mau menyindir Indonesia yang seolah-olah tak berkuasa melampaui perbedaan budayanya. Dalam sejarahnya, Indonesia diwarnai konflik budaya. Dan konflik ini memakan korban. Nyawa manusia melayang gara-gara perbedaan budaya. Akhir-akhir ini memang konflik budaya seperti ini makin pudar. Semoga, tidak ada lagi. Kalau pun ada semoga tidak banyak.

Indonesia—kalau dibangun dengan baik—seperti makanan khas Padang. Makanan di RM Padang diracik dengan berbagai bumbu. Bukan saja menu gulai ikan kakap seperti diceritakan dalam film Tabularasa. Ada banyak menu lainnya. Ini berarti diracik dengan banyak bumbu. Banyak bumbu banyak rasa. Indonesia mestinya seperti menu makan Padang ini. Bumbunya sudah ada yakni pluralitas agama dan budaya. Tinggal saja meraciknya dengan baik, Indonesia nantinya dicintai dan diminati banyak orang seperti menu masakan Padang yang dicintai rakyat Indonesia.

Indonesia yang diimpikan adalah Indonesia seperti keluarga Mak dalam Tabularasa. Keluarga yang dibangun dari pluralitas. Mak, orang Padang. Hans, orang Papua. Orang Padang biasanya beragama Muslim. Orang Papua biasanya beragama Kristiani. Perbedaan ini tidak dihilangkan. Perbedaan ini jadi modal untuk membangun keluarga yang harmonis. Dan memang—dalam film—dikisahkan keharmonisan keluarga ini. Tentu setelah melewati konflik antara mereka.

Apa yang dilakukan Mak adalah contoh nyata bagi warga Indonesia. Membantu dengan penuh cinta. Ingat relawan di setiap bencana alam di Indonesia. Tidak pernah membantu berdasarkan kelompok agama dan budaya. Meski, oleh kelompok usil tertentu, selalu menciptakan suasana keruh. Mereka menggiring opini publik untuk menolak bantuan dari agama lain. Padahal, dalam bencana, misinya adalah membantu, dan bukan mencari warga seagama. Mak, melampaui perbedaan ini.

Mak—kiranya tahu—yang dia bantu adalah bukan orang Muslim. Tetapi, dia tetap mau membantu. Bahkan, sekalipun pembantunya, Natsir dan Parmanto, menentang sikapnya. Bagi Mak, Hans membutuhkan pertolongan. Dan, Mak memberikan pertolongan. Memberi makan dan mengajaknya untuk bekerja di rumahnya.

Mak juga melampaui sekat budayanya. Dia orang Minang dan Hans orang Papua. Dua budaya berbeda namun mewakili Indonesia Barat dan Timur. Mak seolah-olah mengatakan pada penonton bahwa Mak yang orang Indonesia Barat ini mau membantu orang Indonesia Timur. Mak tidak membantu hanya orang Indonesia Barat dan orang Minang saja. Ingatkah ini wahai para pembenci kelompok relawan gempa? Membantu jangan dengan persyaratan. Membantu mesti disertai sikap totalitas.

Saya puas dan bangga menonton film ini. Demikian juga teman-teman Indonesia yang lainnya. Film ini juga mau mewartakan pada dunia khususnya kota Milan bahwa Indonesia bisa hidup damai di tengah perbedaan yang ada. Kota Milan juga diwarnai perbedaan ini. Penduduknya datang dari berbagai negara, budaya, dan agama yang berbeda. Jika Milan tidak hati-hati, konflik antara warganya sulit tercegah. Dan, dalam hal ini Milan mestinya belajar dari Indonesia. Indonesia yang mereka lihat dalam film ini. Dan, tentu saja jika Milan kaya dengan makanan khas Italianya, Indonesia juga punya masakan enak dengan menu-menunya.

Terima kasih Tabularasa.

PRM, 18/5/15
Gordi



Powered by Blogger.