Halloween party ideas 2015

Siapa bilang Indonesia jaya?
Di ibu kotanya saja banyak terlihat penduduk miskin
Banyak pula pengemis jalanan, pengamen jalanan.

Sabar……
Siapa bilang Indonesia tak berdaya?
Pagi ini saya melihat banyak yang bangun pagi-pagi
Ada dua bapak yang sedang berbincang di depan masjid setelah selesai berdoa
Ada pengendara sepeda motor dengan muatan ayam yang siap dijual di pasar
Ada petugas satpam yang menanyakan tanda waktu ke saya
Ada pula teman-teman olahraga pagi

Dari sini saja sudah tahu Indonesia itu masih “hidup”
Dari pagi sudah berdoa
Belum terhitung yang siang, sore, malam
Entah di tempat ibadat atau bukan tempat ibadat
Berdoakan bisa di luar tempat ibadat
Kalau begitu mengapa rebut-ribut soal tempat ibadat yang ditutup
Atau tak dizinkan berdiri?
Kan bisa berdoa tanpa tempat ibadat

He….itu untuk ibadat bersama
Kalau berdoa pribadi bisa dilakukan di mana saja
Oh begitu..
Yah..kalau begitu kita dukung pendirian tempat ibadat
Yang berguna bagi umatnya
Bukan yang mubazir
Entah karena tidak digunakan
Atau karena kebanyakan

Indonesia masih hidup kok
Sejak pagi sudah ada yang berbisnis di pasar
Roda ekonomi mulai berputar
Lalu mengapa Indonesia tetap saja miskin?
Yahhh itu ma Indonesia secara keseluruhan
Masih ada sebagian orang Indonesia yang kaya
Memiliki banyak perusahaan dan pusat bisnis
Jangan salahh….
Mereka masuk nominasi orang terkaya di dunia

Oh begitu….
Tetapi mereka itu bukan kelompok yang bangun pagi-pagi
Dan menjalankan roda perekonomian
Mereka golongan bangsawan
Alias bangun kesiangan
Yang pagi-pagi memutar roda ekonomi adalah kaum kecil
Mereka berjuang demi hidup
Makanya ada pertanyaan..”pagi ini makan apa ya????”

Ya memang Indonesia masih hidup
Pagi-pagi sudah ada yang berolahraga
Tetapi kok prestasi Indonesia di bidang ini tidak memuaskan?
Yah…itu mah…salah urus..
Emang sich susah ngurus Negara besar seperti ini
Kalau untuk olahraga sendiri-sendiri sich bias
Bangun pagi saja sudah bisa olagraga
Nggak sulitkan ngurusnya?
Ya…. tak serumit ngurus PSSI
Tak serumit mengelola PBSI

Ahhh..sekian dulu
Tak penting ngomongin pengurus olahraga
Kan itu tidak selesai dengan ngomong doank
Mesti ada usaha
Makanya mari kita berusaha
Sekian dulu lari-lari paginya…

*Obrolan sebelum fajar terbit sambil lari-lari
** Semua gambar dari google images

Cempaka Putih, 30 Juli 2011
Gordi Afri


Akhir-akhir ini, para orang tua sibuk mengurus pendaftaran siswa/I baru (SD-SMA). Ada kebahagiaan bagi mereka karena anaknya nanti mendapat pendidikan. Namun, kebahagiaan itu dihadang oleh sulitnya akses ke sekolah. Kendala bermunculan. Masalah biaya, masalah nilai, dan sebagainya. Kebahagiaan seolah-olah redup di tengah sulitnya akses ke sekolah.

Kalau dipikir-pikir, agak aneh. Masuk sekolah kok mesti susah-susah. Untuk memperoleh ilmu kok repot amat. Kalau sekolah memang penting bagi perkembangan manusia mengapa mesti ada persyaratan yang rumit ke sana. Bukankah semuanya mesti diberi kelonggaran sehingga semua masyarakat bisa mengaksesnya. Tetapi kalau sekolah didirikan untuk kepentingan sekelompok orang, tidak perlu ada promosi kepada publik. Biarkan sekolah menjadi lembaga untuk golongan tertentu dan bukan lembaga yang melayani publik. Namun, semudah itukah membayangkan kondisi sekolah di negeri ini?

Di balik kata ‘sekolah’ tersimpan sejumlah hal yang terkait. Sekolah memang tempat untuk memperoleh ilmu yang diterjemahkan dengan bahasa mengajar, mendidik, membaca, menulis, dan sebagainya. Di balik itu ada sarana yang mesti dimiliki dan dipelihara demi kelancaran proses belajar-mengajar, demi pengembangan kemampuan akademik murid. Ada pendidik yang mesti dihidupi dengan diberi gaji secukupnya. Gaji itu untuk kehidupan keluarga dan pengembangan pengetahuannya. Ada petugas non-pegawai yang membantu memperlancar kegiatan di sekolah. Petugas ini diberi gaji untuk menghidupi keluarganya. Bekerja kan bukan saja untuk memenuhi kebutuhannya tetapi kebutuhan anggota keluarganya. Lalu??

Semuanya ini membutuhkan dana. Dana itu diperoleh dari mana? Dari orang tua tentu saja. Tetapi, orang tua murid beragam, dari yang kaya sampai yang miskin. Sekolah mesti jeli menjembatani keragaman kemampuan orang tua. Prinsipnya, jangan samapai kendala biaya mempersulit akses murid mendapatkan ilmu. Selain itu, pemerintah mesti memberi dana secukupnya untuk sekolah. Bagaimana pun, peran sekolah amat tinggi demi pengembangan akademik anak. Fasli Jalal, Wakil Mentri Pendidikan Nasional mengatakan pemerintah sudah menyediakan Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sekitar 70% dari kebutuhan sekolah. Oleh karena itu, tak ada pungutan apa pun dalam penerimaan siswa baru SD dan SMP (Kompas, 7 Juli 2011).

Kalau demikian, semestinya akses ke sekolah untuk SD dan SMP mudah. Dana sudah disediakan pemerintah. Kalau toh masih ada kesulitan dalam hal dana, berarti ada yang belum beres di situ. Maka, persoalannya mesti diselidiki dulu. Bisa saja dana itu tidak sampai di sekolah. Bisa saja kebutuhan sekolah lebih besar dari dana itu. Kalau masalah sulit akses karena kemampuan akademik, saya kira ini masalah yang dicari-cari. Bukankah sekolah mendidik murid supaya lebih pandai dan kreatif? Sekolah bukan mengajar dan mendidik murid yang pandai saja. Entah sekolah mengelompokkan murid sesuai kemampuan akademik, itu persoalan lain. Yang pertama adalah jangan menghalangi murid mengaskses pendidikan. *Semua gambar dari google images

Saya bukan seorang pendidik formal. Tulisan ini berangkat dari kaca mata seorang peminat pendidikan. Bisa saja yang terjadi di lapangan jauh dari yang ditulis. Namun, saya kira hal yang penting adalah jangan menghalangi anak mengakses pendidikan di sekolah formal. Sekolah itu milik rakyat bukan milik sekelompok orang. Kalau sekolah dijadikan lahan bisnis yang meraup untung, semestinya dipangkas. Itu melenceng dari tujuan didirikannya sebuah lembaga pendidikan. Apakah ini yang terjadi akhir-akhir ini dengan adanya pungutan biaya masuk sekolah? Mungkin saja.

Persolannya mesti diuraiakn dengan transparan. Sekolah tentu membutuhkan biaya operasional. Namun, kalau jumlahnya tidak bisa dijangkau rakyat miskin, itu bukan lembaga yang melayani kepentingan publik lagi. Dia berubah menjadi lembaga pemungut biaya. Kalau untuk masuk pendidikan dasar saja susah apalagi pendidikan berikutnya. Kalau anak SD-nya tidak memperoleh pendidikan semestinya, bagaimana nasib bangsa ini ke depannya?


Ada baiknya kata-kata Yudhistira ANM Massardi dicermati dengan baik. Dia sangat memperhatikan pendidikan dasar sebagai fondasi untuk membangun peradaban bangsa. Menurutnya, “Kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapangan. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia dini (Kompas, 8 April 2011) .” Dari yang kecil akan lahir yang besar. Jika anak sejak dini diberi pendidikan yang cuup, ke depannya anak tiu bisa berkembang dengan baik.

Cempaka Putih, 14 Juli 2011
Gordi Afri

Cita-cita saya adalah melanjutkan usaha orang tua saya.


Begitu jawaban spontan seorang anak dalam acara dai CIlik di sebuah stasiun televisi beberapa waktu lalu. Dia berasal dari keluarga yang punya daya juang tinggi. Orang tuanya mempunyai usaha fotokopi dan penjilitan di sebuah kota pendidikan.

Ketika ditanya alasannya, anak ini menjawab ia tertarik dengan pribadi bapak. “Bapak selalu bangun pagi untuk menyelesaikan pekerjaan yang mendesak. Kadang-kadang ia juga lembur malam hari untuk menyelesaikan pesanan penjilitan,” katanya sambil melihat bapaknya yang ikut menonton acara itu. “Terima kasih ayah, Engkau mendidik saya dan mengajarkan keteladanan.”

Dia kagum dengan bapaknya. Dalam kesibukannya, bapak tetap tabah dan kuat. Dengan anak-anak pun bapak sangat ramah. Begitu juga dengan keluarga lain. Singkatnya, bapaknya tidak terpengaruh oleh pekerjaan yang menumpuk. Suasana pekerjaan dipisahkan dengan suasana keluarga. *Semua gambar dari google images

Beberapa keluarga merindukan suasana damai dalam keluarganya. Suasana ini “mahal” bagi mereka. Tiap hari, masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Bapak, ibu, dan anak. Bapak berangkat pagi sebelum anak bangun. Ibu mengurus anak. Setelahnya dia bekerja juga. Malam, anak-anak sudah tidur ketika bapaknya tiba. Kesempatan untuk ngobrol dengan anak jarang.

Ada yang mengharapkan hari Sabtu atau Minggu sebagai hari keluarga. Tak jarang mereka membatalkan kunjungan dari tamu mana pun pada hari tersebut. Namun, kadang-kadang juga hal ini sulit dilakukan. Apalagi dengan anak-anak yang masih sekolah. Mereka disibukkan dengan pekerjaan sekolah dan mungkin juga dengan les privat.

Anak ini beruntung. Dia bisa melihat pekerjaan bapaknya dari dekat. Dia pun mempunyai banyak waktu untuk ada bersama bapak. Dari sini timbul keinginannya melanjutkan usaha bapak. Beginilah cara penanaman sikap pada anak.

Ketika anak disuruh melanjutkan usaha orang tua, kadang-kadang jawaban yang muncul adalah malas. Atau ketika ditawari membantu bapak, anak-anak menolak. Persoalannya bisa jadi karena anak tidak dekat dengan orang tuanya. Dia tidak tahu apa yang dikerjakan orang tuanya. Dia tidak punya gambaran tentang profesi orang tuanya.

Kurangnya rasa persaudaraan dalam keluarga kadang-kadang mengasingkan anak dari rumah. Dia jarang ngobrol dengan orang tuanya. Bagaimana ngobrol kalau orang tuanya pergi pagi pulang malam. Anak hanya bergaul dengan teman sebaya di luar rumah. Atau juga hanya dengan pengasuhnya. Jika ini yang terjadi jangan heran dia akan merasa terasing dengan rumah dan orang tua.

Jika anak tadi menjadi patokan kita, tidak perlu lagi keluar negeri untuk mencari pekerjaan. Jumlah anak yang bandel dengan orang tua berkurang. Bahkan tawuran antar geng anak pun tidak terjadi. Sebab, anak punya kesibukan sepulang sekolah. Dia membantu ayah maka perilakunya terkontrol. Beda dengan anak yang ‘tidak punya kesibukan’. Mereka mudah saja dihasut untuk melakukans sesuatu.

Dek.. cepatlah dewasa untuk mebantu ayahmu. Engkau menjadi inspirasi bagi banyak orang di negeri ini. Ungkapan cinta dan terima kasihmu kepada orang tua menjadi harapan banyak orang tua di negeri ini. Selamat berjuang meniti masa depan.

Cempaka Putih, 5 Juli 2010
Gordi Afri
Powered by Blogger.