Halloween party ideas 2015

foto oleh Tim Philips Photos
Menyedihkan membaca berita di harian KOMPAS kemarin. Anak manusia berusia 7-14 tahun dijual untuk dijadikan perempuan penghibur dan pekerja rumah tangga.

“Sebanyak 13 anak usia 7-14 tahun asal Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, menjadi korban penjualan orang. Diduga mereka hendak dijadikan perempuan penghibur dan pekerja rumah tangga dengan harga rata-rata Rp 250.000 per orang.” Demikian cuplikan berita dari KOMPAS.

Kasus penjualan anak bukanlah hal baru. Beberapa kasus sebelumnya juga muncul di berbagai media. Jika sekarang berita itu muncul lagi, ini hanya pengulangan saja. Menjadi pertanyaannya adalah apakah kasus itu MAU dihilangkan? Kalau mau berarti sekarang petugas yang menangani bidang itu belum berhasil. Jika tidak ada ke-MAU-an maka kasus penjualan anak tetap dan akan berlangsung. Jadi persoalannya MAU atau TIDAK MAU.

Bagi kalangan penggiat hak anak tentu MAU menghilangkan kasus semacam ini. Anak tidak boleh dijadikan aset yang bisa dijual seperti barang. Anak adalah manusia yang mempunyai harga diri dan tidak boleh diperjual-belikan. Demikian juga bagi orang tua yang ingin mendidik anaknya sampai anaknya menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara.
Tetapi bagi mereka yang memperoleh keuntungan dari kasus penjualan anak, kasus ini tidak MAU dihilangkan. Biarkan saja kasus semacam ini terjadi. Toh mereka mengambil untung dari situ. KAlau dihentikan mereka tidak mempunyai penghasilan, mereka tidak mempunyai pekerjaan. Demikian juga bagi orang tua miskin dan mau mengorbankan anaknya untuk apa saja asal menghasilkan duit. Daripada hidup miskin lebih baik jual anak. Toh, dari penghasilan itu dia bisa terbebas dari kemiskinan finansial.

Menilik undang-undang yang mengatur tentang pekerja, kasus semacam ini menjadi bukti pelanggaran. Tetapi ngomong-ngomong soal undang-undang dan peraturan lainnya, di negeri ini segalanya bisa dilanggar. Semakin banyak peraturan dibuat semakin banyak pelanggaran dibuat. Aturan untuk dilanggar kok. Tetapi baiklah kalau kita menghargai mereka yang mempunyai hati untuk melindungi anak-anak yang juga telah diatur dalam peraturan di negeri ini.

Ada 2 peraturan yang berkaitan yang mengatur tentang usia pekerja anak yakni Undang-undang no. 20 Tahun 1999 dan Konvensi International Labour Organization (ILO) no. 138. Dari keduanya diperoleh keterangan bahwa batas minimun usia anak yang menjadi pekerja adalah 15 tahun. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kasus penjualan anak melanggar peraturan ini.

Tetapi siapa peduli dengan peraturan itu? Tentu saja masih ada rakyat negeri ini yang peduli. Ada LSM dan kelompok yang membela hak anak. Dan memang anak harus diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat, yang mempunyai harga diri. Oleh karena itu amat dibutuhkan kerja sama antara orang tua, polisi, LSM atau siapa saja yang peduli dengan anak-anak untuk mencegah kasus semacam ini.

Tidak mudah, mesti melewati jalan berliku, tetapi perlu usaha keras. Di Jakarta saja masih terjadi kasus penjualan anak, misalnya di daerah Cilincing beberapa waktu lalu. Anak yang dibawah 15 tahun dijadikan wanita penghibur. Entah apa yang disumbangkan anak-anak kecil ini untuk menghibur. Jika dia benar-benar menghibur berarti pelanggannya adalah mereka yang sedih. Tetapi istilah wanita penghibur kerapkali berkonotasi negatif. Pekerja Seks Komersial juga dipanggil wanita penghibur. Nah, kalau anak dijadikan wanita penghibur, sungguh malang kehidupannya.

Kita berharap kasus semacam ini harus berkurang dan lama-lama harus dihilangkan dari bumi Indonesia. Bangsa ini makin tidak bermartabat jika manusia dijual-belikan. Aset tambang sudah dijarah pihak asing, aset hutan sudah dihancurkan pihak asing, aset laut sudah dicuri pihak asing, haruskah Indonesia menjual manusianya?

PA, 28/7/2012
Gordi Afri


foto oleh Utie 17
Ada teman yang mengatakan jalan raya akan sepi pada pukul 17.30-18.00. Mengapa demikian? Karena pada jam seperti itu, saudari/a kita yang berpuasa akan berbuka puasa. Jadi mereka berada di rumah makan atau di rumah keluarga/kerabat untuk makan bersama. Jalanan menjadi sepi.

Terjadilah demikian, seperti yang diwartakan teman saya ini. Jalanan sepi. Kendaraan yang lewat tidak seperti biasanya. Sepeda motor bisa dihitung dengan jari apalagi mobil. Jalanan pun jadi lancar. Hanya sesekali mengurangi kecepatan terutama di daerah yang ramai, dekat warung makan, dekat pusat belanja, dekat pasar, dan sebagainya.

Sore tadi, kami melewati jalan Kaliurang. Keluar dari rumah pukul 17.20. Jalan ini biasanya ramai kalau sore hari. Ada yang pergi ke arah tempat wisata Kaliurang dan sekitarnya, puncaknya Yogyakarta. Ada juga yang melaju dari arah sebaliknya. Belum lagi banyaknya pusat belanja di sekitar kawasan ini membuat laju kendaraan kadang-kadang harus berkurang.

Sore ini kami melaju dengan lancar. Tidak banyak kendaraan yang lewat. Di kiri dan kanan jalan banyak kendaraan roda dua dan empat yang parkir. Seiring dengan itu warung dadakan juga muncul di mana-mana. Menu buka puasa memang beragam. Cara penyajiannya juga beragam.

Ada warung makan yang memang warung makan rumahan. Ada juga warung dadakan yang muncul di pinggir jalan. Bermodalkan 2 meja dan 4 kursi lalu tempat memanaskan air serta spanduk kecil bertuliskan warung makan/minum. Tak perlu promosi ke sana ke mari. Melihat meja yang di atasnya berjejer toples minuman ringan dan air es, banyak orang berdatangan.

Bulan puasa membuat warga semakin kreatif. Intuisi bisnis muncul. Warung sederhana di pinggir jalan menjadi tempat favorit. Boleh jadi terlalu resmi bagi pengendara sepeda motor untuk masuk warung makan Masakan Padang misalnya. Mereka yang entah berdua atau berkelompok sepeda motor lebih senang minum jus di pinggir jalan. Bisnis pun berjalan. Maka jangan meremehkan para penjual minuman ringan di pinggir jalan.

Mereka memang muncul pada sore hari saat berbuka puasa. Dan boleh jadi pada bulan-bulan lain tidak jual. Jualan mereka ini menjadi tanda bahwa masyarakat kita mulai kreatif dalam berbisnis. Mereka pandai membaca pasar. Geliat apa yang sedang tren sekarang. Bentuk jualan seperti ini sedang berkembang.

Mungkin inilah satu-satunya cara mendapatkan keuntungan yang paling sederhana. Kalau mendirikan warung makan rumahan mungkin ada izin khusus dan pajaknya. Tetapi membuat bisnis jualan pinggir jalan seperti ini tidak dikenakan biaya pajak dan izin. Asal kreatif dan tentunya tidak mengganggu kelancaran lalu lintas.

Jalanan sepi tetapi judul tulisannya ini, ramainya Jalan Kaliurang menjelang buka puasa. Ya…Jalan Kaliurang memang ramai tetapi bukan karena kendaraan yang lalu lalang tetapi karena warung dadakan. Harus dicatat, warung-warung itulah penggerak perekonomian rakyat.

Di tengah hiruk pikuknya geliat ekonomi di negeri ini, kita berharap orang-orang kecil tetap mendapat rezeki. Siapa yang bekerja dia mendapat makan. Barang siapa tidak bekerja dia tidak diberi makan. Hidup rakyatku…mari berjuang bersama mengentaskan pengangguran.

PA, 31/7/2012
Gordi Afri



foto oleh The Spice Journey
Yogyakarta masih pagi. Mentari belum panas. Aktivitas warga ramai. Jalanan sudah ramai dengan sepeda motor dan mobil. Warga yang lain sudah mulai sibuk dengan aktivitas di kantor. 

Saya keluar dari kantor pos pusat dan berbincang-bincang dengan tukang parkir. Saya kan orang baru di kota istimewa ini sehingga banyak hal yang harus dipertanyakan. Dengan tukang parkir ini saya menanyakan rute perjalanan. Dari kantor pos ke arah ring road utara. Sambil mencukur jenggotnya dia menjelaskan rute yang paling mudah. Memang dia tidak menyebut nama tempat yang dilalui. Dia hanya mengatakan lurus, berhenti di lampu merah, belok kiri/kanan. Penjelasan seperti ini mengandaikan bahwa lawan bicara sudah mengetahui letak tempat yang disebutkan.

Saya pun diam dan menyimak penjelasannya. Karena semangatnya dia pun melepaskan alat cukurnya dan melengkapi penjelasannya dengan gerakan tangan. Tangannya menunjuk ke kiri, kanan, ke depan. Gerakannya lincah sesuai dengan penjelasannya.

Setelahnya saya memberi dia uang parkir Rp 2000. Dia mengangkat gardus yang daritadi dijemur di atas sepeda motor saya. Gardus ini berfungsi untuk menghalang sinar matahari. Memang panasnya mentari tetap terasa termasuk di jok motor. Tetapi dengan gardus itu jok motor jadi awet karena terlindung dari cahaya.

Saya menghidupkan sepeda motor lalu siap jalan. Tiba-tiba dia memukul pundak saya dan mengembalikan uang seribuan.

“Ini mas kembaliannya..”
“Wah seribu ya pak…Kirain dua ribu seperti mobil.”
“Kalau sepeda motor seribu…mobil dua ribu.”
“Karena kemarin kami pakai mobil dan diberi kertas bukti tanda parkir yang bertuliskan dua ribu rupiah.”

Dia lalu meniup peluitnya. Saya menunduk seraya berpamitan kepadanya. Dia juga membalasnya dengan anggukan. Terima kasih pak..

Orang kecil seperti ini mengajarkan pelajaran yang besar pengaruhnya. Apa sih untungnya mengambil jatah sebesar seribuan? Kalau pun setiap hari dia memasang harga dua ribu untuk parkiran sepeda motor, dia toh tidak mendapat untung banyak. Bandingkan dengan para koruptor kita yang meraup untung besar dalam sekejap.

Uang seribu bisa tergoda untung meraihnya. Uang seribu kalau dikumpul lama-lama jadi besar nominalnya. Tetapi tukang parkir ini tidak mengambilnya. Meski untuk itu mudah sekali. Kalau sehari dia mematok harga parkiran dua ribuan dan dia melayani 100 sepeda motor maka dia mendapat untung 100 ribuan dalam sehari. Tambah dengan uang parkiran yang harga normalnya seribu untuk satu sepeda motor. Mudahkan??? Gampang saja kalau mau kan tidak kentara. Tetapi dia tidak mau….

Terima kasih untuk kejujurannya pak… Kebiasaan jujur memang mesti mulai dari hal kecil..lama-lama menjadi kebiasaan yang kuat yang tidak mudah tergoda ketika ada tawaran menggiurkan.

PA, 1/8/2012
Gordi Afri



Powered by Blogger.